Saya sering menemukan beberapa ikhwan yang ketika duduk tahiyyat akhir untuk shalat yang dua raka’at, mereka duduk iftirasy; duduk di atas telapak kaki kiri dan menegakkan telapak kaki kanan, seperti duduk tahiyyat awal. Apakah praktik shalat seperti itu memang ada dalilnya? 08138772xxxx
Praktik duduk iftirasy atau tawarruk untuk tahiyyat akhir pada shalat yang dua raka’at termasuk ikhtilaf yang mubah (diwenangkan) karena didasarkan pada hadits yang sama namun diijtihadi berbeda oleh ulama. Kesimpulan seperti ini sudah dari sejak jauh-jauh hari dikemukakan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul-Bari. Jika masih ada yang heran dan enggan menerima perbedaan ini, menandakan kurangnya pengetahuan akan khazanah ilmu yang diwariskan oleh para ulama.
Dasar dalilnya sama, yakni hadits Abu Humaid as-Sa’idi riwayat al-Bukhari yang ditulis dalam Bulughul-Maram bab shifatis-shalat no. 284.
وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى, وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى, وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
Apabila duduk pada dua raka’at, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan yang kanan. Apabila duduk pada raka’at terakhir, beliau menggeser ke depan kaki kirinya, menegakkan yang satunya lagi, dan duduk di atas tempat duduknya.
Perbedaannya hanya tipis saja; apakah duduk tahiyyat pada shalat shubuh dan shalat yang dua raka’at lainnya itu termasuk “duduk setelah dua raka’at” ataukah “duduk raka’at terakhir”. Bagi madzhab Hanbali dan banyak diikuti oleh jama’ah Salafi, duduk tahiyyat pada shalat Shubuh itu termasuk “duduk setelah dua raka’at” sehingga duduknya iftirasy. Tidak disebut tahiyyat akhir, karena memang tidak ada tahiyyat awalnya. Disebut tahiyyat akhir itu, menurut mereka, kalau ada tahiyyat awalnya. Karena tidak ada tahiyyat awal, maka kembali ke dalil yang menyebutkan “apabila duduk pada dua raka’at” sehingga duduknya iftirasy.
Berbeda dengan Imam as-Syafi’i yang menyatakan bahwa duduk tahiyyat pada shalat shubuh dan semisalnya itu termasuk “duduk raka’at terakhir”, meski tidak ada tahiyyat awalnya. Jadi duduknya tidak seperti tahiyyat awal, melainkan seperti tahiyyat akhir pada umumnya, yakni duduk tawarruk; duduk dengan meletakkan pangkal paha di atas lantai.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam hal ini menjelaskan:
وَفِي هَذَا الْحَدِيث حُجَّة قَوِيَّة لِلشَّافِعِيِّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ فِي أَنَّ هَيْئَة الْجُلُوس فِي التَّشَهُّد الْأَوَّل مُغَايِرَة لِهَيْئَةِ الْجُلُوس فِي الْأَخِير وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ الْمَالِكِيَّة وَالْحَنَفِيَّة فَقَالُوا: يُسَوِّي بَيْنهمَا لَكِنْ قَالَ الْمَالِكِيَّة: يَتَوَرَّك فِيهِمَا كَمَا جَاءَ فِي التَّشَهُّد الْأَخِير وَعَكَسَهُ الْآخَرُونَ
Dalam hadits ini ada hujjah yang kuat bagi Imam as-Syafi’i dan yang sependapat dengan beliau bahwa posisi duduk tasyahhud awal berbeda dengan duduk terakhir. Yang berbeda dengannya madzhab Maliki dan Hanafi. Mereka berpendapat: Duduknya sama saja. Akan tetapi bedanya kalau madzhab Maliki pada kedua-duanya tawarruk seperti tasyahhud akhir, sementara madzhab Hanafi sebaliknya (pada kedua-duanya iftirasy) (Fathul-Bari bab sunnah al-julus fit-tasyahhud).
وَاسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيّ أَيْضًا عَلَى أَنَّ تَشَهُّد الصُّبْح كَالتَّشَهُّدِ الْأَخِير مِنْ غَيْره لِعُمُومِ قَوْله فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة” وَاخْتَلَفَ فِيهِ قَوْل أَحْمَد وَالْمَشْهُور عَنْهُ اِخْتِصَاص التَّوَرُّك بِالصَّلَاةِ الَّتِي فِيهَا تَشَهُّدَانِ
Imam as-Syafi’i juga berdalil dengan hadits ini bahwa duduk tasyahhud pada shalat Shubuh itu seperti tasyahhud akhir pada selain Shubuh, karena keumuman pernyataan Abu Humaid “pada raka’at terakhir”. Tetapi Imam Ahmad berbeda pendapat. Yang masyhur dari pendapatnya adalah mengkhususkan duduk tawarruk untuk shalat yang ada padanya dua tasyahhud (Fathul-Bari bab sunnah al-julus fit-tasyahhud).
Demi persatuan Islam, sudah seyogianya umat Islam saling menghargai perbedaan ijtihad ulama ini. Demikianlah sunnah yang telah berlaku dari sejak zaman salaf umat ini. Wal-‘Llahu a’lam.