Muamalah

Pinjaman Yang Termasuk Riba

Pinjam-meminjam merupakan aktivitas utama masyarakat dari sejak dahulu sampai sekarang. Manusia sebagai makhluk yang berkebutuhan di satu sisi dan berketerbatasan di sisi lain, memaksa mereka untuk terlibat dalam aktivitas pinjam-meminjam satu sama lainnya. Syari’at Islam sudah memberikan rambu-rambu dalam aktivitas yang satu ini agar tidak masuk pada wilayah terlarang dan tidak barakah. Aspek terlarang yang utama dalam aktivitas pinjam-meminjam itu sendiri adalah riba.

Kaidah tentang pinjaman yang termasuk pada riba sebagaimana ditulis dalam kitab-kitab fiqih dan hadits berasal dari hadits Nabi saw yang dla’if tetapi dikuatkan oleh atsar-atsar shahabat yang shahih, yakni:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap pinjaman yang menarik manfaat maka itu adalah riba.

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram kitab al-buyu’ bab ar-riba no. 881-883 menjelaskan sebagai berikut:

رَوَاهُ اَلْحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ وَإِسْنَادُهُ سَاقِطٌ. وَلَهُ شَاهِدٌ ضَعِيفٌ عَنْ فُضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ عِنْدَ الْبَيْهَقِيِّ. َوَآخَرُ مَوْقُوفٌ عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ سَلَامٍ عِنْدَ اَلْبُخَارِيِّ

Riwayat al-Harits ibn Abi Usamah dan sanadnya jatuh. Tetapi ada syahid yang dla’if dari Fudlalah ibn ‘Ubaid riwayat al-Baihaqi. Syahid lainnya mauquf dari ‘Abdullah ibn Salam riwayat al-Bukhari.

Sementara itu, dalam kitab takhrij lain yang ditulisnya, at-Talkhishul-Habir, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan:

حَدِيثُ: {أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى عَنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً} وَفِي رِوَايَةٍ {كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا}. قَالَ عُمَرُ بْنُ بَدْرٍ فِي الْمُغْنِي: لَمْ يَصِحَّ فِيهِ شَيْءٌ وَأَمَّا إمَامُ الْحَرَمَيْنِ فَقَالَ: إنَّهُ صَحَّ، وَتَبِعَهُ الْغَزَالِيُّ.

Hadits: “Sesungguhnya Nabi saw melarang pinjaman yang menarik manfaat”. Dalam riwayat lain: “Setiap pinjaman yang menarik manfaat maka itu adalah riba.” ‘Umar ibn Badar berkata dalam al-Mughni: Tidak ada yang shahih satu pun. Adapun Imam al-Haramain berkata: Itu hadits shahih. Al-Ghazali mengikutinya.

وَقَدْ رَوَاهُ الْحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ فِي مُسْنَدِهِ مِنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ بِاللَّفْظِ الْأَوَّلِ، وَفِي إسْنَادِهِ سَوَّارُ بْنُ مُصْعَبٍ وَهُوَ مَتْرُوكٌ. وَرَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي الْمَعْرِفَةِ عَنْ فُضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ مَوْقُوفًا {كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا}. وَرَوَاهُ فِي السُّنَنِ الْكُبْرَى عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَأُبَيِّ بْن كَعْبٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ مَوْقُوفًا عَلَيْهِمْ

Sungguh al-Harits ibn Abi Usamah meriwayatkannya dalam Musnadnya dari hadits ‘Ali dengan lafazh pertama. Dalam sanadnya ada Sawwar ibn Mush’ab yang matruk. Al-Baihaqi meriwayatkannya dalam al-Ma’rifah dari Fadlalah ibn ‘Ubaid secara mauquf: “Setiap pinjaman yang menarik manfaat maka itu salah satu jenis riba”. Al-Baihaqi meriwayatkannya dalam as-Sunanul-Kubra dari Ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, ‘Abdullah ibn Salam, dan Ibn ‘Abbas secara mauquf (at-Talkhishul-Habir kitab al-buyu’ bab al-qardl no. 1235).

Dari data yang dijelaskan al-Hafizh di atas, berarti hadits di atas bersumber dari enam shahabat, yaitu:

Pertama, hadits ‘Ali riwayat al-Harits ibn Abi Salamah yang kedudukannya dla’if karena dalam sanadnya ada Sawwar ibn Mush’ab yang matruk (harus ditinggalkan karena tertuduh dusta).

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ حَمْزَةَ، أَنْبَأَ سَوَّارُ بْنُ مُصْعَبٍ، عَنْ عُمَارَةَ الْهَمْدَانِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ : كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Hafsh ibn Hamzah mengajarkan hadits kepada kami, Sawwar ibn Mush’ab mengabarkan, dari ‘Umarah al-Hamdani, ia berkata: Aku mendengar ‘Ali berkata: Rasulullah saw bersabda: “Setiap pinjaman yang menarik manfaat maka itu adalah riba.” (Musnad al-Harits kitab al-buyu’ bab fil-qardl yajurrul-manfa’ah no. 437)

Kedua, hadits Fadlalah ibn ‘Ubaid mauquf riwayat al-Baihaqi dalam kitab al-Ma’rifah. Hadits ini pun menurut al-Hafizh Ibn Hajar statusnya dla’if.

وَرُوِّينَا عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ أَنَّهُ قَالَ: كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا

Kami menerima riwayat dari Fadlalah ibn ‘Ubaid, ia berkata: “Setiap pinjaman yang menarik manfaat maka itu salah satu jenis riba.” (Ma’rifatus-Sunan wal-Atsar kitab al-buyu’ bab an-nahyi ‘an bai’ wa salaf wa ‘an salaf jarra manfa’ah no. 11517).

Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan hadits Fadlalah ibn ‘Ubaid ini dalam as-Sunanul-Kubra pada kitab al-buyu’ bab kullu qardl jarra manfa’ah fa huwa riban no. 10933. Semua rawinya tsiqat-shaduq selain ‘Abdullah ibn ‘Ayyasy yang dinilai dla’if oleh Abu Dawud dan an-Nasa`i. Al-Hafizh sendiri menyebutnya shaduq yaghlithu; seorang yang jujur tetapi sering keliru.

Ketiga, hadits ‘Abdullah ibn Salam mauquf riwayat al-Bukhari dan al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra. Statusnya tentu shahih berdasarkan standar keshahihan Shahih al-Bukhari.

