Menyambut Gerhana Bulan Total

Salah satu “ayat” Allah—insya Allah—akan datang tanggal 4 April 2015 besok, bertepatan dengan 15 Jumadits-Tsaniyah 1436 H. “Ayat” Allah yang dimaksud adalah Gerhana Bulan Total yang akan terjadi mulai ba’da maghrib sampai jam 20.44 wib. Bagaimana tuntunan al-Qur`an dan sunnah dalam menyambut “ayat-ayat” Allah swt ini?
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat di antara ayat-ayat Allah. Tidak akan gerhana karena mati seseorang, tidak pula karena kelahiran seseorang. Apabila kalian melihat itu (gerhana), berdo’alah kepada Allah, bertakbir, shalat dan shadaqah (Shahih al-Bukhari abwabul-kusuf bab as-shadaqah fil-kusuf no. 1044).
Terlihat jelas bahwa Nabi saw meminta umatnya untuk lebih meneguhkan lagi kedudukan bulan dan matahari sebagai ayat Allah ketika terjadi gerhana. Sebabnya, gerhana di zaman itu selalu dikait-kaitkan dengan kematian seseorang, yang kebetulan pada waktu itu putra Nabi saw yakni Ibrahim meninggal dunia. Nabi saw menegaskan bahwa mitos-mitos seperti itu harus dihilangkan. Yang seharusnya dilakukan justru meningkatkan amal dzikir terhadap ayat-ayat Allah swt tersebut dengan cara berdo’a, bertakbir, shalat gerhana, dan shadaqah.
“Ayat” Allah swt itu sendiri artinya “tanda” kemahakuasaan Allah swt. Bentuknya ada yang qauliyyah (berupa firman/perkataan Allah swt atau al-Qur`an), ada juga yang kauniyyah (alam semesta). Yang kauniyyah itu sendiri ada yang wujudnya keberadaan alam semesta dengan segala keunikan dan kehebatannya, ada juga yang wujudnya mu’jizat atau bahkan siksa Allah swt melalui bencana alam. Ketiga makna “ayat” ini di antaranya tertuang dalam QS. ar-Ra’d [13] : 1 (tilka ayatul-kitab), 3 dan 4 (inna fi dzalika la ayat), dan ayat 7 (lau la unzila ‘alaihi ayat mir-Rabbihi).
Bulan masuk dalam kategori ayat kauniyyah yang berwujud ciptaan Allah swt di alam semesta. Kewajiban setiap muslim terhadap ayat-ayat Allah swt yang kauniyyah adalah dengan cara tafakkur; berpikir, merenungkan, menyadari kemahakuasaan Allah swt dan melafalkan dzikir (QS. ar-Ra’d [13] : 3-4). Secara lebih jelas, dalam QS. Ali ‘Imran, Allah swt memberi tuntunan sebagai berikut:
إِنَّ فِى خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّہَارِ لَأَيَـٰتٍ۬ لِّأُوْلِى ٱلۡأَلۡبَـٰبِ (١٩٠) ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَـٰمً۬ا وَقُعُودً۬ا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَڪَّرُونَ فِى خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَـٰذَا بَـٰطِلاً۬ سُبۡحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ (١٩١)
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 190-191).
Artinya, ayat-ayat Allah swt itu harus disikapi dengan dzikir dan tafakkur. Kalimat-kalimat dzikirnya dicontohkan dalam ayat 191-194. Nabi saw sendiri rutin membaca dzikir-dzikir tersebut di setiap bangun malam untuk shalat Tahajjud (Shahih al-Bukhari kitab tafsir al-Qur`an bab qaulihi Inna fi khalqis-samawati wal-ardli no. 4569-4570; Shahih Muslim kitab at-thaharah bab as-siwak no. 619).
Jika seseorang senantiasa mengabaikannya, maka aqidah-aqidah syirik akan selalu menghampirinya. Seseorang yang tidak pernah mau menyadari keesaan kemahakuasaan Allah swt di balik alam semesta, akan senantiasa terjebak pada mitos adanya yang “berkuasa” di samping Allah swt yang menyamai kuasa-Nya. Allah swt sudah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:
وَڪَأَيِّن مِّنۡ ءَايَةٍ۬ فِى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ يَمُرُّونَ عَلَيۡہَا وَهُمۡ عَنۡہَا مُعۡرِضُونَ (١٠٥) وَمَا يُؤۡمِنُ أَڪۡثَرُهُم بِٱللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشۡرِكُونَ (١٠٦)
Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya tetapi mereka berpaling darinya. Maka sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain) (QS. Yusuf [12] : 105-106).
Pengabaian terhadap ayat-ayat Allah swt ini; baik itu yang qauliyyah atau kauniyyah, juga akan menyebabkan seseorang terjerumus pada kesibukan dunia dan melalaikannya dari amal-amal akhirat. Pada akhirnya ia pun akan ditempatkan di neraka disebabkan hanya sibuk mencari dunia dan selalu abai dari tafakkur terhadap ayat-ayat Allah swt.
إِنَّ ٱلَّذِينَ لَا يَرۡجُونَ لِقَآءَنَا وَرَضُواْ بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَٱطۡمَأَنُّواْ بِہَا وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنۡ ءَايَـٰتِنَا غَـٰفِلُونَ (٧) أُوْلَـٰٓٮِٕكَ مَأۡوَٮٰهُمُ ٱلنَّارُ بِمَا ڪَانُواْ يَكۡسِبُونَ (٨)
Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. Yunus [10] : 7-8).
