Tradisi Shalat di Mesir

Tradisi Shalat di Mesir
Meski berasas pada wahyu, tetapi dalam praktiknya shalat di berbagai daerah membentuk tradisi khasnya masing-masing. Mesir, sebagaimana Masjid Haram dan Nabawi, khas dengan keragaman praktik shalat jama’ahnya di satu masjid yang sama. Jama’ah shalat lima waktunya juga selalu banyak, tidak hanya shalat maghrib saja seperti di Indonesia. Selepas adzan selalu ada jeda waktu menunggu jama’ah shalat berdatangan hingga 20 menit. Bacaan al-Qur`an imam shalatnya umumnya panjang dan merambah berbagai surat, pertanda kualitas hafalannya bagus dan makmumnya juga paham keutamaannya.
Sebagai negeri tertua dalam catatan sejarah manusia, Mesir sudah mengalami pergantian kekuasaan sekaligus kebudayaan berkali-kali. Diawali oleh Mesir Kuno yang identik dengan Fir’aun dan Pyramidnya, berlanjut oleh Yunani, lalu Romawi Kristen, kemudian Islam dari era shahabat, Umayyah, Abbasiyyah, Mamluk, Syi’ah Fathimiyyah, Ayyubiyyah, Turki Utsmani, penjajahan Prancis, hingga pemerintahan bangsa Mesir Arab hari ini. Imam as-Syafi’i dan al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani hidup dan wafat di Mesir sehingga madzhab Syafi’i memiliki tempat tersendiri di Mesir. Demikian juga madzhab Maliki yang mendominasi daerah Afrika Utara tersebar luas juga di Mesir. Di masa Turki Utsmani yang bermadzhab Hanafi, Mesir juga pernah menjadi basis pengajaran madzhab Hanafi. Latar keragaman budaya dan madzhab ini memberi warna tersendiri bagi warga Mesir untuk selalu toleran kepada yang berbeda madzhab bahkan agama.
Terlebih status negara Mesir yang sering ramai dikunjungi oleh warga dari berbagai penjuru dunia; beragam agama dan kebudayaan. Setiap tahunnya sekitar 15 juta turis mancanegara berkunjung ke Mesir. Baik itu sebagai wisatawan yang ingin melihat langsung peninggalan sejarah Mesir ataupun para mahasiswa dari berbagai negeri yang belajar di Universitas Islam tertua dan terbesar di dunia, yakni Universitas Al-Azhar.
Maka tradisi shalat pun dipastikan beragam seiring beragam madzhab yang dianut oleh warga setempat termasuk pendatang. Dalam pengamatan kami yang hanya tiga pekan tinggal di Nasr City, Cairo, Hayy Sabi’ dan sekitarnya, ada yang shalat tidak sedekap sama sekali ketika berdirinya; ada yang mengangkat tangan ketika takbirnya saat takbiratul ihram saja, sementara ruku’ dan sujud tidak; ada yang posisi duduk tasyahhud awal dan akhirnya sama-sama iq’a (duduk di atas dua telapak kaki kanan dan kiri), bahkan ada yang di atas dua tumit kaki kanan dan kiri dengan menegakkan telapak kakinya yang Nabi saw melarangnya sebagai ‘uqbah syaithan (tumit setan), dan ada juga yang bahkan tidak duduk sama sekali melainkan sebatas berlutut. Padahal Nabi saw mencontohkannya sambil iftirasy (duduk di atas telapak kaki kiri dan menegakkan telapak kaki kanan) dan khusus untuk tasyahhud akhir dengan memajukan telapak kaki kiri lalu duduk di atas lantai.
Mayoritas imam shalat tidak menjaharkan bacaan basmalah karena memang mayoritas madzhab selain Syafi’i mengajarkan demikian; meski tentunya ada juga yang menjaharkannya mengikuti madzhab Syafi’i. Ada yang mengamalkan qunut shubuh, ada juga yang tidak. Beberapa imam ada yang masih membaca qunut nazilah untuk Palestina di setiap waktu shalat ia menjadi imam, sementara imam lainnya tidak. Adzan shubuh pada umumnya melafalkan tatswib; as-shalatu khairum-minan-naum, tetapi belum pernah terdengar adzan awal qabla shubuh. Adzan awal shalat Jum’at dikumandangkan pas masuk waktu shalat Jum’at yang disambung dengan shalat dua raka’at lalu adzan Jum’at kedua. Berbeda dengan Masjid Haram dan Nabawi di mana adzan pertama Jum’atnya dikumandangkan satu jam sebelum masuk waktu shalat Jum’at, sebagaimana halnya adzan awal shubuh yang dikumandangkan satu jam sebelum masuk waktu shubuh. Pada umumnya lafazh iqamahnya sama dengan hadits ‘Abdullah ibn Zaid ra (lafazh takbir dan qad qamatis-shalat dua kali, yang lainnya satu kali). Hanya pernah terdengar muadzdzin orang Kazakhstan yang mengumandangkan iqamat sama dengan lafazh adzan (takbir di awal empat kali, sisanya dua kali-dua kali) hanya tentunya dengan ritme iqamat yang cepat. Semua perbedaan itu tidak ada yang menimbulkan kegaduhan di masjid sekali pun. Semuanya menerimanya sebagai khazanah madzhab dalam Islam.