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلَامٍ  فَقَالَ أَلَا تَجِيءُ فَأُطْعِمَكَ سَوِيقًا وَتَمْرًا وَتَدْخُلَ فِي بَيْتٍ ثُمَّ قَالَ إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلَا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا

Dari Abu Burdah: Aku mendatangi Madinah, lalu menemui ‘Abdullah ibn Salam. Ia berkata: “Maukah kamu datang lalu aku jamu kamu dengan sawiq (makanan dari gandum) dan kurma dan masuk ke rumah (yang pernah disinggahi Rasul saw)?” ‘Abdullah berkata lagi: “Sungguh kamu tinggal di negeri (Irak) yang riba di sana merajalela. Jika ada seseorang berutang kepadamu, lalu ia memberi hadiah setumpuk jerami, sepikul kacang sya’ir, atau setumpuk makanan, jangan kamu ambil, karena itu riba.” (Shahih al-Bukhari kitab al-manaqib bab manaqib ‘Abdillah ibn Salam no. 3814)

Catatan: Imam as-Shan’ani dalam Subulus-Salam, diikuti oleh A. Hassan dalam Tarjamah Bulughul Maram, menyatakan bahwa hadits riwayat al-Bukhari ini tidak ada dalam Shahih al-Bukhari. Tentu kesimpulan ini keliru karena faktanya ada dalam Shahih al-Bukhari sebagaimana ditulis di atas.

Imam al-Baihaqi meriwayatkan hadits di atas melalui dua sanad. Sanad yang pertama redaksinya tidak jauh beda dengan riwayat al-Bukhari di atas. Sedangkan sanad yang kedua ada sedikit tambahan keterangan:

قَالَ أَبُو بُرْدَةَ: قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ سَلَامٍ فَقَالَ: انْطَلِقْ مَعِي الْمَنْزِلَ فَأَسْقِيَكَ فِي قَدَحٍ شَرِبَ فِيهِ رَسُولُ اللهِ ﷺ وَتُصَلِّي فِي مَسْجِدٍ صَلَّى فِيهِ. فَانْطَلَقْتُ مَعَهُ فَسَقَانِي سَوِيقًا وَأَطْعَمَنِي تَمْرًا وَصَلَّيْتُ فِي مَسْجِدِهِ. فَقَالَ لِي: إِنَّكَ فِي أَرْضٍ الرِّبَا فِيهَا فَاشٍ وَإنَّ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا أَنَّ أَحَدَكُمْ يُقْرِضُ الْقَرْضَ إِلَى أَجَلٍ فَإِذَا بَلَغَ أَتَاهُ بِهِ وَبِسَلَّةٍ فِيهَا هَدِيَّةٌ فَاتَّقِ تِلْكَ السَّلَّةَ وَمَا فِيهَا

Abu Burdah berkata: Aku datang ke Madinah dan bertemu dengan ‘Abdullah ibn Salam. Ia berkata: “Mari bersamaku ke rumahku, aku akan hidangkan untukmu dari wadah yang perrnah digunakan minum oleh Rasulullah saw dan shalat di masjid yang perrnah beliau pakai shalat.” Aku pun pergi bersamanya dan ia menghidangkan kepadaku sawiq dan kurma, lalu aku shalat di masjidnya. Ia (‘Abdullah ibn Salam) lalu berkata kepadaku: “Sungguh kamu tinggal di negeri (Irak) yang riba di sana merajalela. Sungguh di antara pintu riba itu adalah salah seorang di antaramu memberikan pinjaman sampai suatu waktu, dan ketika sampai pada waktunya peminjam membayar pinjamannya dengan membawa satu keranjang berisi hadiah (buah/saur). Jauhilah olehmu keranjang dan isinya itu.” (as-Sunanul-Kubra kitab al-buyu’ bab kullu qardl jarra manfa’ah fa huwa riban no. 10927)

Keempat, hadits ‘Abdullah ibn Mas’ud mauquf riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra. Imam al-Baihaqi menjelaskan bahwa sanadnya munqathi’ (terputus). Menurut al-Albani terputus antara Ibn Sirin dan Ibn Mas’ud.

عَنِ ابْنِ سِيرِينَ أَنَّ رَجُلًا أَقْرَضَ رَجُلًا دَرَاهِمَ وَشَرَطَ عَلَيْهِ ظَهْرَ فَرَسِهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِابْنِ مَسْعُودٍ, فَقَالَ: مَا أَصَابَ مِنْ ظَهْرِهِ فَهُوَ رِبًا

Dari Ibn Sirin, sesungguhnya ada seseorang yang memberi pinjaman kepada orang lain beberapa dirham tetapi ia memberi syarat untuk bisa menggunakan kudanya. Lalu hal itu dilaporkan kepada Ibn Mas’ud. Ia menjawab: “Apa yang ia dapatkan di atas punggung kuda itu termasuk riba.” (as-Sunanul-Kubra kitab al-buyu’ bab kullu qardl jarra manfa’ah fa huwa riban no. 10932).

Kelima, hadits Ubay ibn Ka’ab mauquf riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra.

عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ حَدَّثَنِي كُلْثُومُ بْنُ الْأَقْمَرِ عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ قَالَ: قُلْتُ لِأُبِيِّ بْنِ كَعْبٍ: يَا أَبَا الْمُنْذِرِ إِنِّي أُرِيدُ الْجِهَادَ فَآتِي الْعِرَاقَ فَأُقْرِضُ قَالَ: إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا فِيهَا كَثِيرٌ فَاشٍ فَإِذَا أَقْرَضْتَ رَجُلًا فَأَهْدَى إِلَيْكَ هَدِيَّةً, فَخُذْ قَرْضَكَ وَارْدُدْ إِلَيْهِ هَدِيَّتَهُ

Dari asl-Aswad ibn Qias, Kultsum ibn al-Aqmar mengajarkan hadits kepadaku, dari Zirr ibn Hubaisy, ie berkata: Aku berkata kepada Ubay ibn Ka’ab: “Wahai Abul-Mundzir, aku ingin jihad, lalu datang ke Irak dan memberi jasa pinjaman di sana.” Ubay memberi nasihat: “Sungguh kamu akan tinggal di negeri (Irak) yang riba di sana banyak dan merajalela. Jika kamu memberi pinjaman kepada seseorang, lalu orang itu memberi hadiah kepadamu, ambillah pinjamanmu saja dan kembalikanlah hadiah kepadanya.” (as-Sunanul-Kubra kitab al-buyu’ bab kullu qardl jarra manfa’ah fa huwa riban no. 10928).

