Demonstrasi Sesuai Sunnah

Demonstrasi Sesuai Sunnah
Demonstrasi adalah kontekstualisasi afdlalul-jihad (jihad terbaik) terhadap penguasa. Sebagaimana halnya jihad pada zaman Nabi saw, seringkali disusupi oleh orang-orang munafiq. Maka sudah menjadi tugas utama para demonstran membersihkan barisan mereka dari orang-orang munafiq. Satu hal yang ditekankan sunnah, afdlalul-jihad itu bukan untuk menggulingkan penguasa yang sah.
Ajaran sunnah tentang afdlalul-jihad terhadap penguasa zhalim diriwayatkan oleh shahabat Abu Sa’id al-Khudri ra. Nabi saw bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Seutama-utamanya jihad adalah perkataan yang adil di hadapan penguasa yang sewenang-wenang (Sunan Abi Dawud bab al-amr wan-nahy no. 4346; Sunan Ibn Majah bab al-amr bil-ma’ruf wan-nahy ‘anil-munkar no. 4011).
Dalam riwayat at-Tirmidzi ada sedikit perbedaan redaksi:
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Sesungguhnya di antara jihad yang paling utama adalah perkataan yang adil di hadapan penguasa yang sewenang-wenang (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a afdlalul-jihad kalimah ‘adl no. 2174).
Sementara itu dalam riwayat Ahmad redaksi kalimah haq:
إِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Sesungguhnya seutama-utamanya jihad adalah perkataan yang haq (benar) di hadapan penguasa yang sewenang-wenang (Musnad Ahmad bab musnad Abi Sa’id al-Khudri no. 11143).
Hadits di atas dengan berbagai variasi matannya menunjukkan bahwa jihad dengan kalimah ‘adl itu maksudnya kalimah haq; menyuarakan kebenaran. Kalimah ‘adl juga artinya suara yang tepat, tidak berlebihan. Sebatas menyuarakan kebenaran, bukan dengan melakukan kekerasan. Mengapa harus dengan demonstrasi bukan menemui langsung penguasa dan berbicara baik-baik? Jika itu bisa ditempuh maka tentunya itu lebih baik. Akan tetapi faktanya itu selalu tidak bisa ditempuh, apalagi banyak penyakit munafiq di tengah-tengah umat. Para penguasa hari ini tidak akan mau mendengar jika tidak disertai demonstrasi, sehingga demonstrasi masih menjadi cara efektif untuk memaksa penguasa mendengar suara umat. Faktanya juga penyakit munafiq yang masih menyebar di tengah-tengah umat malah selalu menjadikan mayoritas mereka menjadi orang-orang munafiq ketika pendekatan kepada penguasa ditempuh dengan cara lembut. Mereka bukannya menyampaikan kalimah ‘adl/haqq melainkan malah menjadi para penjilat yang terbungkam mulutnya karena kebesaran penguasa. Hal ini bahkan sudah terjadi sejak era salaf sebagaimana dilaporkan kepada Ibn ‘Umar ra:
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أُنَاسٌ لِابْنِ عُمَرَ إِنَّا نَدْخُلُ عَلَى سُلْطَانِنَا فَنَقُولُ لَهُمْ خِلَافَ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِهِمْ قَالَ كُنَّا نَعُدُّهَا نِفَاقًا
Dari Muhammad ibn Zaid ibn ‘Abdillah ibn ‘Umar, ia berkata: Ada beberapa orang bertanya kepada Ibn ‘Umar ra: “Kami masuk ke penguasa kami, lalu kami berkata kepada mereka sesuatu yang berbeda dengan yang kami bicarakan ketika kami keluar dari sisi mereka.” Ibn ‘Umar ra menjawab: “Kami mengategorikan hal tersebut kemunafiqan.” (Shahih al-Bukhari bab ma yukrahu min tsana`is-sulthan no. 7178).
Hadits-hadits di atas juga menunjukkan bahwa jihad menghadapi Pemerintah yang sewenang-wenang itu bukan satu-satunya jihad yang paling utama, melainkan hanya salah satu jihad yang paling utama. Hadits-hadits tentang jihad pada umumnya menjelaskan bahwa jihad yang utama itu berperang melawan musuh Islam yang menjajah atau berpotensi menjajah hingga mati syahid. Letak korelasinya karena jihad melawan penguasa rentan dengan mati syahidnya. Sebagaimana ditegaskan Imam al-Khaththabi, jihad menghadapi penguasa pasti kalah atau lebih besar peluang kalah dan sengsaranya. Hal lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Muzhhir, karena jihad melawan penguasa jika berhasil, kemanfaatannya akan dirasakan oleh rakyat banyak, sementara jihad melawan pasukan kafir kemanfaatannya tidak seluas penguasa yang berubah menjadi baik (Tuhfatul-Ahwadzi bab ma ja`a afdlalul-jihad kalimah ‘adl).
Sebagai bagian dari jihad, ayat-ayat al-Qur`an sudah mengingatkan akan selalu banyak orang-orang munafiq yang membuat onar di dalam pasukan.