Di setiap selepas adzan ada waktu jeda yang cukup lama hingga rata-rata 20 menit. Salah satu masjid bahkan harus selalu menunggu sampai 20 menit; meski jama’ah sudah berkumpul dan tidak ada lagi yang sedang shalat sunat. Di masjid al-Walidain, Nasr City, khusus untuk shubuh bahkan sampai ditunggu hingga 30 menit selepas masuk waktu adzan. Makanya tidak heran jika selepas adzan berkumandang masjid selalu kosong. Setelah menunggu agak lama baru masjid penuh oleh jama’ah shalat; bukan hanya di shalat maghrib saja, melainkan di kelima waktu shalatnya, selalu penuh bershaf-shaf sampai yang paling belakang. Meski ironinya, banyak jama’ah shalat yang tidak melaksanakan shalat sunat ba’diyyah setelah shalat wajib, bahkan banyak juga yang tidak duduk untuk wirid ba’da shalat. Yang terakhir ini mirip dengan mayoritas jama’ah shalat di Indonesia. Mereka dikejar oleh kesibukan duniawinya sehingga tidak bisa menyempatkan duduk wiridan apalagi shalat sunat ba’diyyah. Ketika kami baru mulai shalat sunat ba’diyyah, seseringnya masjid sudah lowong kembali.
Imam shalat berjama’ahnya dari kalangan muda atau tua sama-sama selalu melantunkan bacaan surat-surat yang cukup panjang serta merambah semua surat dalam al-Qur`an meski tidak ditemukan yang berurutan dari juz pertama. Shalat maghrib dan isya pun imam sering mengimami hingga satu halaman per raka’atnya. Meski demikian jama’ah shalat tetap saja banyak dan tidak pernah ada keluhan bacaan imam terlalu panjang. Hal ini menandakan kualitas bacaan dan hafalan al-Qur`an imam-imam shalat di Mesir bagus, serta jama’ahnya sudah paham bahwa itu adalah nilai keutamaan dalam shalat yang harus disyukuri, bukan dirajuki.
Toleransi antar-madzhab khususnya dalam shalat yang merupakan rutinitas harian sudah seharusnya diteladani oleh muslim manapun di belahan dunia ini khususnya umat muslim Indonesia. Perbedaan pemahaman dan praktik fiqih sepanjang ada dasar kajian para ulamanya, terlebih ulama-ulama madzhab, tidak boleh disikapi dengan penolakan apalagi penghinaan yang merendahkan. Nabi saw selalu mengajarkan umatnya untuk menjauhi sikap fuhsy; bersikap atau berkata kasar. Semuanya harus disikapi dengan qaulan sadidan atau komunikasi yang tepat dan qaulan layyinan yakni komunikasi yang lembut.
Madzhab itu adalah khazanah pengajaran fiqih dari para ulama besar yang dijaga, dikoreksi, dan dikembangkan oleh murid-muridnya sampai berabad-abad lamanya. Kedudukannya sebagai khazanah keilmuan harus dihargai dan dihormati sepenuhnya. Meski tidak boleh menjadi dalih untuk terjebak pada taqlid buta; hanya membenarkan madzhabnya sendiri dengan menutup diri dari koreksi dan kritik, malah mudah menyalahkan madzhab lain yang berbeda. Untuk itu umat Islam dituntut untuk menjaga dan menghormati khazanah madzhab ini, tetapi di sisi lain tetap harus melakukan kegiatan keilmuan berupa pengkajian, perbandingan, kritik, dan koreksi agar tidak terjebak pada taqlid.