Status hadits ini masih diperselisihkan dalam hal rawi bernama Kultsum ibn al-Aqmar. Imam al-Bukhari dalam at-Tarikhul-Kabir dan Ibn Abu Hatim dalam al-Jarh wat-Ta’dil tidak memberikan penilaian baik atau buruk, melainkan hanya sebatas menyatakan bahwa ia hanya meriwayatkan dari Zirr ibn Hubaisy dan meriwayatkan kepada al-Aswad ibn Qais. Maka dari itu Ibnul-Madini menilainya majhul (tidak dikenal) sebagaimana dikutip adz-Dzahabi dalam Mizanul-I’tidal. Sementara itu Ibn Hibban menyebutnya sebagai seorang tabi’in tsiqat (kuat terpercaya). Demikian halnya al-‘Ijli dalam Tsiqatul-‘Ijli. Imam al-Hakim dalam Ma’rifah ‘Ulumil-Hadits menilainya ‘azizul-hadits jiddan; kuat sekali dalam hadits.

Hemat penulis, ke-majhul-an Kultsum ini gugur ketika ada ulama lain yang menilainya tsiqat dan ‘aziz. Seandainya penilaian tsiqat-‘aziz tersebut tidak akurat maka minimalnya tidak termasuk kategori dla’if yang parah, melainkan masih bisa terangkat derajatnya dengan adanya syahid-syahid lainnya.

Keenam, hadits ‘Abdullah ibn ‘Abbas mauquf riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra. Syaikh al-Albani dalam Irwa`ul-Ghalil menjelaskan bahwa kedudukan hadits Ibn ‘Abbas berikut ini, kedua sanadnya bersanad shahih. Tidak ada rawi yang bermasalah dan sanad yang terputus.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ فِي رَجُلٍ كَانَ لَهُ عَلَى رَجُلٍ عِشْرُونَ دِرْهَمًا. فَجَعَلَ يُهْدِي إِلَيْهِ وَجَعَلَ كُلَّمَا أَهْدَى إِلَيْهِ هَدِيَّةً بَاعَهَا حَتَّى بَلَغَ ثَمَنُهَا ثَلَاثَةَ عَشَرَ دِرْهَمًا. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لاَ تَأْخُذْ مِنْهُ إِلاَّ سَبْعَةَ دَرَاهِمَ

Dari Ibn ‘Abbas, sungguh ia berkata tentang seseorang yang mempunyai piutang 20 dirham dari orang lain. Orang itu (peminjam) memberi hadiah kepadanya. Setiap kali ia memberi hadiah, pemberi pinjaman itu menjualnya sehingga kalau diuangkan jumlahnya 13 dirham. Ibn ‘Abbas berkata: “(Jika demikian) jangan kamu ambil (tagihan) darinya kecuali (sisanya) tujuh dirham saja.” (as-Sunanul-Kubra kitab al-buyu’ bab kullu qardl jarra manfa’ah fa huwa riban no. 10930).

عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ قَالَ: كَانَ لَنَا جَارٌ سَمَّاكٌ عَلَيْهِ لِرَجُلٍ خَمْسُونَ دِرْهَمًا. فَكَانَ يُهْدِي إِلَيْهِ السَّمَكَ فَأَتَى ابْنَ عَبَّاسٍ فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ, فَقَالَ: قَاصِّهِ بِمَا أَهْدَى إِلَيْكَ

Dari Salim ibn Abil-Ja’d, ia berkata: Kami mempunyai seorang tetangga nelayan yang mempunyai utang 50 dirham kepada seseorang. Ia memberi hadiah kepada pemberi pinjamannya ikan. Yang memberi pinjaman datang kepada Ibn ‘Abbas dan bertanya kepadanya tentang status hadiah tersebut. Ibn ‘Abbas menjawab: “Ganti kepadanya apa yang telah ia hadiahkan kepadamu.” (as-Sunanul-Kubra kitab al-buyu’ bab kullu qardl jarra manfa’ah fa huwa riban no. 10931).

Dari uraian di atas bisa diketahui bahwa hadits yang shahih hanya hadits ‘Abdullah ibn Salam riwayat al-Bukhari dan ‘Abdullah ibn ‘Abbas riwayat al-Baihaqi. Sisanya dl’aif tetapi dengan dla’if yang tidak parah, yakni hadits Fadlalah ibn ‘Ubaid, ‘Abdullah ibn Mas’ud, dan Ubay ibn Ka’ab. Itupun jika hendak memakai standar Ibn Hibban dan al-Hakim, hadits Ubay ibn Ka’ab masuk kategori shahih. Hanya hadits ‘Ali riwayat al-Harits saja—yang menjadi hadits pokoknya—yang dla’ifnya parah karena rawi yang matruk. Maka dari itu hadits-hadits selain ‘Ali bisa saling menguatkan dan kedudukannya shahih li ghairihi. Disebabkan hanya hadits ‘Ali saja yang berkedudukan marfu’ (sabda Nabi saw), sementara sisanya mauquf dari shahabat, berarti kesimpulannya hadits ini shahih mauquf dari shahabat. Meski demikian atsar shahabat yang shahih dalam tema syari’at semacam ini hukumnya sama dengan marfu’ dari Nabi saw.

 

Fiqih Hadits

Berdasarkan hadits di atas maka setiap pinjaman yang menarik manfaat yang berlebih dari pinjamannya, maka manfaat tersebut adalah riba. Manfaat tersebut bisa berupa uang atau barang yang sesuai dengan yang dipinjam, bisa berupa ikan jika peminjamnya tukang ikan, atau setumpuk jerami, sepikul kacang sya’ir, setumpuk makanan, sekeranjang buah-buahan atau sayuran, bisa berupa sekedar menunggangi kendaraan yang dimiliki peminjam, atau manfaat-manfaat lainnya baik yang berupa barang ataupun jasa.

Semua manfaat itu termasuk riba jika ditarik oleh pemberi pinjaman kepada yang meminjam. Sementara jika itu pemberian dari yang meminjam kepada pemberi pinjaman, termasuk riba jika (1) sudah menjadi sistem yang berlaku di daerah yang riba sudah berurat akar di masyarakat dan (2) pinjaman itu belum dilunasi oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Jika kedua faktor ini tidak ada, maka pemberian dari peminjam kepada pemberi pinjaman dikategorikan ihsan (perbuatan baik yang berlebih) yang dianjurkan dalam Islam, berdasarkan hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ ﷺ يَتَقَاضَاهُ بَعِيرًا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَعْطُوهُ فَقَالُوا مَا نَجِدُ إِلَّا سِنًّا أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَاكَ اللهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَعْطُوهُ فَإِنَّ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً

Dari Abu Hurairah ra, da seseorang datang kepada Nabi saw menagih utang seekor unta kepada beliau. Rasulullah saw bersabda kepada para shahabat: “Tolong berikan kepadanya.” Kata para shahabat: “Kami tidak mendapatkan unta kecuali yang usianya lebih tua daripada unta yang anda pinjam.” Orang itu berkata: “Cepat lunasi kepadaku, niscaya Allah akan melunasi untukmu.” Rasulullah saw bersabda: “Berikan kepadanya (unta yang lebih tua itu). Sebab sungguh orang yang terbaik itu adalah yang terbaik dalam membayar.” (Shahih al-Bukhari kitab fil-istiqradl bab hal yu’tha akbara min sinnihi no. 4192)

Jadi jika pemberian lebih itu tidak disyaratkan oleh pemberi pinjaman dan diberikan ketika melunasi pinjaman, maka ini termasuk ihsan. Jika disyaratkan oleh pemberi pinjaman, maka jelas riba. Termasuk jika pemberian itu diberikan ketika proses pembayaran masih berlangsung atau belum lunas dan sudah menjadi sistem yang otomatis berlaku di suatu daerah, maka ini termasuk pada pemberian hadiah/gratifikasi yang diharamkan. Meski pemberi merasa sukarela memberikan pemberian kepada pemberi pinjaman, tetapi hakikatnya ia terpaksa/dipaksa oleh sistem untuk memberikan hadiah tersebut. Maka dari itu termasuk juga riba.

Dalam praktiknya, pinjaman yang masuk kategori ini ada beberapa rupa bentuknya. Berikut uraiannya.

 

Bunga Bank/Koperasi

Kedudukan bunga pinjaman dari bank, koperasi, lembaga keuangan lainnya, atau bahkan dari perorangan sekalipun, jelas merupakan riba karena memberlakukan syarat “bunga/kelebihan” atas pinjaman yang disepakati. Dalam fatwa MUI tentang bunga yang dikeluarkan tahun 2004 bahkan dijelaskan bahwa bunga yang diberlakukan hari ini lebih jahat daripada bunga yang berlaku pada zaman jahiliyyah dahulu. Bunga pada zaman jahiliyyah adalah riba nasi`ah yakni riba yang diberlakukan ketika ada nasi`ah (tambahan tempo pembayaran). Jika tidak telat membayar, maka tidak ada riba/bunga. Jika ada keterlambatan dan ada tambahan tempo untuk membayar, maka baru berlaku riba/bunga. Sementara bunga yang diberlakukan hari ini diberlakukan dari sejak awal transaksi meskipun peminjam tidak membayar terlambat dari tempo yang ditentukan. Lalu ketika terlambat dari tempo yang sudah ditentukan, ditarik lagi denda tambahan yang pada hakikatnya bunga-bunga juga dan jelas diharamkan.

Dalam fatwa tahun 2004, MUI menjelaskan bahwa bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardl) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase. Sementara riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Dan inilah yang disebut riba nasi`ah.

MUI kemudian menegaskan dua hal: Pertama, praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah saw, yakni riba nasi`ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya. Kedua, praktik pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya, maupun dilakukan oleh individu.

Lebih lanjut MUI memberikan rekomendasi: (1) Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga. (2) Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syari’ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dlarurat/hajat.

Terkait “denda administrasi” atau istilah syari’ah-nya ta’widl baru sah jika sang penarik denda sudah mengeluarkan jasa/barang yang bukan “pinjaman”—yakni berupa jual beli jasa/barang atau sewa menyewa—dan mengalami kerugian akibat keterlambatan pembayaran. Contohnya seperti PLN yang sudah menjual listrik dan mengalami kerugian akibat keterlambatan pembayaran pelanggan, maka PLN memberlakukan denda. Atau sebuah Perguruan Tinggi (PT) swasta yang sudah melakukan kegiatan akademik untuk para mahasiswanya, tetapi mahasiswa telat membayar sehingga PT rugi karena tetap harus membayar dosen dan karyawan. Denda untuk mahasiswa yang telat membayar bisa dibenarkan. Jika denda itu akadnya “pinjaman” sebagaimana umum berlaku di bank, koperasi, atau lembaga/individu lainnya maka ini bukan ta’widl melainkan riba nasi`ah (Fatwa DSN-MUI No. 43 tentang ganti rugi/ta’widh).

Praktik bunga dalam pinjaman hari ini sering juga mengandung unsur penipuan. Sebagai contoh misalnya, sebuah Koperasi Simpan Pinjam memberlakukan bunga 2% dari keseluruhan jumlah sisa utang di setiap kali cicilan pembayarannya. Jika pinjam 2.000.000 dengan cicilan 10 kali, maka di cicilan pertama bayar 240.000 (cicilan 200.000 + bunga 2% dari 2.000.000). Cicilan kedua bayar 236.000 (cicilan 200.000 + bunga 2% dari 1.800.000). Dan demikian seterusnya sampai cicilan ke-10. Meski dinyatakan bunga 2%, jika dihitung sampai cicilan ke-10 bunga yang sebenarnya adalah 11%. Jadi selain praktik bunga yang lebih kejam, bunga zaman sekarang ini disertai juga dengan penipuan.

Islam sudah dari sejak awal memberikan solusi. Akad pinjaman itu dasarnya harus ta’awun (tolong menolong) atau shadaqah, bukan profit oriented (berorientasi pada keuntungan). Maka dari itu segala jenis riba dalam pinjaman yang jelas didasari profit oriented hukumnya haram karena pasti zhalim. Di satu sisi peminjam modal belum tentu untung, sementara pihak kreditur menetapkan sendiri harus selalu untung, tanpa mau peduli bagaimana perkembangan usaha dari peminjam modal. Di satu sisi peminjam meminjam karena kesulitan, di sisi lain kreditur memeras bunga dari orang yang kesulitan.

Akad yang dibenarkan secara syari’ah dalam konteks “pinjaman” sebagaimana diulas di atas bukan kredit, melainkan ‘pembiayaan’ (financing). Akad yang biasa diberlakukan adalah mudlarabah, musyarakah, murabahah, atau bai’ istishna’.