لَوۡ خَرَجُواْ فِيكُم مَّا زَادُوكُمۡ إِلَّا خَبَالٗا وَلَأَوۡضَعُواْ خِلَٰلَكُمۡ يَبۡغُونَكُمُ ٱلۡفِتۡنَةَ وَفِيكُمۡ سَمَّٰعُونَ لَهُمۡۗ وَٱللَّهُ عَلِيمُۢ بِٱلظَّٰلِمِينَ ٤٧
Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zhalim.
لَقَدِ ٱبۡتَغَوُاْ ٱلۡفِتۡنَةَ مِن قَبۡلُ وَقَلَّبُواْ لَكَ ٱلۡأُمُورَ حَتَّىٰ جَآءَ ٱلۡحَقُّ وَظَهَرَ أَمۡرُ ٱللَّهِ وَهُمۡ كَٰرِهُونَ ٤٨
Sesungguhnya dari dahulu pun mereka telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur pelbagai macam tipu daya untuk (merusakkan)mu, hingga datanglah kebenaran (pertolongan Allah) dan menanglah agama Allah, padahal mereka tidak menyukainya (QS. At-Taubah [9] : 47-48).
Asbabun-nuzul (latar belakang kronologis) turunnya surat al-Munafiqun [63] itu sendiri juga provokasi dari orang-orang munafiq yang berada bersama pasukan muslim, yang kemudian diabadikan dalam dua ayatnya:
هُمُ ٱلَّذِينَ يَقُولُونَ لَا تُنفِقُواْ عَلَىٰ مَنۡ عِندَ رَسُولِ ٱللَّهِ حَتَّىٰ يَنفَضُّواْۗ وَلِلَّهِ خَزَآئِنُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ لَا يَفۡقَهُونَ ٧
Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)”. Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafiq itu tidak memahami.
يَقُولُونَ لَئِن رَّجَعۡنَآ إِلَى ٱلۡمَدِينَةِ لَيُخۡرِجَنَّ ٱلۡأَعَزُّ مِنۡهَا ٱلۡأَذَلَّۚ وَلِلَّهِ ٱلۡعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِۦ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَٰكِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ لَا يَعۡلَمُونَ ٨
Mereka berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya“. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafiq itu tiada mengetahui (QS. al-Munafiqun [63] : 8-9).
Dalam konteks demonstrasi umumnya adalah provokasi dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk memancing penguasa bertindak keras kepada para demonstran yang tulus berjihad. Larangan-larangan dalam jihad perang sekalipun untuk merusak bangunan dan menebang pohon, mereka abaikan sama sekali agar demontrasi itu rusuh dan para demonstran kemudian dihancurkan oleh tindakan sewenang-wenang aparat. Atau agar mereka berhasil membuat kegentingan sehingga penguasa diganti dengan orang-orang yang memesan mereka untuk berbuat rusuh. Model demontrasi seperti ini tentu sudah menyimpang dari sunnah. Maka dari itu segenap demonstran yang meniatkan kegiatan demonstrasinya sebagai jihad harus betul-betul mewaspadai provokasi orang-orang munafiq tersebut.
Nabi saw dari jauh hari sudah mengingatkan bahwa menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa zhalim itu harus dilakukan agar umat selamat dari dosa, kezhaliman penguasa, atau siksa Allah swt di dunia. Akan tetapi tidak sampai melakukan kekerasan hingga menggulingkan para penguasa itu.
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal tetapi kalian mengingkari mereka (karena zhalim). Siapa yang mengenali (dan tidak terbawa arus), maka ia terbebas dari dosa. Siapa yang mengingkari (mencegah kemunkaran), maka ia selamat. Akan tetapi siapa yang simpati dan mengikuti, maka ia tidak selamat.” Para shahabat bertanya: “Apakah kita harus memerangi mereka?” Rasul saw menjawab: “Tidak boleh selama mereka shalat.” (Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujubil-inkar ‘alal-umara` fima yukhalifus-syar’a no. 3445-3446).
Pergantian penguasa dengan cara kekerasan itu sangat Nabi saw larang karena hanya akan menyebabkan banyak korban mati jahiliyyah. Mereka tidak dikategorikan mati syahid karena tidak sedang melawan musuh Islam, melainkan berkonflik di antara sesama muslim sendiri. Maka dari itu umat Islam harus sabar dari melakukan kekerasan kepada penguasa. Hanya sebatas menyuarakan kebenaran, demonstrasi, dan tidak sampai berbuat kerusakan dan kekerasan.
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئاً فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْراً مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa yang tidak menyukai dari pemimpinnya sesuatu hal, maka bersabarlah. Karena sesungguhnya orang yang memberontak kepada sulthan (pemerintah) meski sejengkal saja, lalu ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyyah (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab satarauna ba’di umuran tunkirunaha no. 7053; Shahih Muslim kitab al-imarah bab al-amr bi luzumil-jama’ah ‘inda zhuhuril-fitan no. 4879).



