Syi’ah Bukan Islam

Sepanjang hari 10 Muharram yang lalu, para aktivis Islam giat melakukan demonstrasi dan penghadangan demi menggagalkan acara perayaan asyura yang digelar oleh kaum Syi’ah di berbagai daerah. Gerakan para aktivis Islam tersebut tentu bukan untuk menebarkan anarkisme di tengah-tengah masyarakat, tetapi justru untuk mencegah anarkisme itu sendiri. Sebab sepanjang sejarahnya, dari dulu sampai sekarang, syi’ah adalah penebar anarkisme sebenarnya. Para pengaku pencinta ahlul-bait ini selalu menebar kebencian di tengah-tengah umat dengan menghina istri-istri Nabi saw, para shahabat, dan para ulama Ahlus-Sunnah. Irak, Iran, Suriah, Libanon, Pakistan dan Yaman sudah merasakan anarkisme mereka, sehingga terus rusuh sampai sekarang. Haruskah Indonesia menunggu giliran?

Dalam setiap shalat mereka memanjatkan do’a laknat untuk dua shahabat teragung; Abu Bakar dan ‘Umar, juga kedua putri mereka yang notabene istri Rasulullah saw:

وَالْعَنْ أَعْدَائَهُمْ أَجْمَعِيْنَ سِيَّمَا أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعَائِشَةَ وَحَفْصَةَ

Laknatlah musuh mereka (keluarga ‘Ali) semuanya, terutama Abu Bakar, ‘Umar, ‘Aisyah, dan Hafshah (dikutip dari cara shalat Syi’ah yang diperankan Syaikh Yasir Habib. Dapat diunduh di Youtube).

Syaikh Yasir Habib, tokoh Syi’ah dari Iran ini juga mengemukakan sebuah riwayat dalam salah satu khutbahnya, yang menurutnya bersumber dari Ja’far as-Shadiq, keturunan ‘Ali ibn Abi Thalib, yang menerangkan dialog seseorang dengan ‘Ali ibn Abi Thalib: “Maukah kamu mengabarkan kepadaku mengenai dua lelaki ini, Abu Bakar dan ‘Umar?” ‘Ali menjawab: “Mereka berdua kafir, demikian juga yang mencintai mereka berdua.” Dalam kesempatan yang berbeda, ‘Ali ditanya lagi, dan jawabannya: “Mereka berdua mendapatkan laknat Allah dalam setiap aktivitasnya. Demi Allah mereka berdua mati dalam keadaan kafir dan menyekutukan Allah.”

Riwayat di atas tentu riwayat palsu. Sebab ‘Ali sepanjang sejarah hidupnya tidak pernah menghina para shahabat, apalagi Abu Bakar dan ‘Umar. Jika Abu Bakar dan ‘Umar kafir, tentu ‘Ali tidak akan diam membiarkan dirinya dipimpin oleh orang-orang kafir. Yang terjadi justru ‘Ali menjadi pembantu setia para shahabat, khususnya Abu Bakar dan ‘Umar di masa mereka menjadi khalifah.

Hari ini memang banyak tokoh Syi’ah yang menyatakan bahwa yang dilakukan oleh Syaikh Yasir Habib di atas juga dikutuk oleh kaum Syi’ah. Sebagaimana ditulis Haidar Bagir dalam rubrik opini Republika, 20 Januari 2012, Konferensi Majma’ Ahlul-Bait di London pada 1995 sudah memutuskan bahwa Syi’ah mengakui tiga khalifah sebelum ‘Ali, meski ‘Ali tetap dipandang lebih layak menjadi khalifah pertama. Laknat untuk para shahabat pun harus segera dihentikan, demi mewujudkan kerukunan dengan Ahlus-Sunnah.

Akan tetapi pernyataan Haidar Bagir tersebut, tetap masih belum diyakini kebenarannya, selama Syi’ah sendiri tidak menyatakan bahwa para ulama terdahulu mereka terkutuk. Sebabnya, kutukan untuk para shahabat ada dalam kitab-kitab ulama mereka sendiri. Jika mereka berani mengutuk manusia-manusia termulia sesudah Rasulullah saw maka jelas berarti merekalah yang terkutuk. Al-Kulaini misalnya meriwayatkan pernyataan Abu Ja’far:

اِرْتَدَّ النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ ﷺ إِلاَّ ثَلاَثَةً وَهُمُ الْمِقْدَادُ وَسَلْمَانُ وَأَبُوْ ذَرٍّ

Orang-orang murtad sesudah Nabi saw (wafat) kecuali tiga orang yaitu Miqdad, Salman dan Abu Dzar (Al-Ushul minal-Kafi no. 341).

