Mendawamkan Witir Sebelum Tidur

Bismillah, Ustadz boleh tidak mendawamkan witir di awal malam sebelum tidur?
Jawabannya boleh, tetapi tidak afdlal, sebab yang afdlal tetap di akhir malam dan sesudah raka’at-raka’at yang ganjil, berdasarkan hadits-hadits berikut:
مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
Siapa yang takut tidak bisa bangun akhir malam, witirlah pada awal malam. Siapa yang yakin mampu bangun akhir malam, maka witirlah akhir malam, karena sungguh akhir malam itu disaksikan, dan itu lebih utama (Shahih Muslim kitab shalatil-musafirin bab man khafa alla yaquma akhiral-lail no. 1802).
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
Jadikanlah akhir shalat malam kalian witir (Shahih al-Bukhari bab li yaj’al akhira shalatihi witran no. 998).
Dari hadits di atas diketahui bahwa kebolehan witir di awal malam itu karena ada sebab khusus, yakni ketidakyakinan akan bangun malam. Selama sebab itu ada, maka diperbolehkan mendawamkan witir sebelum tidur. Sementara bagi yang yakin bisa bangun malam maka yang terbaik tetap merutinkan di akhir malam.
Kebolehan witir didawamkan sebelum tidur ini dikuatkan oleh wasiat Nabi saw kepada Abu Hurairah, Abud-Darda`, dan Abu Dzar ra untuk mengamalkan demikian:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي ﷺ بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
Abu Hurairah ra berkata: “Kekasihku mewasiatiku tiga hal: Shaum tiga hari setiap bulan, dua raka’at shalat Dluha, dan witir sebelum tidur.” (Shahih al-Bukhari kitab as-shaum bab shiyam ayyamil-bidl no. 1981).
Hadits Abud-Darda` yang sama diwasiati tiga hal di atas diriwayatkan dalam Shahih Muslim kitab shalatil-musafirin bab istihbab shalatid-dluha no. 1708. Sementara hadits Abu Dzar dalam Sunan an-Nasa`i kitab as-shiyam bab shaum tsalatsah ayyam minas-syahr no. 2404. Menyikapi wasiat tersebut, Abud-Darda` ra berkata:
لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ
Aku tidak akan meninggalkannya selama aku hidup.
Sementara Abu Dzar berkata:
لَا أَدَعُهُنَّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَبَدًا
Aku tidak akan meninggalkannya selama-lamanya, in sya`al-‘Llah.
Pernyataan dua shahabat di atas jelas menunjukkan bahwa witir sebelum tidur boleh didawamkan/dirutinkan. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan:
وَلَا مُعَارَضَةَ بَيْنَ وَصِيَّةِ أَبِي هُرَيْرَةَ بِالْوِتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ وَبَيْنَ قَوْلِ عَائِشَةَ وَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ لِأَنَّ الْأَوَّلَ لِإِرَادَةِ الِاحْتِيَاطِ وَالْآخِرَ لِمَنْ عَلِمَ مِنْ نَفْسِهِ قُوَّةً
Tidak ada pertentangan antara wasiat untuk Abu Hurairah agar merutinkan witir sebelum tidur, dengan hadits ‘Aisyah: “…dan (kebiasaan Nabi saw) berakhir witirnya sampai sahur,” sebab yang pertama (wasiat untuk Abu Hurairah) maksudnya untuk kehati-hatian, sementara hadits satunya lagi (hadits ‘Aisyah) untuk orang yang menyadari bahwa dirinya kuat untuk itu (Fathul-Bari bab sa’atul-witr).
Praktik witir sebelum tidur itu adalah shalat witir lalu tidur. Jika di akhir malam bangun dan hendak shalat malam, maka tinggal melaksanakan yang genapnya 2-2-2-2. Tidak boleh ada witir lagi, sebab Nabi saw bersabda dalam hadits Thalq ibn ‘Ali: “Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam” (Sunan Abi Dawud bab fi naqdlil-witr no. 1441).
Praktik witir dahulu lalu tidur dan kemudian shalat yang genap di waktu malam diamalkan oleh shahabat Abu Bakar, sebagaimana diceritakan oleh Sa’id ibn al-Musayyib:
أَبُو بَكْرٍ يُوتِرُ أَوَّلَ اللَّيْلِ وَيَشْفَعُ آخِرَهُ يُرِيدُ بِذَلِكَ يُصَلِّي مَثْنَى مَثْنَى
Abu Bakar witir di awal malam, kemudian melaksanakan raka’at yang genap di akhir malam, yakni shalat dua raka’at-dua raka’at (as-Sunanul-Kubra al-Baihaqi kitab shalatil-musafirin bab man qala la yanqudlul-qa`im minal-lail witrahu no. 4845). Wal-‘Llahu a’lam.