Akad mudlarabah atau musyarakah (kerja sama permodalan) diberlakukan oleh bank syari’ah kepada seseorang yang butuh modal usaha. Jika modal usaha itu sepenuhnya dari bank, akadnya mudlarabah. Jika sebagiannya saja, akadnya musyarakah. Nanti bank syari’ah mendapatkan pembayaran uang yang digunakan untuk modal oleh nasabah dan bagian dari bagi hasil usaha. Biasanya misalkan nisbahnya 60 : 40 untuk nasabah : bank. Jadi kalau seseorang butuh modal 100.000.000,- dan hasil keuntungan yang diprediksi 20.000.000,- maka nanti nasabah setor ke bank syari’ah 100.000.000,- + 8.000.000,- (40% dari hasil usaha). Biasanya pembayarannya diangsur dua tahun, jadi 108.000.000 : 24 = 4.500.000 per bulan. Catatannya, jika kemudian usaha nasabah rugi, maka nasabah tidak ada kewajiban menyetorkan bagian hasil usaha. Hanya wajib menyetorkan uang pinjaman modal 100.000.000,- berdasarkan QS. al-Baqarah [2] : 279-280. Di beberapa bank syari’ah tertentu, kejadian kerugian usaha ini seringkali tidak diperhitungkan. Maka setiap orang harus hati-hati, sebab jika tidak diperhitungkan kejadian kerugian usaha, berarti itu riba, bukan mudlarabah/musyarakah, sebab memaksakan adanya kelebihan/bunga meski yang meminjam tidak mendapatkan untung.

Murabahah (jual beli kredit) biasanya diberlakukan pada seseorang yang membutuhkan barang yang mahal seperti kendaraan atau rumah. Jika seseorang butuh rumah atau mobil, maka bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembelinya. Rumah/mobil yang nasabah butuhkan akan dibeli terlebih dahulu oleh bank, lalu bank menjualnya kepada nasabah dengan cara diangsur. Kesalahan biasanya dilakukan oleh bank dengan menyerahkan kepada nasabah akad jual beli dengan developer rumah atau penjual mobilnya. Lalu nasabah tersebut datang ke bank dan memohon dana untuk transaksi jual beli dengan developer/penjual mobil. Yang seperti ini berarti akad pinjaman, bukan pembiayaan/jual beli. Jika kemudian anda membayar angsuran ke bank, maka itu angsuran pinjaman yang kelebihannya adalah riba. Hukumnya haram.

Bai’ istishna’ (jual beli pembuatan barang) mekanismenya tidak jauh berbeda dengan murabahah, dimana akad yang diberlakukan jual beli. Biasanya diberlakukan di bidang manufaktur, contohnya dalam renovasi rumah. Jika seorang nasabah butuh dana 100.000.000,- untuk renovasi rumah, maka akadnya nasabah membeli kepada bank jasa renovasi rumah sebesar 120.000.000,-. Jadi nasabah membayar kepada bank secara diangsur sebesar 120.000.000,- meski bank mengeluarkan dana untuk renovasi sebesar 100.000.000,-. Tetapi nasabah harus tidak tahu menahu tentang pembiayaan renovasi itu. Murni bank yang mengatur pembiayaan renovasi itu dengan menunjuk rekanan toko matrial/pemborong tertentu dalam mengerjakan renovasi tersebut. Jika yang terjadi uang 100.000.000,- itu diberikan cash kepada nasabah dan nasabah yang mengatur pembiayaan renovasi, berarti ketika nasabah membayar angsuran kepada bank sebesar 120.000.000,- itu akadnya pinjaman berbunga. Hukumnya haram.

Maka dari itu dibutuhkan kehati-hatian yang ekstra dalam menghadapi riba ini. Hadits Nabi saw tentang syubhat (yang tidak jelas halal-haramnya) harus dijadikan pegangan. Hadits itu pada hakikatnya mengajarkan setiap muslim untuk ekstra hati-hati dalam menyikapi halal dan haram ini. Bahkan jika bentuknya tidak jelas atau diragukan kehalalannya (syubhat), maka Nabi saw memerintahkan kita untuk menjauhinya sebab ada unsur haramnya. Nabi saw bahkan mengaitkannya dengan hati, untuk menunjukkan kadar kebersihan hati seorang muslim itu tergantung pada kehati-hatiannya dalam menghadapi halal-haram.

 

Tabungan Bank/Koperasi

Ini merupakan konsekuensi lanjutan dari haramnya bunga bank, koperasi, lembaga keuangan lainnya, ataupun perorangan. Maka setiap tabungan yang dititipkan kepada pihak-pihak yang memberlakukan sistem bunga hukumnya haram karena sama saja dengan membantu pihak yang memberlakukan sistem ribawi untuk menjalankan praktik ribawinya. Dalam hadits Jabir pun sudah jelas diketahui bahwa yang dilaknat dalam riba itu bukan hanya pihak kreditur (yang menarik riba)-nya saja, melainkan juga debitur (pemberi bunga)-nya, pencatatnya, dan saksi-saksinya.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ ﷺ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir, ia berkata: Rasulullah saw melaknat pemakan riba, orang yang memberinya, pencatatnya, dan kedua pihak saksinya. Beliau bersabda: “Mereka semua sama.” (Shahih Muslim kitab al-musaqah bab la’ni akilir-riba wa mu`kilahu no. 2995)

Dewan Syari’ah Nasional MUI dalam hal ini sudah mengeluarkan fatwa sejak tahun 2000 silam. Isi dari fatwa tersebut adalah:

Tabungan ada dua jenis: (1) Tabungan yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga. (2) Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah.

 

Ketentuan umum tabungan berdasarkan mudharabah adalah nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya. Dan bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Sementara ketentuan umum tabungan berdasarkan wadi’ah bersifat simpanan. Simpanan tersebut bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.

 

Jual Beli Kredit

Secara umum tidak ada yang salah dengan jual beli kredit. Hukumnya mubah/halal, selama tidak ada unsur-unsur yang diharamkan. Allah swt sendiri dalam al-Qur`an membolehkan pembayaran yang diangsur:

وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ٢٨٠

Dan jika (orang yang berutang) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan (QS. al-Baqarah [2] : 280).

