Uncategorized

Para Pemuja Sungguh Hina

Para Pemuja Sungguh Hina

Panggung kekuasaan sepanjang sejarahnya selalu disesaki oleh para pemuja pemimpinnya. Mereka memuja-muja junjungannya layaknya orang suci yang pasti selalu benar dan harus selalu dibenarkan meski sejuta fakta membuktikan kepalsuannya. Perilaku seperti itu merupakan akhlaq para penjilat. Nabi ﷺ menyebut mereka sebagai orang-orang hina yang pantas ditaburi tanah.

Para pemuja yang hina itu Nabi saw menyebutnya maddahin dalam bentuk mubalaghah (berlebihan). Mereka adalah orang-orang yang terlalu sering memuji karena ada maksud duniawi tertentu atau memuji secara berlebihan bahkan dalam hal-hal yang sebenarnya tidak layak dipuji. Akibatnya sesuatu yang buruk jadi terlihat baik, dan orang-orang yang menyatakan jujur buruknya jadi dikesankan sebagai orang jahat dan busuk. Mereka adalah budak-budak penjilat yang berprinsip ABS; Asal Bapak Senang, agar mereka selalu bisa menjilati kekuasaan dan kekayaan dari Bapak selama mungkin. Terhadap mereka itu Nabi saw memerintahkan agar ditaburkan saja tanah atau batu kerikil ke mukanya. Menunjukkan saking hinanya muka mereka di hadapan Nabi saw.

عَنْ أَبِى مَعْمَرٍ قَالَ قَامَ رَجُلٌ يُثْنِى عَلَى أَمِيرٍ مِنَ الأُمَرَاءِ فَجَعَلَ الْمِقْدَادُ يَحْثِى عَلَيْهِ التُّرَابَ وَقَالَ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ نَحْثِىَ فِى وُجُوهِ الْمَدَّاحِينَ التُّرَابَ.

Dari Abu Ma’mar, ia berkata: Ada seseorang berdiri dan memuji seorang amir (pejabat Negara), lalu Miqdad menaburkan tanah kepadanya dan berkata: “Rasulullah saw memerintah kami menaburkan tanah ke wajah orang-orang yang banyak memuji.” (Shahih Muslim bab an-nahy ‘anil-madh idza kana fihi ifrath no. 7697).

عَنْ هَمَّامِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ رَجُلاً جَعَلَ يَمْدَحُ عُثْمَانَ فَعَمِدَ الْمِقْدَادُ فَجَثَا عَلَى رُكْبَتَيْهِ – وَكَانَ رَجُلاً ضَخْمًا – فَجَعَلَ يَحْثُو فِى وَجْهِهِ الْحَصْبَاءَ فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ مَا شَأْنُكَ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِينَ فَاحْثُوا فِى وُجُوهِهِمُ التُّرَابَ

Dari Hammam ibn al-Harits, sungguh ada seseorang yang memuji ‘Utsman. Tiba-tiba Miqdad turun dan berlutut—karena orangnya gemuk—lalu menaburkan bebatuan kecil ke wajah pemuji itu. ‘Utsman bertanya kepada Miqdad: “Ada apa denganmu?” Ia berkata: Sungguh Rasulullah saw bersabda: “Apabila kalian melihat orang-orang yang banyak memuji maka taburkanlah tanah ke wajah mereka.” (Shahih Muslim bab an-nahy ‘anil-madh idza kana fihi ifrath no. 7698).

Pemahaman Miqdad dan ‘Utsman ra di atas menunjukkan bahwa maksud sabda Nabi saw tersebut bisa dipahami secara zhahir sebagaimana pemahaman Miqdad ra, bisa juga dipahami dalam makna kiasan yakni abaikan saja dan jangan terpengaruh apapun oleh orang yang memuji sebagaimana pemahaman ‘Utsman ra. Sementara itu yang memahami maknanya ingatlah pada asal penciptaan dari tanah dan tetaplah membumi, ini adalah pemahaman yang dla’if (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim).

Perilaku puja-puji secara berlebihan, Nabi saw sebutkan dalam hadits lain sebagai perilaku kejam, disamakan dengan memenggal leher atau mematahkan punggung orang yang dipujinya.