Indonesia termasuk beruntung menjadi tempat penyebaran dua madzhab besar yang dalam pengamatan kami lebih matang dari madzhab-madzhab sebelumnya. Madzhab Syafi’i dan Hanbali, kedua-duanya mengadopsi khazanah madzhab Hanafi dan Maliki, kemudian mengoreksi dan mengembangkannya sehingga lebih sempurna. Dua madzhab inilah yang menyebar luas di Indonesia, di mana sebenarnya perbedaan keduanya tidak sebanyak persamaannya. Lain halnya dengan madzhab Maliki dan Hanafi yang wujud nyatanya seperti sudah disinggung di bagian awal tulisan ini, terlalu banyak perbedaannya dibanding persamaannya. Madzhab Syafi’i dan Hanbali sebanyak apapun perbedaannya tetap masih lebih dekat dengan khazanah hadits dibanding madzhab-madzhab lainnya. Maka seandainya umat Islam Indonesia masih menemukan perbedaan yang sulit dikompromikan antara Syafi’iyyah yang diwakili NU dan Habaib, serta Hanabilah yang diwakili kelompok Salafi, ditambah kelompok umat yang mencoba menyatukan keduanya seperti Muhammadiyah dan PERSIS, maka seyogianya disikapi dengan arif dan menjauhkan diri dari sikap fuhsy. Separah apapun perbedaannya tetap tidak sejauh perbedaannya dengan madzhab Hanafi, Maliki, Ja’fari, Zhahiri, Hadawi, dan lainnya. Sebagai contoh, dalam isyarat telunjuk duduk tasyahhud, perbedaannya paling antara menggerak-gerakkan atau tidak. Tetapi sama-sama dilipat jari-jarinya selain telunjuk. Di madzhab lainnya ada yang berisyarat telunjuk tetapi tidak dilipat jari jemarinya. Ada juga yang sama sekali tidak berisyarat dan dilipat jari jemarinya.
Kebiasaan menunggu jama’ah shalat selepas adzan termasuk sunnah, karena Nabi saw mengajarkan:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ لِمَنْ شَاءَ
Di antara dua adzan ada shalat. Di antara dua adzan ada shalat. Di antara dua adzan ada shalat, bagi yang mau (Shahih al-Bukhari kitab al-adzan bab kam bainal-adzan wal-iqamah no. 624).
Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim dan Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menjelaskan bahwa dua adzan yang dimaksud bukan dua adzan shalat wajib seperti adzan zhuhur dan ‘ashar, ‘ashar dan maghrib, dan seterusnya, sebab di sana jelas ada shalat wajib, sementara dalam hadits di atas Nabi saw memberikan pilihan “bagi yang mau” yang berarti shalat sunat. Yang dimaksud dua adzan tersebut adalah adzan dan iqamah. Artinya di antara adzan dan iqamah itu ada jeda untuk shalat sunat. Sabda Nabi saw “li man sya`a; bagi siapa yang mau” memang menunjukkan bahwa perintah tersebut tidak muakkadah (ditekankan) sebagaimana halnya shalat tahajjud atau tahiyyatul-masjid. Akan tetapi bukan berarti bahwa perintah Nabi saw tersebut menunjukkan mubah sehingga harus selalu diabaikan setiap harinya. Apalagi sangat berlebihan jika kemudian malah divonis sebagai bid’ah. Kalau ashalnya perintah, maka ketika turunnya menjadi sunat, bukan menjadi mubah apalagi bid’ah.
Akan tetapi hemat kami sebaiknya jarak waktu menunggunya seukuran shalat dua raka’at sebagaimana Nabi saw sabdakan di atas. Praktiknya seperti di Masjid Haram dan Nabawi jarak waktu menunggu shalat itu 10 menit dari awal masuk waktu shalat. Ini penting untuk tidak memadlaratkan mereka yang ingin shalat berjama’ah tetapi di sisi lain dikejar dengan tugas lain. Penting juga untuk tidak menghilangkan sunnah tahjir (bersegera datang) untuk shalat berjama’ah bahkan dari sebelum datang waktunya. Tidak mustahil karena tradisi menunggu shalat yang lama, jama’ah shalat sengaja memperlambat diri datang ke masjid bahkan sesudah adzan berkumandang sekalipun. Ini tentu menyalahi sunnah.
Bagi yang menunggu shalat tentu juga jangan merasa rugi, melainkan harus merasa untung, karena pahala orang yang menunggu shalat itu setara dengan orang yang shalat. Jadi meskipun harus menunggu sampai 20 menit, itu tidak menjadi kerugian bagi yang menunggu, karena selama itu pula dicatat pahala shalatnya. Di samping itu, sebagaimana tampak di Mesir, jama’ah shalat yang bertakbir dari takbiratul-ihram jadi lebih banyak. Nabi saw mengajarkan semakin banyak jama’ah shalat maka semakin besar juga pahalanya. Jelaslah tidak ada ruginya sama sekali menunggu shalat berjama’ah di masjid seperti itu. Nabi saw bersabda:
وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاَةَ
Selamanya salah seorang di antara kalian berada di dalam shalat ketika ia menunggu shalat (Shahih al-Bukhari bab fadlli shalatil-jama’ah no. 647).
وَإِنَّ صَلاَةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ وَحْدَهُ وَصَلاَتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
Sesungguhnya shalat seseorang dengan seorang lainnya (berdua) lebih baik (membersihkan dosanya) daripada shalat sendirian (munfarid), dan shalat seseorang dengan dua orang lainnya (bertiga) lebih baik daripada dengan seseorang (berdua). Dan manakala lebih banyak lagi, itu lebih dicintai oleh Allah Ta’ala.” (Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab fadlli shalatil-jama’ah no. 554)
Wal-‘Llahu a’lam.