Akan tetapi dalam praktik hari ini, jual beli kredit banyak juga mengandung unsur haramnya, yang utama adalah riba. Itu disebabkan jual beli kredit hari ini pada umumnya melibatkan lembaga keuangan seperti bank, multifinance, ataupun koperasi. Jika seseorang membeli kendaraan di dealer A, membayarnya pada umumnya tidak ke dealer, melainkan ke bank/multifinance/koperasi B. Itu berarti akadnya pinjam uang ke bank/multifinance/koperasi B untuk membeli kendaraan ke dealer A. Kemudian membayar ke bank/multifinance/koperasi B dicicil dan harganya berlebih. Uang pembayaran lebih itu adalah riba, sebab termasuk bunga pinjaman, bukan laba jual beli. Sebab bank/multifinance/koperasi tidak menjual kendaraan, bank/multifinance/koperasi hanya mengeluarkan uang pinjaman untuk dibayar dengan diangsur disertai bunga.

Dikecualikan jika kasusnya pihak bank/multifinance/koperasi langsung yang menjual rumah atau kendaraan. Jadi pembeli tidak bertransaksi dengan developer perumahan ataupun dealer kendaraan. Pembeli tinggal terima jadi rumah atau kendaraan dari pihak bank/multifinance/koperasi. Yang seperti ini murni jual beli kredit, bukan pinjaman yang ada unsur ribanya.

Hal kedua yang sering menyebabkan jual beli kredit haram adalah memberlakukan dua harga yang tidak jelas. Ini masuk larangan Nabi saw:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Dari Abu Hurairah ra ia berkata: “Rasulullah saw melarang dua transasksi dalam satu transaksi.” (Sunan at-Tirmidzi bab an-nahyi ‘an bai’ataini fi bai’atin no. 1231)

Imam at-Tirmidzi menjelaskan: Maksudnya seorang penjual yang mengatakan aku jual kain ini dengan kontan 10 dinar, dan jika kredit 20 dinar, dan tidak ditentukan mana yang disepakati. Jika disepakati salah satunya, tidak termasuk yang dilarang hadits ini.

Dalam jual beli kredit kendaraan biasanya ada akad: Harga kredit mobil 23 bulan: 230 juta. Jika lunas dalam 12 bulan: 205 juta. Jika disanggupi yang 12 bulan, lalu ternyata jatuh tempo/penalti, sehingga menjadi 23 bulan, maka kelebihan harga masuk kategori riba, karena ada bunga/tambahan harga disebabkan tempo yang ditambah. Terkecuali jika kasusnya dibalik; ditetapkan yang 23 bulan, lalu ternyata ketika mampu melunasi dalam 12 bulan, dikenakan potongan dari 230 juta menjadi 205 juta. Ini tidak termasuk riba. Maka dari itu dalam riwayat Abu Dawud, Nabi saw bersabda:

مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا

Siapa yang menjual dua transaksi dalam satu transaksi maka baginya hanya harga yang lebih rendahnya saja, atau jika tidak maka itu riba (Sunan Abi Dawud kitab al-ijarah bab fi man ba’a bai’atain fi bai’ah no. 3463).

Ketiga, hal yang diharamkan dalam jual beli kredit kendaraan adalah leasing (sewa-beli). Ini termasuk ke dalam menyatukan dua akad dalam satu akad, yakni akad sewa dan beli dalam satu transaksi. Disebut sewa, tidak sepenuhnya, sebab kendaraan BPKB-nya atas nama pembeli. Di samping itu biaya service kerusakan tidak dari dealer, demikian juga biaya pajak kendaraan, dan biaya sewa juga tidak wajar. Disebut beli, tidak sepenuhnya juga, sebab ketika telat cicilan, direbut paksa, tanpa dibeli lagi oleh dealer. Akad seperti ini tidak halal. Nabi saw bersabda:

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Tidak halal pinjam dan beli, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan yang belum terjamin, dan menjual yang tidak kamu miliki (Sunan Abi Dawud no. 3506; Sunan at-Tirmidzi no. 1234)

 

Kredit Kepemilikan Rumah/Kendaraan

Berdasarkan uraian di atas, maka KPR (kredit kepemilikan rumah) atau KPK (kredit kepemilikan kendaraan) yang lumrah dikeluarkan oleh bank atau multifinance lainnya jelas termasuk riba. Sebab akadnya pinjaman, bukan jual beli langsung dengan pihak bank/multifinance. Pembeli membeli rumah/kendaraannya kepada developer perumahan atau dealer kendaraan. Di samping itu diberlakukan riba (bunga) dalam angsurannya, bahkan dengan besaran bunga yang fluktuatif di setiap periode cicilannya.

Dalam konteks kredit rumah/kendaraan ini seringkali ditemukan alasan yang terlalu mudah dijadikan dalih, yakni darurat. Padahal dari sejak zaman Nabi saw juga tidak ada yang meminjam tidak darurat. Semua yang meminjam pasti statusnya darurat atau mendesak. Jika tidak mendesak tidak mungkin memaksakan diri meminjam. Meski demikian, jika faktanya mengandung riba, hukumnya tetap saja haram.

Dikecualikan jika kredit yang dimaksud dilakukan dengan lembaga keuangan syari’ah, sebab akad yang diberlakukan tidak mungkin kredit, melainkan ‘pembiayaan’ (financing). Akad yang biasa diberlakukan adalah murabahah atau bai’ istishna’ sebagaimana sudah diulas di atas. Meski demikian setiap pembeli harus cermat, sebab terkadang pihak lembaga keuangan syari’ah tidak menempuh akad pembiayaan secara tepat benar berdasarkan syari’ah. Pedoman dari Nabi saw untuk ekstra hati-hati dalam menghadapi halal-haram dan kalau mendapati yang samar kehalalannya (syubhat) harus ditinggalkan juga, harus dijadikan pegangan yang kuat agar selamat.

 

Kartu Kredit

Kartu kredit adalah sebuah produk lembaga keuangan modern yang hari ini sudah digunakan secara luas oleh masyarakat. Kartu kredit dewasa ini bukan sekedar gaya hidup, tetapi merupakan kebutuhan bagi masyarakat modern untuk menunjang semua aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Semua keperluan bisnis maupun pribadi, mulai dari membiayai perjalanan dinas, menjamu klien, biaya kelahiran si kecil, belanja kebutuhan harian, atau berlibur bersama keluarga tercinta, dapat dipenuhi oleh kartu kredit.