Al-Kulaini, sebagaimana dijelaskan dalam kitab biografi tokoh Syi’ah, adalah seorang tokoh besar yang pendapatnya bisa dijadikan rujukan, seorang yang paling tsiqah (terpercaya) dan tsabit (kuat) dalam hadits (autsaqun-nas fil-hadits wa atsbatuhum), dan telah menyusun kitab hadits al-Kafi selama 20 tahun. Meninggal di Badghdad pada tahun 328 H (Lu`lu`atul-Bahrain, hlm. 387; Rijal an-Najasyi, hlm. 266). Kitabnya, al-Ushul minal-Kafi atau lebih dikenal al-Kafi merupakan kitab hadits utama bagi sekte Syi’ah yang berisi 16.990 hadits. Kitabnya ini merupakan kitab rujukan utama bagi Syi’ah di samping tiga kitab lainnya, yaitu: Man La Yahdluruhul-Faqih berisi 5963 hadits, al-Istibshar berisi 5511 hadits, at-Tahdzib berisi 13590 hadits (Lu`lu`atul-Bahrain, hlm. 395-396). Artinya, pendapat murtadnya shahabat ini sudah menjadi keyakinan utama karena berdasar pada riwayat-riwayat yang shahih menurut Syi’ah.

Jika Haidar Bagir hendak menyatakan bahwa Syi’ah sudah “bertaubat” dari dosa mengutuk para shahabat, semestinya mereka juga bertaubat dengan cara meninggalkan kitab-kitab rujukan Syi’ah yang memuat riwayat-riwayat yang mengutuk shahabat tersebut.

Murtadla al-‘Askari, tokoh Syi’ah lainnya, mengatakan: “Dalam hal ‘adalah/’adil, kami memandang bahwa shahabat itu ada yang mukmin adil berbakti lagi bertaqwa sebagaimana sanjungannya ditemukan dalam al-Qur`an, tetapi jelas juga ada di antara mereka yang munafiq sesuai firman-Nya: Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka (QS. at-Taubah [9] : 101. Muqaddimah Mir`atul-‘Uqul fi Syarhi Akhbar Alir-Rasul 1 : 8).

Tuduhan munafiq untuk para shahabat tersebut jelas bertentangan dengan firman Allah swt: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (QS. at-Taubah [9] : 100). Munafiq dalam ayat yang dikutip al-‘Askari di atas bukan untuk shahabat, melainkan untuk kaum munafiq di sekitar Nabi dan shahabat.

Meski para shahabat bukan makhluk-makhluk yang dijamin bebas dari kesalahan, tetapi kesalahan mereka tidak akan menyebabkan mereka munafiq. Mereka sudah terbukti setia berkorban dan berjuang bersama Nabi saw bahkan sampai perang Tabuk tahun 9 H yang merupakan perang paling sulit. Maka dari itu Allah swt berfirman: Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan (perang Tabuk), setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka (QS. at-Taubah [9] : 117).

Nabi saw sendiri dengan tergas menyabdakan:

مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Siapa yang mencela shahabatku, maka baginya laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya (Al-Mu’jam al-Kabir at-Thabrani bab hadits ‘Abdullah ibn Abil-Hudzail ‘an Ibn ‘Abbas no. 12541. Hadits shahih li ghairihi (al-Albani dalam as-Silsilah as-Shahihah no. 2340).

Jangankan menuduh murtad, munafiq, atau kafir kepada shahabat; kepada setiap muslim yang masih syahadat, shalat dan zakat pun, tuduhan tersebut tidak layak dikemukakan. Sebab konsekuensinya, yang menuduhnya itu sendiri yang kafir. Dan Syi’ah selamanya akan berstatus kafir/bukan Islam dengan sebab tuduhan-tuduhannya tersebut:

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ. فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

Siapa saja yang menyebut kepada saudaranya: Hai Kafir, maka sungguh telah kena hal itu kepada salah seorang dari mereka. Jika memang benar apa yang dikatakan itu, maka benar, dan jika tidak, maka kekafiran itu kembali pada yang mengatakannya (Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan hal iman man qala li akhihil-muslim ya kafir no. 225).

Yang paling kentara adalah dengan merayakan perayaan asyura, itu merupakan bukti bahwa mereka belum beranjak dari keyakinan sesat mereka tentang para shahabat dan umat Islam. Sebab Husain bukan satu-satunya syuhada yang layak diperingati dengan istimewa. Banyak syuhada sebelum Husain dan lebih agung kedudukannya, seperti ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, syuhada perang Badar, Uhud, dan lainnya. Tetapi mengapa mereka membesar-besarkan Husain? Jawabnya, sebab diyakini bahwa Husain dibantai oleh Ahlus-Sunnah. La’natullah kepada yang terlibat perayaan asyura dengan aqidah seperti itu.