Kematian

Perdebatan Shahabat Dalam Fiqih Hadits

Hadits tentang mayat disiksa akibat ditangisi oleh keluarganya didebat ‘Aisyah dan Ibn ‘Abbas kepada ‘Abdullah ibn ‘Umar dan ayahnya. Menurut ‘Aisyah dan Ibn ‘Abbas hadits itu tidak mungkin demikian adanya karena mustahil yang berdosa keluarganya tetapi yang disiksa mayatnya. Para ulama hadits memastikan bahwa ‘Aisyah dan Ibn ‘Abbas salah paham sehingga bersikap menolak, sebab faktanya hadits tersebut benar-benar disabdakan Nabi ﷺ .

Sikap mendebat ‘Aisyah dan Ibn ‘Abbas kepada ‘Abdullah ibn ‘Umar dan ayahnya, ‘Umar yang kebetulan saat itu baru saja meninggal dunia, diabadikan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya bab qaulin-Nabi saw yu’adzdzabul-mayyit bi ba’dli buka`i ahlihi ‘alaihi (perihal sabda Nabi saw: “Mayat akan disiksa akibat satu jenis tangisan keluarganya kepadanya”). Imam Muslim juga mencatatnya dalam kitab Shahihnya pada bab al-mayyit yu’adzdzabu bi buka` ahlihi ‘alaihi. Kisah perdebatan itu diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Ubaidillah ibn Abi Mulaikah (w. 117 H) sebagai berikut:

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ تُوُفِّيَتْ ابْنَةٌ لِعُثْمَانَ  بِمَكَّةَ وَجِئْنَا لِنَشْهَدَهَا وَحَضَرَهَا ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ  وَإِنِّي لَجَالِسٌ بَيْنَهُمَا أَوْ قَالَ جَلَسْتُ إِلَى أَحَدِهِمَا ثُمَّ جَاءَ الْآخَرُ فَجَلَسَ إِلَى جَنْبِي فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ  لِعَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ أَلَا تَنْهَى عَنْ الْبُكَاءِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

‘Abdullah ibn ‘Ubaidillah ibn Abi Mulaikah berkata: Ketika salah seorang putri ‘Utsman (ibn ‘Affan) wafat di Makkah (Ummu Aban binti ‘Utsman) kami datang untuk menjenguknya. Turut hadir juga Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbas ra. Saya duduk di antara mereka berdua. Awalnya saya duduk dekat salah satunya (Ibn ‘Umar) lalu datang yang satunya (Ibn ‘Abbas) dan duduk di sampingku. (Ketika terdengar suara tangisan di rumah) ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata kepada ‘Amr ibn ‘Utsman (saudara mayat): “Tidakkah anda larang mereka menangis karena sungguh Rasulullah saw bersabda: “Sungguh mayat itu disiksa akibat tangisan keluarga kepadanya.” (Shahih al-Bukhari no. 1286)

Ibn ‘Abbas ra kemudian menceritakan bahwa Shuhaib memang pernah menangis di dekat ‘Umar ra ketika menjelang wafatnya. Saat itu ‘Umar ra menegurnya tetapi tidak menyebutkan “semua jenis tangisan”, melainkan hanya “salah satu jenis tangisan”:

فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ  قَدْ كَانَ عُمَرُ  يَقُولُ بَعْضَ ذَلِكَ ثُمَّ حَدَّثَ… فَلَمَّا أُصِيبَ عُمَرُ دَخَلَ صُهَيْبٌ يَبْكِي يَقُولُ وَا أَخَاهُ وَا صَاحِبَاهُ فَقَالَ عُمَرُ  يَا صُهَيْبُ أَتَبْكِي عَلَيَّ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

Ibn ‘Abbas ra berkata: ‘Umar ra memang pernah mengatakan demikian tetapi “satu jenis” dari itu. ‘Ibn ‘Abbas kemudian menceritakan:… Ketika ‘Umar tertimpa musibah (ditusuk orang munafiq), Shuhaib masuk dan menangis sambil berkata: “Aduhai saudaraku, kasihan sahahabatku.” ‘Umar ra berkata: “Hai Shuhaib, mengapa kamu menangisiku padahal sungguh Nabi saw sudah bersabda: “Sungguh mayat akan disiksa akibat satu jenis tangisan keluarganya kepadanya.” (Shahih al-Bukhari no. 1287).