Ayat di atas memberitahukan empat sifat yang saling berkaitan dari para penghuni neraka, yaitu:
Pertama, tidak mengharapkan pertemuan dengan Allah swt. Artinya, mereka yang sudah putus asa dengan akhirat dan pola pikirnya “bagaimana nanti saja” bukan “untuk nanti harus bagaimana”. Harapan bertemu dengan Allah swt ini merupakan bentuk keimanan dasar yang akan mempengaruhi baik jeleknya amal seseorang. Jika ia tidak banyak berharap, maka amalnya akan jelek. Jika ia sangat yakin akan bertemu dengan Allah swt niscaya amalnya akan baik (QS. Al-Baqarah [2] : 45-46)
Kedua, merasa puas dengan kehidupan dunia sehingga sama sekali tidak mementingkan akhirat. Kehidupan dunia itu sendiri digambarkan dalam QS. Al-Hadid [47] : 20 sebagai kehidupan yang berisi la’ib (permainan/wisata/sandiwara), lahwun (hiburan), zinah (perhiasan), tafakhur (saling berbangga status), dan takatsur (memperbanyak harta dan anak). Siapa saja orang yang hidupnya hanya diisi dengan lima hal tersebut, itulah orang yang radlu (puas) dengan kehidupan dunia. Padahal sejatinya, bagi orang yang beriman kehidupan sebenarnya itu adalah akhirat, dunia hanya sandiwara saja (QS. Al-‘Ankabut [29] : 64).
Ketiga, merasa tenteram dengan dunia, menilai bahwa kebahagiaan itu didapatkan ketika dunia dimiliki. Padahal sejatinya ketenteraman itu hanya akan didapatkan dengan dzikrul-‘Llah, bukan dengan menikmati dunia (QS. Ar-Ra’d [13] : 28). Yang seperti ini bukan ketenteraman yang akan didapatkan, melainkan kecemasan dan kekhawatiran tiada ujung karena takut dunianya menghilang.
Keempat, melalaikan ayat-ayat Allah swt, baik yang qauliyyah (al-Qur`an) ataupun kauniyyah (alam semesta). Ini merupakan penyebab utama dari tiga karakter negatif sebelumnya. Iman pada keberadaan al-Qur`an tetapi tidak sering membacanya, apalagi mengkajinya, merenungkannya dan mengikuti majelis ta’lim yang membedahnya. Tahu ada peristiwa banjir, longsor, gunung meletus, gerhana, dan lain sebagainya, tetapi hanya sebatas tahu, tanpa mau merenungkan Sang Kreator di balik itu semua. Orang-orang seperti ini tidak peduli ada gerhana atau tidak ada gerhana; tidak peduli ada banjir atau tidak banjir, yang penting dirinya tidak terkena banjir. Orang seperti ini hanya akan mendapatkan neraka disebabkan tingkah polah mereka sendiri.
Tuntunan Ibadah Saat Gerhana Bulan
Gerhana Bulan Total yang akan terjadi besok menjadi pertaruhan keimanan kita semua. Apakah ayat Allah swt tersebut mau kita abaikan begitu saja, ataukah mau disikapi dengan ibadah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, setidaknya ada empat amal ibadah, yaitu: berdo’a, bertakbir, shalat gerhana, dan shadaqah.
Amal lainnya, dijelaskan Nabi saw dalam hadits lain sebagai berikut:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ
Apabila kalian melihat itu (gerhana), bersegeralah berdzikir, berdo’a dan beristighfar kepada-Nya (Shahih al-Bukhari bab adz-dzikr fil-kusuf no. 1059).
Artinya setiap muslim dituntut memperbanyak dzikir, do’a, istighfar di saat gerhana bulan terjadi. Bukan hanya menonton gerhana apalagi sambil liburan dan hura-hura.
Satu hal yang jangan sampai terlewatkan adalah shalat gerhana itu sendiri atau shalat khusuf. Shalat ini hanya dicontohkan di masjid secara berjama’ah. Tidak bisa dilaksanakan hanya bersama keluarga di rumah, apalagi dilakukan secara munfarid/sendirian. Maka dari itu sudah harus diagendakan dari sekarang masjid mana yang akan dihadiri untuk shalat khusuf. Para pengurus DKM pun harus dari sejak sekarang menyiapkan diri untuk penyelenggaraan shalat khusuf ini.
Hadits-hadits Nabi saw mengajarkan sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ r نُودِيَ إِنَّ الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ
Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ra, ia berkata: “Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah saw, diserukan ‘Sesungguhnya shalat (harus) berjama’ah’.” (Shahih al-Bukhari bab an-nida bi as-shalatu jami’ah fil-kusuf no. 1045)
فَإِذَا كَسَفَ أَحَدُهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الْمَسَاجِدِ
Apabila gerhana salah satunya (matahari atau bulan), bersegeralah pergi ke masjid (Musnad Ahmad no. 6483).
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ ﷺ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ
Dari ‘Aisyah ia berkata: “Terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi saw hidup. Beliau lalu keluar menuju masjid, dan orang-orang bershaf di belakang beliau.” (Shahih al-Bukhari bab khutbatil-imam fil-kusuf no. 1045)
Semua ini jelas merupakan sunnah yang beliau ajarkan dan tidak boleh diabaikan. Jangan terabaikan gara-gara banyak orang yang mengabaikannya. Apalagi terkendala agenda long weekend (liburan panjang akhir pekan) seperti yang akan dialami oleh mayoritas masyarakat Indonesia awal April 2015 ini.
Wal-‘Llahu a’lam