Wujudnya sendiri adalah sebuah kartu plastik elektronik yang ukurannya standar sesuai ISO 7810. Kartu tersebut dikeluarkan oleh sebuah lembaga keuangan semacam Bank. Dengan kartu tersebut sang pemilik kartu bisa berbelanja secara kredit di berbagai tempat yang menyediakan layanan kredit berbasis kartu kredit atau menarik uang di sejumlah ATM. Secara langsung maka Bank akan membayarkan terlebih dahulu transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit. Baru kemudian sesudahnya, sesuai jangka waktu yang ditentukan—sebulan misalnya—sang pemilik kartu kredit membayar ke Bank. Dengan sistem seperti ini, seseorang tidak perlu repot-tepot membawa uang banyak ketika hendak bepergian. Cukup dengan satu kartu kredit saja, semua jenis transaksi akan dengan mudah terlaksana.

Akan tetapi masalahnya, setiap lembaga keuangan pada umumnya menerapkan beban lebih atas pembayaran yang dilakukan melalui kartu kredit. Contohnya jika seseorang berbelanja Rp. 1.000.000,- dengan kartu kredit, maka ia kelak harus membayar ke Bank Rp. 1.050.000,-. Jika dalam tempo yang ditentukan belum dibayarkan, maka pembayaran ke Bank dilipatgandakan menjadi Rp. 1.100.000,-. Jika dalam tempo yang kedua ini belum juga dibayar, maka pembayaran ke Bank dilipatgandakan lagi menjadi Rp. 1.150.000,-. Pihak Bank berdalih bahwa itu adalah ongkos administrasi dari sistem kartu kredit. Tetapi faktanya diberlakukan kelipatannya pada setiap tempo yang terlewati dan jelas-jelas merupakan bunga yang haram.

Dikecualikan tentunya kartu kredit syari’ah yang diterbitkan oleh Bank Syari’ah. Dengan pola yang sama, Bank Syari’ah menydiakan layanan kartu kredit kepada para nasabahnya. Akan tetapi yang membedakan, Bank Syari’ah hanya menarik biaya administrasi yang ditetapkan di awal. Artinya, ketika sang pengguna kartu terlambat membayar ke Bank pada waktu yang telah ditentukan, tidak kemudian beban pembayarannya pun menjadi bertambah dengan sebab bunga.

Akad yang diberlakukan dalam kartu kredit syari’ah adalah ijarah (sewa fasilitas) dan kafalah (talangan utang). Akan ijarah itu sendiri bentuknya: Penerbit kartu kredit, yang dalam hal ini Bank, adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan bagi pemegang kartu kredit, yakni nasabah. Maka berdasarkan penyediaan jasa ini, Bank berhak mendapatkan fee/bayaran dari nasabah. Gambaran sederhananya, nasabah menyewa fasilitas layanan kartu kredit dari Bank. Atas penyewaan tersebut, otomatis nasabah harus membayar biaya sewaan.

Sementara akad kafalah mekanismenya: Bank adalah penjamin (kafil) bagi nasabah terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dain/utang) yang timbul antara nasabah dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari Bank atau ATM Bank yang berlainan. Atas pemberian kafalah ini maka Bank menerima fee sebagai ujrah kafalah (biaya kafalah).

Akan tetapi jika namanya saja kartu kredit syari’ah, tetapi mekanismenya sama dengan kartu kredit konvensional, maka label “syari’ah” tersebut tidak serta merta bisa menghalalkan yang haram. Yang haram tetaplah haram.

 

Pegadaian Riba

Gadai itu akadnya pinjam-meminjam, sebab yang menggadaikan kelak harus membayar pinjamannya dan menarik kembali barang yang digadaikannya. Jika di samping kewajiban membayar pinjamannya juga ada manfaat tambahan yang ditarik oleh pegadaian/penerima gadai dari yang menggadaikan, maka itu riba (kelebihan yang haram), sebagaimana ditegaskan dalam hadits di awal yang dijadikan dalil pokok dalam tulisan ini.

Di samping itu Nabi saw juga menegaskan bahwa barang gadaian itu statusnya tetap milik yang menggadaikan. Segala keuntungan dan kerugian dari barang tersebut sepenuhnya tanggung jawab pemiliknya. Jika pegadaian/penerima gadai hendak menggunakannya maka harus dengan membayar biaya penggunaan/sewa barang tersebut.

لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ، لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ

“Gadai tidak menghalangi kepemilikan yang menggadaikan atas barang yang digadaikannya. Keuntungannya baginya (yang menggadaikan) dan kerugian juga tanggung jawabnya (yang menggadaikan).” (Riwayat as-Syafi’i, ad-Daraquthni dan al-Hakim. Bulughul-Maram no. 879)

اَلرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

Binatang yang digadaikan boleh ditunggangi jika dibayar nafaqahnya, dan susu dari hewan yang digadaikan boleh diminum jika dibayar nafaqahnya. Dan bagi orang yang menunggangi dan memimumnya wajib membayar nafaqahnya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-buyu’ bab ar-rahn markubun wa mahlubun no. 2512).

Maka dari itu dalam kasus yang menggadaikan tidak bisa melunasi pinjamannya, tidak berlaku otomatis barang gadai itu berpindah hak milik kepada pegadaian/penerima gadai. Harus dijual terlebih dahulu dengan kesepakatan pemiliknya. Jika hasil penjualan ada lebihnya dari pinjaman, maka harus dikembalikan kepada pemilik asalnya. Jika hasil penjualan justru kurang untuk menutupi pinjaman, maka pemiliknya masih harus membayar sisa utang/pinjamannya.

Yang berlaku umum dalam pegadaian, pihak penerima gadai seringkali memakai barang yang digadaikan. Ini jelas termasuk riba karena peminjam jadinya membayar pinjaman plus jasa pemakaian barangnya yang digadaikan. Apalagi jika kemudian kendaraan yang digadaikan itu direntalkan, lalu uang hasil rentalnya menjadi milik penerima gadai. Ini lebih jelas lagi haramnya karena merupakan riba yang berlipat-lipat. Padahal jelas kendaraan itu milik yang menggadaikan. Semestinya keuntungan dari kendaraan tersebut menjadi hak milik yang menggadaikan. Hal yang sama berlaku pada gadai sawah, yang jika peminjam tidak kunjung mampu membayar pinjamannya, maka sawah itu ditanami oleh pihak penerima gadai dan hasilnya dinikmati oleh penerima gadai, bahkan sampai waktu yang tidak ditentukan. Gadai emas juga termasuk pada gadai yang mengandung unsur haramnya, ketika ternyata emas itu diinvestasikan oleh penerima gadai dan keuntungannya menjadi hak penerima gadai. Padahal nyatanya emas itu milik yang menggadaikan, semestinya segala keuntungan dari emas tersebut menjadi hak milik yang menggadaikan.

