Akhlaq

Miskin Tapi Banyak Gaya

Zaman sekarang adalah zaman harus banyak gaya. Orang-orang kaya dituntut bergaya seukuran kekayaannya. Meski itu sesuatu yang lumrah saja bagi mereka jika diimbangi dengan shadaqah yang seukuran kekayaannya juga. Nahasnya orang-orang miskin pun terbawa arus banyak gaya. Jadinya mereka terkena sindrom BPJS; bujet pas pasan jiwa sosialita. Utang banyak, qurban tidak mampu, shadaqah nyaris tidak pernah, tetapi bergaya seperti orang kaya. Nafsunya besar untuk seperti crazy rich, tapi nyatanya hanya crazy saja tanpa rich.

Nabi saw dan para shahabat sudah seyogianya menjadi panutan setiap muslim. Mereka adalah orang-orang kaya dan itu terbukti dari betapa besar shadaqah dan kedermawanannya. Tetapi mereka tetap hidup sederhana dan bahkan siap hidup miskin demi berbagi dengan kerabat, tetangga, dan masyarakat sekelilingnya.

Nabi saw sudah mengajarkan bahwa kekayaan itu bukan dilihat dari penampilan yang banyak gaya, tetapi diukurkan pada shadaqah yang tak terhingga. Jadi apa artinya penampilan banyak gaya dengan maksud dikenal sebagai orang kaya, bagi orang-orang muslim yang sudah tercerahkan hal itu tidak akan membuat mereka menilainya orang kaya. Bagi muslim yang sudah tercerahkan kekayaan itu diukurkan pada seberapa besar shadaqahnya. Kaya dalam gaya, tetapi miskin dalam shadaqah, tetap saja akan dinilai sebagai orang miskin karena hatinya miskin. Apalagi yang nyatanya berharta miskin tetapi malah banyak gaya, hanya semakin memperburuk penilaian dirinya di mata orang-orang shalih. Nabi saw mengingatkan dalam sabdanya:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Kaya itu bukan banyak harta (dalam penampilan), tetapi kaya itu adalah kaya hati (banyak berderma) (Shahih Muslim kitab az-zakat bab laisal-ghina ‘an katsratil-‘aradl no. 2467).

Dalam satu peperangan, Nabi saw pernah memperoleh hamba sahaya cukup banyak. Ketika Fathimah ra meminta satu untuk dijadikan pembantu, Nabi saw menjawab:

وَاَللَّه لَا أُعْطِيكُمَا وَأَدَع أَهْل الصُّفَّة تُطْوَى بُطُونهمْ لَا أَجِد مَا أُنْفِق عَلَيْهِمْ وَلَكِنِّي أَبِيعهُمْ وَأُنْفِق عَلَيْهِمْ أَثْمَانهمْ

“Demi Allah, aku tidak akan memberi kepada kalian berdua sementara aku membiarkan Ahlus-Shuffah (yang tinggal di shuffah; pelataran masjid) dalam keadaan perut kosong dan aku tidak punya sesuatu yang bisa aku nafkahkan kepada mereka. Maaf, aku akan jual para tawanan perang itu dan aku akan infaqkan hasilnya kepada Ahlus-Shuffah.” (Musnad Ahmad bab musnad ‘Ali ibn Abi Thalib no. 838).

Perhatiannya kepada Ahlus-Shuffah (orang yang tinggal sementara di masjid, umumnya para pelancong yang sedang belajar Islam di masjid Nabi saw) yang berjumlah sekitar 70 orang diceritakan juga oleh Abu Hurairah ra yang merupakan salah seorang dari mereka:

وَأَهْلُ الصُّفَّةِ أَضْيَافُ الْإِسْلَامِ لَا يَأْوُونَ إِلَى أَهْلٍ وَلَا مَالٍ وَلَا عَلَى أَحَدٍ إِذَا أَتَتْهُ صَدَقَةٌ بَعَثَ بِهَا إِلَيْهِمْ وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْهَا شَيْئًا وَإِذَا أَتَتْهُ هَدِيَّةٌ أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ وَأَصَابَ مِنْهَا وَأَشْرَكَهُمْ فِيهَا

Ahlus-Shuffah adalah tamu-tamu Islam yang tidak memiliki rumah, harta, tidak pula seorang pun keluarga/teman. Apabila ada shadaqah datang, beliau selalu mengirimkannya kepada mereka dan tidak mengambilnya sedikit pun. Tetapi apabila yang datang kepada beliau hadiah, beliau pun selalu mengirimkannya untuk mereka, tetapi setelah mengambilnya sedikit, dan kemudian berbagi sama dengan mereka (Shahih al-Bukhari bab kaifa kana ‘aisyun-Nabi saw wa ashhabihi wa takhallihim minad-dunya no. 6452).

Dalam konteks itulah maka Nabi saw yang kaya harta tidak pernah banyak gaya, karena selalu mendahulukan berderma.

عَنْ أَنَسٍ  قَالَ لَمْ يَأْكُلْ النَّبِيُّ ﷺ عَلَى خِوَانٍ حَتَّى مَاتَ وَمَا أَكَلَ خُبْزًا مُرَقَّقًا حَتَّى مَاتَ

Dari Anas ra ia berkata: “Nabi saw tidak pernah makan di atas hidangan mewah sampai meninggalnya. Dan tidak pernah beliau makan roti dari tepung halus sampai meninggalnya.” (Shahih al-Bukhari bab fadlil-faqr no. 6450).

Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan kesederhanaan Nabi saw dalam makan. Beliau tidak pernah makan mewah dan di tempat-tempat yang mewah. Ibn Bathal menjelaskan bahwa hadits ini jelas menunjukkan pilihan Nabi saw untuk meninggalkan kemewahan dunia, meski Nabi saw mampu untuk memperolehnya (Fathul-Bari).

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَقَدْ تُوُفِّيَ النَّبِيُّ ﷺ وَمَا فِي رَفِّي مِنْ شَيْءٍ يَأْكُلُهُ ذُو كَبِدٍ إِلَّا شَطْرُ شَعِيرٍ فِي رَفٍّ لِي فَأَكَلْتُ مِنْهُ حَتَّى طَالَ عَلَيَّ فَكِلْتُهُ فَفَنِيَ

Dari ‘Aisyah ra ia berkata: “Sungguh ketika Nabi saw wafat tidak ada dalam rakku sesuatu apapun yang bisa dimakan oleh makhluk hidup kecuali sedikit sya’ir. Aku makan darinya selama beberapa waktu. Ketika aku menakarnya untuk dijual sebagian, maka habislah.” (Shahih al-Bukhari bab fadlil-faqr no. 6451).

Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, jangan dipahami bahwa Nabi saw tidak mementingkan makanan untuk keluarganya. Yang benar beliau selalu mementingkan makanan untuk keluarganya sampai jarak satu tahun. Tetapi Nabi saw dan keluarganya juga selalu mementingkan orang lain yang meminta makanan dari mereka (QS. al-Ahzab [33] : 53), sehingga tidak pernah menyisakan banyak. Meski demikian selalu cukup karena barakah Nabi saw. Barakah itu ada selama makanan yang diberikan Nabi saw tidak ada yang dijual. Ketika dijual maka hilanglah barakahnya, sehingga kemudian cepat habis (Fathul-Bari). Selain dari hasil kebunnya, Nabi saw menafkahi keluarganya dari harta rampasan perang yang memang disediakan bagian khusus oleh Allah swt untuknya. ‘Umar ibn al-Khaththab pernah menjelaskan:

فَقَسَمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بَيْنَكُمْ أَمْوَالَ بَنِى النَّضِيرِ فَوَاللَّهِ مَا اسْتَأْثَرَ عَلَيْكُمْ وَلاَ أَخَذَهَا دُونَكُمْ حَتَّى بَقِىَ هَذَا الْمَالُ فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَأْخُذُ مِنْهُ نَفَقَةَ سَنَةٍ ثُمَّ يَجْعَلُ مَا بَقِىَ أُسْوَةَ الْمَالِ

Rasulullah saw membagikan harta rampasan Banin-Nadlir kepada kalian. Demi Allah beliau tidak mendahulukan dirinya sebelum kalian tidak juga mengambilnya sebelum kalian. Ketika harta masih tersisa, Rasulullah mengambilnya untuk nafkah keluarganya selama 1 tahun, kemudian sisanya dijadikan harta untuk kepentingan bersama (Shahih Muslim bab hukmil-fai` no. 4676).

Dalam kesempatan lain ‘Aisyah dan Anas ra menjelaskan:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ فِرَاشُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مِنْ أَدَمٍ وَحَشْوُهُ مِنْ لِيفٍ

Dari ‘Aisyah ra ia berkata: “Kasur Rasulullah saw dari kulit binatang dan isinya sabut.” (Shahih al-Bukhari bab kaifa kana ‘aisyun-Nabiy saw wa ashhabihi no. 6456).

عَنْ قَتَادَةَ قَالَ كُنَّا نَأْتِي أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ وَخَبَّازُهُ قَائِمٌ وَقَالَ كُلُوا فَمَا أَعْلَمُ النَّبِيَّ ﷺ رَأَى رَغِيفًا مُرَقَّقًا حَتَّى لَحِقَ بِاللَّهِ وَلَا رَأَى شَاةً سَمِيطًا بِعَيْنِهِ قَطُّ

Dari Qatadah, ia berkata: Kami pernah bertamu ke rumah Anas dan saat itu pembantunya tukang pembuat roti dari tepung halus sedang berdiri. Anas berkata: “Silahkan makan. Aku tidak tahu Nabi saw pernah melihat roti dari tepung gandum yang dihaluskan (terigu) sampai beliau bertemu Allah/wafat. Dan beliau tidak pernah melihat daging kambing muda sekalipun.” (Shahih al-Bukhari bab kaifa kana ‘aisyun-Nabiy saw wa ashhabihi no. 6457).

Hadits-hadits di atas tentunya bukan berarti mengharuskan setiap muslim hidup miskin, sebab faktanya ‘Aisyah dan Anas ra sendiri ketika menceritakan hadits di atas sudah hidup berkecukupan karena mayoritas masyarakatnya juga sudah hidup berkecukupan. ‘Aisyah sampai pernah mampu membebaskan 40 orang hamba sahaya dan memiliki tanah yang luas (Shahih al-Bukhari kitab al-adab bab al-hijrah no. 6073-6075). Anas sendiri menjadi petani kurma yang paling kaya di Madinah (Shahih al-Bukhari kitab as-shaum bab man zara qauman fa lam yufthir ‘indahum no. 1982). Apa yang diceritakan hadits di atas mengajarkan agar ketika masyarakat umum banyak hidup susah maka berbagilah dan hiduplah bersama mereka, bukan malah banyak gaya dan tingkah yang hanya akan menyakitkan hati mereka. Apalagi orang-orang yang hidupnya miskin, tahanlah nafsu untuk berpenampilan crazy rich dan sosialita. Akan lebih baik harta yang sedikit itu dianggarkan untuk bayar utang, shadaqah, atau qurban. Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button