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ سَمِعَ النَّبِيُّ ﷺ رَجُلًا يُثْنِي عَلَى رَجُلٍ وَيُطْرِيهِ فِي الْمِدْحَةِ فَقَالَ أَهْلَكْتُمْ أَوْ قَطَعْتُمْ ظَهْرَ الرَّجُلِ

Dari Abu Musa ra, ia berkata: Nabi saw mendengar seseorang menyanjung orang lain dan berlebihan dalam memujinya. Beliau bersabda: “Kalian telah membinasakan atau mematahkan punggung orang itu.” (Shahih al-Bukhari bab ma yukrahu minat-tamaduh no. 6060).

Berdasarkan riwayat Ahmad dan al-Bukhari dalam al-Adabul-Mufrad diketahui bahwa yang memuji tersebut shahabat Mihjan dan yang dipujinya kemungkinan besar ‘Abdullah al-Muzanni yang shalatnya lama. Nabi saw sampai berkata kepada Mihjan:

اُسْكُتْ لَا تُسْمِعْهُ فَتُهْلِكْهُ

Diam kamu, jangan sampai ia mendengar perkataanmu, jadinya kamu membinasakannya (Fathul-Bari).

Ini sekaligus menjadi penjelas maksud sabda Nabi saw “memotong punggung” atau “memotong leher” dalam hadits berikutnya, maksudnya adalah membinasakan dan mencelakakannya.

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّ رَجُلًا ذُكِرَ عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ فَأَثْنَى عَلَيْهِ رَجُلٌ خَيْرًا فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ وَيْحَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ يَقُولُهُ مِرَارًا إِنْ كَانَ أَحَدُكُمْ مَادِحًا لَا مَحَالَةَ فَلْيَقُلْ أَحْسِبُ كَذَا وَكَذَا إِنْ كَانَ يُرَى أَنَّهُ كَذَلِكَ وَحَسِيبُهُ اللَّهُ وَلَا يُزَكِّي عَلَى اللَّهِ أَحَدًا

Dari Abu Bakrah ra: Sungguh ada seorang lelaki yang disebutkan di dekat Nabi saw, lalu seorang lelaki lain menyanjung kebaikannya. Nabi saw bersabda: “Celaka kamu. Kamu sudah memotong leher sahabatmu.” Beliau mengucapkannya berulang kali. “Jika seseorang di antaramu hendak memuji, ketika harus memuji, maka katakanlah: ‘Aku kira begini, begini.’ Jika ia terlihat demikian. Penilai akhirnya hanya Allah. Jangan menyucikan seorang pun mendahului Allah.” (Shahih al-Bukhari bab ma yukrahu minat-tamaduh no. 6060).

Hadits yang terakhir ini membedakan antara memuji yang berlebihan dan memuji yang sesuai fakta. Memuji yang sesuai fakta diperbolehkan, tetapi tetap tidak boleh meyakinkan, harus disertai ungkapan: “Sepengetahuan saya, sepanjang yang saya kenal, menurut yang saya tahu, dalam perkiraan saya,” dan semacamnya. Ini penting diungkapkan agar tidak mencelakakan orang yang dipujinya.

Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, Nabi saw menyebut bahwa pujian untuk orang lain sebagai membinasakan karena bisa menyebabkan lahirnya sifat puas dan bangga dengan pujian tersebut. Ini bisa menyebabkannya berhenti dari amal, sebab orang semangat beramal itu karena merasa dirinya masih kekurangan. Jika ia sudah merasa cukup maka ia akan berhenti beramal atau enggan meningkatkan amal. Di sinilah kebinasaannya (Fathul-Bari). Yang lebih parah dari itu, orang yang dipuja akan merasa sebagai orang istimewa meski faktanya tidak demikian. Yang lebih parah lagi, orang itu akan selalu merasa benar bahkan ketika menempuh jalan yang salah sekalipun karena selalu dipuja oleh para pemujanya sebagai orang yang hebat. Di sini juga tampak jelas binasanya.

Maka dari itu para ulama Salaf memberikan nasihat kepada orang-orang yang mudah mendapatkan pujian dari orang-orang:

قَالَ ابْن عُيَيْنَةَ: مَنْ عَرَفَ نَفْسه لَمْ يَضُرّهُ الْمَدْح

Ibn ‘Uyainah berkata: “Siapa yang mengenali (kekurangan) dirinya maka pujian tidak akan membahayakannya.”

