Orang Kaya Pasti Qurban

Ajaran Nabi ﷺ bahwa kekayaan tidak diukurkan pada kepemilikan materi melainkan pada kedermawanan hati terlihat wujud nyatanya dalam ibadah qurban. Meski dalam pandangan masyarakat umum seseorang misalnya dinilai miskin, tetapi jika ia mampu qurban maka hakikatnya ia orang kaya. Sebaliknya orang yang banyak gaya sosialita atau merasa gagah dengan merokok, tetapi tidak qurban maka hakikatnya ia orang miskin. Sudah sepatutnya setiap orang memprioritaskan derma, bukan gaya sosialita dan status gagah yang malah mubadzir.

Nabi saw dan para shahabat meski dalam kacamata masyarakat hari ini hidup miskin atau memilih miskin, tetapi mereka sebenarnya orang-orang kaya. Itu terlihat dari antusiasme mereka dalam berqurban. Nabi saw dan kemudian diikuti oleh Anas ibn Malik ra selalu mampu berqurban minimal dua ekor kambing yang besar dan mahal, bukan hanya satu ekor. Bahkan pernah juga Nabi saw berqurban satu ekor sapi dari beliau sendiri, tidak berserikat tujuh orang bersama yang lainnya.

قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ  كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ وَأَنَا أُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ

Anas ibn Malik ra berkata: “Nabi saw berqurban dengan dua kambing besar, dan saya pun berqurban dengan dua kambing besar.” (Shahih al-Bukhari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw no. 5553).

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ انْكَفَأَ إِلَى كَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ

Dari Anas: “Sesungguhnya Rasulullah saw memilih dua kambing besar yang bertanduk dan hitam putih bulunya, lalu beliau sembelih dengan tangannya sendiri.” (Shahih al-Bukhari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw no. 5554)

عَنْ أَنَسٍ قَالَ ضَحَّى النَّبِيُّ ﷺ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ

Dari Anas, ia berkata: “Nabi saw berqurban dengan dua domba besar yang hitam putih bulunya. Aku melihatnya meletakkan kakinya pada bagian samping perut kambing, beliau baca bismillah dan takbir, lalu menyembelihnya dengan tangannya.” (Shahih al-Bukhari bab man dzabahal-adlahiya bi yadihi no. 5558, 5564, 5565; Shahih Muslim bab istihbab ad-dlahiyyah wa dzabhiha mubasyarah no. 5199-5200).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَة أَنَّ النَّبِيّ ﷺ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُضَحِّي اِشْتَرَى كَبْشَيْنِ عَظِيمَيْنِ سَمِينَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مَوْجُوءَيْنِ

Dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Nabi saw apabila akan berqurban beliau membeli dua ekor kambing yang besar, gemuk, hitam putih bulunya, dan yang dikebiri” (Fathul-Bari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw mengutip riwayat ‘Abdur-Razzaq).

Terkait Nabi saw yang berqurban dengan dua kambing besar sekaligus di atas, Al-Hafizh Ibn Hajar juga menjelaskan:

فِي هَذِهِ زِيَادَة قَوْل أَنَس أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ لِلِاتِّبَاعِ، وَفِيهَا أَيْضًا إِشْعَار بِالْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ

Dalam riwayat ini ada tambahan pernyataan Anas bahwasanya ia berqurban dengan dua kambing besar sebagai bentuk ittiba’ (mengikuti Nabi saw). Dalam riwayat ini juga terdapat isyarat bahwa beliau merutinkan hal tersebut (Fathul-Bari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw).

Maksud mudawamah (merutinkan) tersebut tentu bukan berarti haram/makruh melebihkan dari itu atau mengurangi dari itu, sebab ternyata Nabi saw pernah berqurban dengan seekor sapi untuk beliau dan keluarganya, juga pernah dengan seekor kambing meski tetap yang gemuk. Hadits-haditsnya sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ

Dari ‘Aisyah ra: “Rasulullah saw pernah berqurban dengan 1 ekor sapi untuk istri-istrinya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-adlahi bab al-udlhiyyah lil-musafir wan-nisa` no. 5548)

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِى سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِى سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِى سَوَادٍ فَأُتِىَ بِهِ لِيُضَحِّىَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّى الْمُدْيَةَ. ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ. فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ. ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

Dari ‘Aisyah ra: Rasulullah saw memerintah untuk dibawakan kambing besar bertanduk, yang kaki, perut, dan sekitar matanya berwarna hitam. Lalu dibawakan kepada beliau untuk diqurbankan. Beliau bersabda kepadanya: “Hai ‘Aisyah, bawakan golok itu.” Kemudian berkata juga: “Asahlah dengan batu.” ‘Aisyah pun mengerjakannya, kemudian beliau mengambil golok tersebut, lalu mengambil kambing dan membaringkannya, kemudian menyembelihnya dengan berdoa: “Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah (qurban ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.” Kemudian beliau berqurban dengannya (Shahih Muslim kitab al-adlahi bab istihbabid-dlahiyyah no. 5203).