Termasuk tentunya pemberlakuan kelebihan dalam pembayaran pinjaman dari pihak peminjam/pemberi gadai kepada pihak penerima gadai di luar biaya administrasi/ujrah. Ini jelas termasuk riba juga, meskipun barang yang digadaikan tidak digunakan atau dimanfaatkan oleh penerima gadai.

 

Suap dan Gratifikasi

Dari atsar-atsar shahabat seputar pinjaman yang menarik manfaat termasuk riba sebagaimana diulas di awal, diketahui bahwa pemberian hadiah atau suap kepada pihak pemberi pinjaman termasuk pada riba dan haram. Baik itu bentuknya suap langsung atau gratifikasi (hadiah). Yang membedakannya, suap adalah “riba” yang terang-terangan, sementara gratifikasi (hadiah) adalah “riba” yang tersembunyi di balik sistem ribawi yang sudah parah. Maka dari itu al-Hafizh Ibn Hajar menuliskan hadits suap dan gratifikasi ini dalam bab riba di kitabnya Bulughul-Maram.

وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ  عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: مَنْ شَفَعَ لِأَخِيهِ شَفَاعَةً فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَقَبِلَهَا, فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيماً مِنْ أَبْوَابِ اَلرِّبَا. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَفِي إِسْنَادِهِ مَقَالٌ

Dari Abu Umamah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Barangsiapa memberi syafa’at (bantuan) kepada saudaranya, lalu ia diberi hadiah dan diterimanya, maka ia telah mendatangi sebuah pintu besar dari pintu-pintu riba.” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dan dalam sanadnya ada pembicaraan (Bulughul-Maram kitab al-buyu’ bab ar-riba no. 861. Ibnul-Qaththan dalam al-Wahm wal-Iham 4 : 519 menilainya shahih. Demikian juga al-Albani dalam Silsilah as-Shahihah no. 3465).

وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللهِ ﷺ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ

Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ra ia berkata: “Rasulullah saw melaknat penyuap dan yang diberi suap.” Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dan at-Tirmidzi menilainya shahih (Bulughul-Maram kitab al-buyu’ bab ar-riba no. 862).

Termasuk dalam kategori ini adalah “uang tip”. “Tip” arti asalnya “persen”. Maksudnya pemberian uang atau barang di luar aturan yang sudah ditentukan kepada para pekerja. Mereka yang biasa diberi tip adalah pelayan hotel, restoran, tukang parkir, satpam atau polisi. Mereka diberi oleh tamu atas jasanya membantu dalam beberapa pekerjaan tertentu. Disebut “tip” karena memang para pekerja itu sebenarnya sudah mendapatkan gaji tetap dari tempatnya bekerja. Para pemberi tip itu juga sudah membayar tarif atau bayaran sebagaimana sudah ditentukan kepada hotel, restoran, pos parkir, atau kepolisian. Dalam konteks ‘riba’ tampak sekali ada ‘riba’ (kelebihan) yang dibayarkan lebih dari yang seharusnya.

Pada awalnya tip ini diberikan secara sukarela. Tetapi karena sudah menjadi budaya, pemberian uang tip ini menjadi sesuatu yang seakan-akan wajib. Jika tidak diberi, maka tidak ada pelayanan prima yang seharusnya diberikan pekerja kepada konsumen. Dalam hal ini maka penzhaliman terjadi. Di sini berarti ada korupsi atau penyelewengan wewenang dan tugas. Dalam konteks inilah nasihat dari ‘Abdullah ibn Salam, Ubay ibn Ka’ab, dan ‘Abdullah ibn ‘Abbas di awal yang menyebutkannya sebagai bagian dari riba karena terjadi di suatu daerah yang sudah terjerat sistem ribawi menjadi mudah dipahami.

Uang tip atau dikenal juga dengan istilah “uang komisi” kemudian berlaku pada semua aspek pekerjaan. Seorang ASN/PNS yang seharusnya melayani masyarakat sepenuh hati, menjadi hanya siap melayani jika ada uang tipnya, bahkan sampai ditentukan harus sekian persen. Seorang dosen yang seharusnya mengajar dan membimbing penelitian mahasiswanya tanpa pandang bulu, menjadi hanya bersedia mengajar kalau perkuliahan atau bimbingan diselenggarakan di restoran atau hotel tertentu. Ia juga bersedia secara sukarela membimbing hanya kepada mahasiswa yang sering memberinya hadiah. Seorang pejabat di satu perusahaan atau instansi pemerintahan juga menjadi merasa lumrah-lumrah saja jika ia kemudian hanya memberikan proyek kepada orang-orang yang menjanjikan uang tip/komisi yang besar. Meski itu berakibat pada pemotongan anggaran atau penggelembungan harga yang berdampak pada penggelapan uang perusahaan atau uang rakyat. Dampak yang lebih parahnya, ia tidak akan memberikan izin satu proyek jika tidak ada hadiah yang diinginkannya. Ini jelas sebuah kezhaliman, karena penentuan siapa yang mendapatkan proyek bukan bergantung pada kualitas, melainkan kuantitas bayaran.

Dengan memakai kaidah saddu dzari’ah (menutup jalan yang mengarah pada yang haram), maka meski sifat asalnya sukarela tetapi karena menyebabkan tumbuhnya budaya korupsi yang jelas-jelas merugikan masyarakat, uang tip ini jadi harus diharamkan secara mutlak. Agar guru dan dosen tidak lagi hanya memperhatikan siswa dan mahasiswa yang sering memberinya hadiah saja, dengan abai kepada yang lainnya. Agar orangtua tidak lagi merasa terpaksa memberikan hadiah kepada guru dan kepala sekolah di setiap akhir tahun pelajaran. Agar sekolah dan perguruan tinggi tidak lagi menghabiskan anggaran yang besar hanya untuk memberi hadiah kepada assesor akreditasi. Atau tegasnya, agar tidak ada lagi budaya korupsi di semua lapisan masyarakat.

Dalam konteks inilah maka fatwa para shahabat sebagaimana diuraikan di atas mudah dimengerti maksudnya. Hukum asalnya memang mubah memberikan hadiah itu. Akan tetapi jika sudah menjadi sistem yang mengikat, maka statusnya menjadi riba dan haram.

 

والله أعلم بالصواب

سبحان الله بحمده سبحان الله العظيم

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button