وَقَالَ بَعْضُ السَّلَف: إِذَا مُدِحَ الرَّجُل فِي وَجْهه فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ اِغْفِرْ لِي مَا لَا يَعْلَمُونَ، وَلَا تُؤَاخِذنِي بِمَا يَقُولُونَ، وَاجْعَلْنِي خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّونَ. أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي الشُّعَب

Sebagian Salaf berkata: Apabila seseorang dipuji di hadapannya maka katakanlah: “Ya Allah ampunilah aku apa yang mereka tidak ketahui, janganlah Engkau menyiksaku dengan apa yang mereka katakan, dan jadikanlah untukku kebaikan dari apa yang mereka sangka.” Al-Baihaqi meriwayatkannya dalam Syua’bul-Iman (Fathul-Bari).

Akan tetapi tentunya bukan berarti memuji seseorang yang faktanya baik terlarang sepenuhnya. Nabi saw sendiri banyak memuji shahabatnya termasuk keluarganya. Demikian halnya sesama para shahabat selalu saling memuji. Tetapi tentu konteksnya tidak berlebihan sampai dikesankan orang suci yang tidak mungkin salah atau tidak boleh dipersalahkan.

Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitab Riyadlus-Shalihin:

فهذهِ الأحاديث في النَهي، وجاء في الإباحة أحاديث كثيرة صحيحة. قال العلماءُ: وطريق الجَمْعِ بين الأحاديث أَنْ يُقَالَ: إنْ كان المَمْدُوحُ عِنْدَهُ كَمَالُ إيمانٍ وَيَقينٍ، وَرِيَاضَةُ نَفْسٍ، وَمَعْرِفَةٌ تَامَّةٌ بِحَيْثُ لاَ يَفْتَتِنُ، وَلاَ يَغْتَرُّ بِذَلِكَ، وَلاَ تَلْعَبُ بِهِ نَفْسُهُ، فَليْسَ بِحَرَامٍ وَلاَ مَكْرُوهٍ، وإنْ خِيفَ عَلَيْهِ شَيءٌ مِنْ هذِهِ الأمورِ، كُرِهَ مَدْحُهُ في وَجْهِهِ كَرَاهَةً شَديدَةً، وَعَلَى هَذا التَفصِيلِ تُنَزَّلُ الأحاديثُ المُخْتَلِفَةُ فِي ذَلكَ.

Ini hadits-hadits yang melarang (memuji). Ada juga hadits shahih banyak yang membolehkan. Para ulama berkata: Cara mengompromikan di antara hadits-hadits tersebut adalah jika orang yang dipuji di dekatnya orang yang sempurna iman dan yakinnya, mampu mengendalikan diri, dan memiliki pengetahuan sempurna dimana ia tidak akan terkena fitnah dan tertipu dengan pujian tersebut, demikian juga nafsunya tidak akan merasa bangga dengan pujian itu, maka kedudukannya tidak haram atau makruh. Tetapi jika orang yang dipuji itu ditakutkan menimpanya satu dari yang sudah disebutkan maka dibenci sekali memujinya di hadapannya. Dengan model perincian seperti inilah hadits-hadits yang tampaknya bertentangan itu didudukkan (bab karahatil-madhi fil-wajhi).

Semuanya kembali pada kualitas dari orang-orang yang akan dipujinya. Jika jelas akhlaqnya baik, ilmunya tinggi, rekam jejaknya juga membuktikan demikian, maka halal memuja mereka tentunya dengan tetap pada batas-batasnya, yakni bahwa manusia itu tidak ada yang lepas dari keliru dan kekurangan. Sehebat-hebatnya kualitas seseorang tentu ada kekurangannya. Kekurangannya ditutupi untuk diperbaiki, bukan untuk dipaksakan dinilai baik; sementara kebaikannya boleh dipuji untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan di tengah-tengah masyarakat.

Jika rekam jejaknya belum diketahui bahkan sedikit meragukan, akhlaqnya jauh dari tuntunan sunnah, ilmunya juga rendah, maka jangan pernah ikut-ikutan memuja seseorang yang dipuja-puja oleh para pemujanya sebab itu benar-benar perbuatan hina. Orang-orangnya otomatis termasuk barisan orang-orang yang hina dan berdosa. Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button