Jika rukun Islam hendak diibaratkan kelas dalam Sekolah Dasar, maka ibadah haji adalah kelas lima. Kelas satu sampai empatnya adalah syahadat, shalat, zakat, dan shaum. Tidak mungkin dan tidak boleh seorang siswa masuk kelas dua jika kelas satunya belum lulus. Demikian halnya masuk ke kelas lima, sementara di kelas satu sampai empatnya ia belum lulus.
Ibadah haji diibaratkan “kelas lima” sebagaimana disebutkan di atas karena memang ibadah ini masuk dalam kategori rukun Islam yang lima, dimana kelima-limanya merupakan satu kesatuan yang padu. Ibadah haji dalam berbagai jalur periwayatannya juga selalu ditempatkan pada urutan terakhir. Maka jika hendak diurutkan dalam urutan kelas satu sampai lima, haji berarti menempati urutan kelas lima.
Ibadah haji juga selalu dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya mempunyai syarat yang ketat, yakni lil-‘Llah; karena Allah. Perhatikan misalnya dalil-dalil berikut:
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٩٧
Dan hanya karena Allah, haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanannya; siapa ingkar, maka sungguh Allah Mahakaya dari semesta alam (QS. Ali ‘Imran [3] : 97).
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barangsiapa yang haji karena Allah, lalu ia tidak rafats dan fusuq, maka ia pulang seperti hari dilahirkan oleh ibunya (Shahih al-Bukhari kitab al-hajj bab fadllil-hajjil-mabrur no. 1521; Shahih Muslim kitab al-hajj bab fi fadllil-hajji wal’umrah no. 3357).
Persyaratan lil-‘Llah ini adalah persyaratan ikhlash. Ikhlash artinya memurnikan agama hanya untuk Allah swt. Demikian Allah swt sebutkan dalam berbagai ayat, misalnya:
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS. al-Bayyinah [98] : 5).
فَٱعۡبُدِ ٱللَّهَ مُخۡلِصٗا لَّهُ ٱلدِّينَ ٢
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan agama/ketaatan kepada-Nya (QS. az-Zumar [39] : 2).
Jika standar agama yang dasar dirujukkan pada rukun Islam, maka itu berarti bahwa ikhlash adalah meyakini syahadat sepenuh hati, mengamalkan shalat, zakat, shaum dan haji semata-mata karena Allah swt. Maka seseorang pasti belum masuk kategori ikhlash dalam beragama jika ia abai dari tauhid yang lurus, masih belum benar dalam shalatnya, zakatnya tidak pernah teratur melainkan sekemauan dirinya saja, dan shaumnya tidak pernah bisa meningkatkan ketaqwaan. Itu berarti ia belum beragama murni untuk Allah. Beragama yang ia jalani masih sebatas formalitas duniawi.
Artinya, untuk mengukur lil-‘Llah tidaknya ibadah haji, bisa dirujukkan pada empat rukun Islam sebelumnya; syahadat, shalat, zakat, dan shaum. Jika syahadatnya belum benar, dalam kehidupan kesehariannya pun masih akrab dengan syirik, mana mungkin seseorang bisa beribadah haji dengan ikhlash dari syirik? Jika dalam shalat, zakat dan shaum selalu terselip rasa ingin pamer, mana mungkin niatan haji tidak terlepas dari pamer? Jika shalat di masjid yang dekat saja selalu diabaikan karena sibuk pekerjaan, mengapa seseorang memberanikan diri mengunjungi Masjidil-Haram yang letaknya jauh di Makkah dengan meninggalkan pekerjaan selama satu bulan penuh; ada niatan apa? Jika zakat yang tidak sampai puluhan juta tidak diamalkan, mengapa seseorang berani mengeluarkan puluhan juta untuk pergi haji ke Baitullah; ada apa? Jika shaum Ramadlan tidak pernah meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah swt, mana mungkin ibadah haji bisa meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt; jadi tujuannya apa?
Di sinilah maka ibadah haji harus ditempatkan sebagai “kelas lima”. Seseorang layak ibadah haji jika ia sudah lulus dari kelas satu sampai empat. Kelulusan tersebut tentu tidak perlu dengan nilai yang “istimewa” (10/100), melainkan cukup dengan nilai yang “cukup” (6/60). Kelulusan ditentukan dengan standar minimal, asal tidak bernilai “merah”. Kelulusan syahadat ditentukan dengan tidak adanya syirik akbar; menyembah patung, percaya benda keramat, dan meminta kepada selain Allah swt. Kelulusan shalat ditentukan dengan selalu shalat wajib di awal waktu dan dilaksanakan di masjid dengan berjama’ah bagi laki-laki. Kelulusan zakat ditandakan dengan membayar zakat secara rutin berdasarkan aturan haul dan nishabnya. Sementara kelulusan shaum ditandakan dengan peningkatan taqwa, tidak tetap saja dalam kualitas rendah di setiap tahunnya. Orang-orang yang lulus dari keempat rukun Islam ini merupakan pertanda minimal bahwa ia sudah memurnikan agama hanya untuk Allah swt.
Maka dari itu sangat layak dipertanyakan jika seseorang belum lulus dari kelas satu sampai empat, tiba-tiba memaksa ingin masuk kelas lima; ada apa ini? Kalaupun klaimnya niat karena Allah swt, itu sebatas klaim semata. Mana mungkin ia berniat tulus karena Allah swt dalam keadaan masih menyepelekan syahadat, shalat, zakat dan shaum?
Allah swt sudah menjelaskan bahwa kewajiban haji itu bagi “orang yang mampu di perjalanannya” (QS. Ali ‘Imran [3] : 97). Kriteria mampu (istitha’ah) itu sendiri di antaranya adalah zad dan rahilah; bekal dan kendaraan. Bekal itu sendiri yang paling pentingnya adalah taqwa. Maka semua muslim pada hakikatnya dituntut untuk taqwa terlebih dahulu sebelum ia berangkat haji.
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa (QS. al-Baqarah [2] : 197).
Dengan demikian, ibadah haji bukan semata persoalan mengumpulkan uang lalu berangkat ketika sudah ada panggilan dari Kementerian Agama, kemudian pulang, dan selesai. Ibadah haji harus dimulai oleh setiap muslim dari sejak sekarang meski belum punya uang untuk ongkos perjalanannya. Ibadah haji harus dimulai dari sekarang dengan membenarkan terlebih dahulu syahadat, shalat, zakat dan shaum, sehingga mencapai taqwa (dengan standar minimal seperti diuraikan di atas) untuk dijadikan bekal haji.
Jika Allah swt menyebutkan bekal yang paling utama adalah taqwa, memang itulah yang paling penting, bukan ongkos perjalanan. Ketika itu diabaikan maka haji menjadi sia-sia, sebab yang akan dibalas surga hanya haji yang mabrur (Shahih al-Bukhari kitab abwab al-‘umrah bab wujubil-‘umrah wa fadliha no. 1773). Haji yang mabrur adalah haji yang baik dalam segala halnya, termasuk dalam mencapai tujuan utamanya yakni taqwa. Banyak sekali para Haji dan Hajjah yang sepulangnya dari tanah suci tidak tampak kemabrurannya dalam ketaqwaan. Itu disebabkan taqwa bukan dadakan semudah membalikkan telapak tangan, taqwa adalah hasil didikan yang mutlak memerlukan proses panjang, mulai dari syahadat, shalat, zakat sampai shaum. Di sinilah maka bekal taqwa menjadi sangat urgen untuk diperhatikan dengan perhatian yang paling utama.
Wal-‘Llahu a’lam.