Minimal Tiga Malam

Minimal tiga malam disempatkan untuk meraih lailatul-qadar; satu malam termulia yang hanya ada satu kali setahun. Baik itu dengan i’tikaf siang malam, atau sebatas menghidupkan malamnya tanpa tidur, ataupun tidur dahulu lalu bangun di tengah malam untuk ibadah sampai terbit fajar. Demikian tuntunan Rasulullah saw dalam meraih kemuliaan lailatul-qadar.
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi saw beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadlan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. (Shahih al-Bukhari kitab al-i’tikaf bab al-i’tikaf fil-‘asyril-awakhir no. 1922).
إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ. فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
“Sungguh aku i’tikaf dari 10 hari pertama untuk mencari malam itu (Lailatul-Qadar), lalu aku beri’tikaf lagi di 10 hari pertengahan. Kemudian aku diberitahu bahwasanya Lailatul-Qadar ada di 10 hari terakhir. Maka siapa di antara kalian yang ingin (melanjutkan) i’tikaf (sampai 10 hari terakhir), maka i’tikaflah.” Orang-orang pun beri’tikaf bersama beliau (Shahih Muslim kitab as-shaum bab fadlli lailatil-qadri no. 2828).
Meski demikian, Nabi saw memberikan kelonggaran bagi mereka yang tidak mampu atau tidak mungkin i’tikaf, seperti halnya keluarga Nabi saw, untuk menghidupkan malamnya saja, baik itu dari sejak awal malam atau sesudah tidur dahulu sekalipun. Dalam hadits ‘Aisyah ra berikut disebutkan bahwa Nabi saw “membangunkan keluarganya”, itu artinya ada keluarganya yang sudah tidur dahulu. Di samping itu mengajarkan keluarganya yang tidak i’tikaf untuk memaksakan diri menghidupkan malam di fase sepuluh malam terakhir Ramadlan.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Nabi saw apabila telah masuk 10 hari terakhir Ramadlan, mempererat sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadri bab al-‘amal fi al-‘asyr al-awakhir min ramadlan no. 2024 dan Shahih Muslim kitab al-i’tikaf bab al-ijtihad fil-‘asyril-awakhir min syahri Ramadlan no. 2844).
Nabi saw kemudian menjelaskan bahwa upaya meraih kemuliaan lailatul-qadar tersebut waktunya ada beberapa pilihan, yaitu: Pertama dan terbaik adalah selama sepuluh hari terakhir Ramadlan secara sempurna.
تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah Lailatul-Qadar pada 10 hari terakhir bulan Ramadlan (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2020 dari hadits ‘Aisyah).
Kedua, tujuh hari terakhir Ramadlan.
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
Carilah Lailatul-Qadar pada 10 hari terakhir. Jika salah seorang di antaramu lemah atau payah, maka jangan sampai terlewatkan pada yang tujuh hari tersisanya (Shahih Muslim bab fadlli lailatil-qadr wal-hats ‘ala thalabiha no. 2822 dari hadits Ibn ‘Umar).
Ketiga, lima hari dari sepuluh hari terakhir Ramadlan yakni pada malam-malam ganjilnya.
تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah Lailatul-Qadar pada hitungan ganjil dari 10 hari terakhir bulan Ramadlan (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2017; Musnad Ahmad bab hadits ‘Aisyah no. 24489).
Keempat, tiga hari dari sepuluh hari terakhir Ramadlan, baik itu tanggal 21, 23, 25, atau 23, 25, 27, atau 25, 27, 29, atau tiga malam ganjil yang manapun dari sepuluh malam terakhir Ramadlan.
فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
Maka carilah ia pada hari ke-9, ke-7, ke-5 [dari 10 hari terakhir Ramadlan] (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab raf’i ma’rifah lailatil-qadr li talahin-nas no. 2023 dari hadits ‘Ubadah ibn as-Shamit).
Maksud hari/malam ke-9, 7, dan 5 itu, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, yang paling tepat adalah malam ke-29, 27, dan 25. Bisa juga maksudnya sebagaimana dijelaskan di hadits berikutnya yakni malam ke-9 dari yang tersisa, maksudnya malam 21, malam ke-7 berarti malam 23, dan malam ke-5 berarti malam 25.
الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى
Carilah Lailatul-Qadar pada 10 hari terakhir Ramadlan, yakni pada malam ke-9, ke-7, dan ke-5 dari yang tersisa (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2021 dari hadits Ibn ‘Abbas).
Sementara yang malam 23, 25, 27 diinformasikan oleh Abu Dzar ra bahwa Nabi saw shalat Tarawih berjama’ah sampai larut malam bahkan waktu sahur pada tiga malam saja yakni 23, 25, 27. Ini berarti bahwa beliau menggerakkan umatnya untuk menghidupkan malam di tiga malam tersebut.
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ. قَالَ فَقَالَ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ. قَالَ فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلاَحُ. قَالَ قُلْتُ مَا الْفَلاَحُ قَالَ السُّحُورُ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا بَقِيَّةَ الشَّهْرِ
Dari Abu Dzar, ia berkata: Kami shaum Ramadlan bersama Rasulullah saw. Beliau tidak shalat malam bersama kami pada satu malam pun sehingga tersisa tujuh hari lagi (malam ke-23), lalu beliau shalat malam bersama kami sampai lewat sepertiga malam. Lalu pada malam keenam (dari yang tersisa, yakni malam ke-24), beliau tidak shalat malam bersama kami. Pada malam kelima (dari yang tersisa, yakni malam ke-25) beliau shalat malam bersama kami sampai lewat tengah malam. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya saja anda sunatkan untuk kami shalat pada malam ini semalaman (tidak hanya setengah malam).” Beliau menjawab: “Sungguh seseorang itu jika shalat (‘isya, shubuh, atau shalat malam) bersama imam sampai selesai, itu sudah dihitung shalat malam semalaman.” Kemudian pada malam keempat (dari yang tersisa, yakni malam ke-26) beliau tidak shalat malam (bersama jama’ah). Kemudian pada malam ketiga (dari yang tersisa, yakni malam ke-27) beliau mengumpulkan keluarga, istri-istrinya, dan semua orang yang ada. Beliau shalat malam bersama kami sampai kami takut ketinggalan falah. Aku (Jubair ibn Nufair) bertanya: “Apa falah itu?” Abu Dzar menjawab: “Sahur.” Kemudian beliau tidak shalat malam lagi di sisa bulan Ramadlan tersebut (Sunan Abi Dawud bab fi qiyam syahri Ramadlan no. 1377; Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fi qiyam syahri Ramadlan no. 806. al-Albani: Hadits shahih).
Dari kemua hadits yang memerintahkan meraih lailatul-qadar diketahui bahwa usaha minimal yang dianjurkan Nabi saw adalah tiga malam ganjil dengan berbagai pilihan sebagaimana diuraikan di atas. Artinya sempatkanlah minimalnya tiga malam untuk meraih lailatul-qadar dengan i’tikaf siang malam, atau sebatas menghidupkan malamnya tanpa tidur, ataupun tidur dahulu lalu bangun di tengah malam untuk ibadah sampai terbit fajar. Itu semua tentunya didasari keyakinan bahwa lailatul-qadar adalah malam termulia yang terlalu mulia untuk diabaikan. Wal-‘Llahu a’lam.