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ  فَلَمَّا مَاتَ عُمَرُ  ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ  فَقَالَتْ رَحِمَ اللَّهُ عُمَرَ وَاللَّهِ مَا حَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ اللَّهَ لَيُعَذِّبُ الْمُؤْمِنَ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَيَزِيدُ الْكَافِرَ عَذَابًا بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَقَالَتْ حَسْبُكُمْ الْقُرْآنُ {وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى} قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ  عِنْدَ ذَلِكَ وَاللَّهُ {هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى} قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ وَاللَّهِ مَا قَالَ ابْنُ عُمَرَ  شَيْئًا

Ibn ‘Abbas ra berkata: Ketika ‘Umar ra wafat, aku menceritakan hal itu kepada ‘Aisyah ra, lalu ia berkata: “Semoga Allah merahmati ‘Umar. Demi Allah, Rasulullah saw tidak pernah menyampaikan bahwa Allah akan menyiksa mukmin akibat tangisan keluarga kepadanya, tetapi Rasulullah saw bersabda: “Sungguh Allah pasti menambah siksa kepada orang kafir dengan sebab tangisan keluarganya kepadanya.” ‘Aisyah berkata: “Cukup kalian al-Qur`an: Seorang pendosa tidak akan menanggung dosa yang lain.” Ibn ‘Abbas ra berkata pada saat itu: “Dan Allah Dialah yang menjadikan manusia tertawa dan menangis.” Ibn Abi Mulaikah berkata: “Demi Allah, Ibn ‘Umar ra tidak membantah sedikit pun.”

Ibn ‘Umar ra yang tidak membantah pada saat itu tentunya bukan berarti setuju dengan Ibn ‘Abbas dan ‘Aisyah ra, tetapi beliau tidak mau berdebat saja. Sebab hadits tersebut shahih dari Nabi saw dan diterima serta disampaikan langsung oleh ‘Umar ibn al-Khaththab ra ayahnya sendiri, dan ‘Umar tentunya lebih paham tentang maksud haditsnya karena sebagai orang yang mendengar langsung dari Nabi saw. Maka dari itu ‘Umar ra tidak hanya menegur Shuhaib, tetapi juga putrinya Hafshah dan anggota keluarganya yang lain yang turut menangisi peristiwa penusukan terhadap ‘Umar ra tersebut, seraya menyampaikan hadits Nabi saw di atas (Shahih Muslim al-mayyit yu’adzdzabu bi buka` ahlihi ‘alaihi no. 2181-2184).

Akan tetapi memang ‘Aisyah ra juga tidak berarti menuduh Ibn ‘Umar dan ayahnya pendusta. Kepada al-Qasim ibn Muhammad ia menjelaskan argumentasinya:

إِنَّكُمْ لَتُحَدِّثُونِّى عَنْ غَيْرِ كَاذِبَيْنِ وَلاَ مُكَذَّبَيْنِ وَلَكِنَّ السَّمْعَ يُخْطِئُ

Sungguh kalian tidak menyampaikan hadits kepadaku dari dua orang pendusta atau dua orang yang layak tidak dipercaya, akan tetapi pendengaran itu terkadang keliru (Shahih Muslim al-mayyit yu’adzdzabu bi buka` ahlihi ‘alaihi no. 2190).

Dalam riwayat tersebut, ‘Aisyah sama halnya dengan Ibn ‘Abbas ra berdalil dengan firman Allah: “Sungguh Dia yang menjadikan tertawa dan menangis.” (QS. an-Najm [53] : 43). Maksudnya menangis itu sebagaimana halnya tertawa adalah satu insting manusiawi yang tidak bisa ditahan; mengalir refleks saja; sehingga mustahil menjadi dosa apalagi dibebankan kepada mayat.

Menyikapi perdebatan di atas, Imam al-Bukhari menjelaskan:

بَاب قَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ يُعَذَّبُ الْمَيِّتُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ النَّوْحُ مِنْ سُنَّتِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا} وَقَالَ النَّبِيُّ  كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مِنْ سُنَّتِهِ فَهُوَ كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ  {لَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى} وَهُوَ كَقَوْلِهِ {وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ} ذُنُوبًا {إِلَى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ} وَمَا يُرَخَّصُ مِنْ الْبُكَاءِ فِي غَيْرِ نَوْحٍ وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لَا تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا وَذَلِكَ لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ

Bab: Sabda Nabi saw: “Mayat akan disiksa akibat satu jenis tangisan keluarganya kepadanya” apabila tangisan histeris itu sudah menjadi sunnah/tradisinya, berdasarkan firman Allah ta’ala: “Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka” (QS. At-Tahrim [66] : 6) dan sabda Nabi saw: “Kalian semuanya adalah pemimpin dan akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” Akan tetapi jika bukan dari tradisinya maka itu sebagaimana dikatakan ‘Aisyah ra: “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat—yakni dosanya—memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun.” (QS. Fathir [35] : 18). Juga bab: Rukhshah tangisan yang tidak sampai histeris. Nabi saw bersabda: “Tidaklah satu jiwa dibunuh secara zhalim melainkan putra Adam yang pertama akan turut memikul dosa darahnya, hal itu karena ia yang pertama kali mencontohkan membunuh.”

Artinya Imam al-Bukhari menegaskan bahwa hadits ‘Umar ra di atas shahih, demikian juga hadits yang disampaikan ‘Aisyah terkait siksa untuk orang kafir. Akan tetapi keduanya tidak perlu dipertentangkan. Hadits ‘Umar ra berlaku bagi mereka yang meninggal dan membiarkan adanya tradisi menangisi kematian, tetapi tangisan yang dimaksud tentunya tangisan yang sampai histeris. Sebagaimana halnya Nabi saw menyebutkan bahwa dosa pembunuhan akan selalu menambah dosa putra Adam as yang pertama karena ia yang pertama kali mentradisikan membunuh ketika dendam. Jadi letak dosanya karena membiarkan tradisi itu ada. Maka sikap ‘Umar ra sangat benar dan harus dijadikan teladan ketika ia sebelum wafatnya mewanti-wanti agar jangan ada seorang pun menangisi histeris kematiannya. Kalau mayat sudah mewanti-wanti jangan ada tangisan histeris, tetapi kemudian ada saja pihak-pihak yang menangis histeris, maka fiqih ‘Aisyah ra bisa dirujuk, karena tidak mungkin seseorang memikul dosa orang lain. Demikian Imam al-Bukhari mendudukkan ikhtilaf fiqih hadits ini.

Mengenai tangisan yang sampai histeris yang jadi dosa dan jika tidak sampai histeris tidak berdosa, disabdakan oleh Nabi saw sendiri ketika menangisi Sa’ad ibn ‘Ubadah ra yang sakit parah dan koma sebagaimana diriwayatkan Ibn ‘Umar ra:

أَلَا تَسْمَعُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يُعَذِّبُ بِدَمْعِ الْعَيْنِ وَلَا بِحُزْنِ الْقَلْبِ وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ أَوْ يَرْحَمُ وَإِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

“Perhatikanlah! Sungguh Allah tidak akan menyiksa dengan sebab tetesan air mata dan sedihnya hati. Tetapi Dia akan menyiksa dengan sebab ini—sambil menunjuk lisannya—atau merahmati. Dan sungguh seseorang yang meninggal itu akan disiksa dengan sebab tangisan keluarganya atasnya.” (Shahih al-Bukhari bab al-buka` ‘indal-maridl no. 1304; Shahih Muslim bab al-buka` ‘alal-mayyit no. 2176).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button