Teladan Nabi saw tersebut kemudian diikuti oleh para shahabat:

قَالَ أَبُوْ أُمَامَةَ بْنُ سَهْلٍ كُنَّا نُسَمِّنُ الْأُضْحِيَّةَ بِالْمَدِينَةِ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ يُسَمِّنُونَ

Abu Umamah ibn Sahl berkata: “Kami biasa menggemukkan hewan qurban di Madinah. Demikian juga kaum muslimin lainnya.” (Atsar di atas dituliskan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya kitab al-adlahi bab udlhiyyatin-Nabi saw secara mu’allaq/tanpa menulis sanad lengkapnya).

Dalam riwayat lain disebutkan:

كَانَ الْمُسْلِمُونَ يَشْتَرِي أَحَدهمْ الْأُضْحِيَّة فَيُسَمِّنهَا

Kaum muslimin itu masing-masing di antara mereka membeli hewan qurban lalu menggemukkannya (Fathul-Bari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw).

Dari hadits-hadits di atas terlihat jelas bagaimana antusiasme para shahabat dalam berqurban. Bukan hanya berqurban biasa, melainkan selalu ingin berqurban yang luar biasa; dengan hewan yang gemuk, atau menggemukkan terlebih dahulu hewan yang sudah dibeli dari sejak awal, dan bahkan sampai dua ekor kambing besar sekaligus.

Dalam hal inilah seyogianya setiap orang berlomba-lomba menaikkan status sosialnya, bukan dalam hal gaya sosialita atau berpenampilan gagah dengan segenap aksesoris materi duniawi. Terlebih Nabi saw juga sudah menegaskan bahwa standar kekayaan itu bisa diukurkan pada kesanggupan untuk berqurban. Ingin diakui orang kaya tetapi malas berqurban, maka jangan pernah berharap diakui sebagai umat Nabi saw:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Siapa yang mempunyai kelapangan rizki, tetapi ia tidak berqurban, maka jangan pernah lagi ia mendekati tempat shalat kami (Sunan Ibn Majah kitab al-adlahi bab al-adlahi wajibah hiya am la no. 3123; Musnad Ahmad musnad Abi Hurairah no. 8273.).

Catatan: Hadits di atas dinilai shahih oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 7672 dan dinilai hasan oleh al-Albani dalam takhrij Sunan Ibn Majah. Al-Hafizh menyetujui penilaian shahih al-Hakim tersebut dalam Bulughul-Maram bab al-adlahi. Meski ada kelemahan, tetapi sebagaimana ditegaskan Syu’aib al-Arnauth: dla’if khafif; dla’if yang ringan dan terkuatkan oleh hadits-hadits lain yang menganjurkan qurban, di antaranya hadits Jundab riwayat al-Bukhari Muslim yang memerintahkan mengulangi menyembelih qurban bagi yang menyembelih sebelum shalat ‘Id. Artinya Nabi saw sangat menekankan untuk berqurban. Jika tidak sampai muakkadah (sangat ditekankan) Nabi saw tidak akan memerintah mengulangi qurbannya. Sudah cukup saja, hanya tahun depannya jangan terulang menyembelih sebelum shalat ‘Id. Terlebih faktanya qurban pasti mengorbankan harta yang tidak sedikit. Beberapa rawi yang disorot berstatus dla’ifnya adalah Zaid ibn al-Hubab yang menerima dari ‘Abdullah ibn ‘Ayyasy. Kedua rawi itu memang dinilai lemah dalam ketelitiannya, tetapi tetap tidak menghilangkan status mereka yang shaduq (jujur). Rawi seperti ini ketika terkuatkan oleh hadits-hadits lainnya maka riwayatnya berstatus hasan. ‘Abdullah ibn Wahb, salah seorang rawi yang menerima dari ‘Abdullah ibn ‘Ayyasy juga menyatakan bahwa hadits di atas mauquf pada Abu Hurairah. Akan tetapi karena rawi lain meriwayatkannya secara marfu’ dari Nabi saw, maka informasi tambahan marfu’ tersebut harus diterima.

Wal-‘Llahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *