Ekonomi

Solusi Syari’at Mengentaskan Kemiskinan

Solusi Syari’at Mengentaskan Kemiskinan

Pemerintah adalah penanggung jawab utama pengentasan kemiskinan karena 78,5% pendapatan negara tahun 2024 berasal dari pajak yang ditarik dari rakyat. Berikutnya adalah tugas orang-orang kaya terutama pengusaha kepada pekerja mereka dan umumnya kepada kaum faqir miskin secara lebih luas. Terakhir adalah tugas dari orang-orang miskinnya itu sendiri untuk tidak meletakkan tangan di bawah, tetapi bersabar dan berusaha keras untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.

Pemerintah selalu memilih pengendalian penduduk melalui program KB (Keluarga Berencana) sebagai solusi pengentasan kemiskinan. Teorinya pertumbuhan penduduk yang cepat dapat membebani sumber daya dan infrastruktur, sehingga menyebabkan kesulitan bagi masyarakat miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar. Padahal Negara wajib hadir mencerdaskan bangsa dan memberikan kehidupan yang layak. Dengan sendirinya Negara akan merasakan kekurangan penduduk sebagaimana negara-negara maju membutuhkan tenaga kerja asing dari luar negerinya. Tidak akan diperlukan lagi pembatasan penduduk melalui KB. Program KB hanya semacam pelarian dari ketidakbecusan Pemerintah RI dalam mengentaskan kemiskinan.

Padahal merujuk data pendapatan negara 2024, sebagaimana disampaikan Wamenkeu Anggito Abimanyu 6 Januari 2025, totalnya mencapai Rp. 2.842,5 triliun. 78,5 persennya ternyata berasal dari pajak yang ditarik dari rakyat atau sebesar Rp. 2.232,6 triliun. Akan tetapi berapa banyak yang sudah dikembalikan kepada rakyat dalam wujud pengentasan kemiskinan?

Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku pada tahun 2024 juga dalam data BPS (Badan Pusat Statistik) mencapai Rp. 22.139,0 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp. 78,6 juta atau USD 4.960,3. PDB adalah ukuran nilai total semua barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara dalam satu tahun. PDB digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara. Jadi jika dipukul rata-rata pendapatan per orang per tahun warga Indonesia untuk tahun 2024 menurut BPS tepatnya sebesar Rp. 78.617.420,-. Artinya per bulannya penghasilan orang Indonesia rata-ratanya sebesar Rp. 6.551.451,-. Jika per keluarga di Indonesia rata-rata terdiri dari 4,7 anggota keluarga berarti penghasilan per kepala keluarga di Indonesia rata-rata sebesar Rp. 30.791.822,-. Dengan data perkembangan ekonomi yang tidak terlalu buruk seperti ini mengapa penduduk miskin di Indonesia menurut standar World Bank masih sebanyak 171,8 juta jiwa atau 60,3 persen? Padahal dengan standar yang sama dari World Bank, sebagaimana dirilis tempo.co, penduduk miskin di Malaysia hanya 460 ribu orang (1,3%) dan di Vietnam sekitar 18,3 juta (18,2%)? Mengapa perkembangan ekonomi Indonesia tidak dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia?

Ini adalah data yang jelas bahwa para petinggi negeri ini belum menyalurkan amanah kepada rakyat yang berhaknya. Padahal ketaatan dari rakyat dalam hal pajak sudah ada. Padahal juga perintah taat kepada Pemerintah dalam al-Qur`an diletakkan setelah perintah terhadap Pemerintah untuk menunaikan amanah kepada rakyatnya (QS. an-Nisa` [4] : 58-59). Dalam pembukaan UUD 1945 jelas disebutkan bahwa tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Kemudian pada pasal 34 ayat 1 UUD 1945 disebutkan dengan jelas: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Dijelaskan lebih lanjut dalam UU 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin bahwa setiap rakyat miskin berhak mendapatkan: (1) Kecukupan pangan, sandang, dan perumahan; (2) pelayanan kesehatan; (3) pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya; (4) perlindungan sosial dalam membangun, mengembangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya sesuai dengan karakter budayanya; (5) pelayanan sosial melalui jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun, mengembangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya; (6) derajat kehidupan yang layak; (7) lingkungan hidup yang sehat; (8) meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan; dan (9) pekerjaan dan kesempatan berusaha. Ketika faktanya 60,3 persen rakyat Indonesia masih miskin, sangat jelas sekali bahwa Pemerintah Indonesia belum menunaikan amanah dengan benar.

Selebihnya dari itu data PDB di atas juga menjadi teguran keras kepada semua pengusaha yang terlibat dalam dunia usaha dan perdagangan, sudah sejauh mana perhatiannya tergerak dalam gerakan memberi makan kepada rakyat miskin. Al-Qur`an selalu memakai bahasa “makanan” (tha’am/ith’am. Rujuk QS. al-Haqqah [69] : 34, al-Ma’un [107] : 3, al-Fajr [89] : 18, dan al-Balad [90] : 11-16) untuk disalurkan kepada mereka yang masih miskin, karena memang berdasarkan garis kemiskinan yang ditetapkan BPS sebesar Rp. 595.242,- per orang per bulan, komposisi garis kemiskinan makanannya sebesar Rp. 443.433,00 (74,50 persen), sementara garis kemiskinan bukan makanannya hanya sebesar Rp. 151.809,00 (25,50 persen). Artinya memang kebutuhan terbesar orang-orang miskin itu ada pada makanan. Itu menurut BPS untuk hitungan per orang. Jika standar satu keluarga di Indonesia terdiri dari 4,7 orang anggota rumah tangga, berarti Garis Kemiskinan per rumah tangga per bulan Rp. 2.803.590,-. Sudahkah standar Garis Kemiskinan ini diperhatikan oleh para pengusaha dalam memberlakukan upah kepada para pekerjanya?

Bahkan bagi para pengusaha termasuk penguasa, standar kebutuhan hidup seseorang itu sebenarnya bukan garis kemiskinan sebagaimana ditetapkan BPS, melainkan kecukupan hidup berumah tangga, memiliki pembantu atau sejenisnya, dan sampai memiliki rumah tinggal. Nabi saw bersabda dengan tegas:

مَنْ كَانَ لَنَا عَامِلاً فَلْيَكْتَسِبْ زَوْجَةً فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَكْتَسِبْ خَادِمًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَسْكَنٌ فَلْيَكْتَسِبْ مَسْكَنًا مَنِ اتَّخَذَ غَيْرَ ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ

Siapa yang jadi pekerja kami maka hendaklah ia memperoleh istri. Jika ia tidak punya pembantu, hendaklah ia memperoleh pembantu. Jika ia tidak punya rumah, hendaklah ia memperoleh rumah. Siapa yang memperkaya diri lebih dari itu maka itu termasuk menggelapkan atau mencuri (Sunan Abi Dawud bab fi arzaqil-‘ummal no. 2947).

Maksud hadits di atas sebagaimana dijelaskan al-Khaththabi, ada dua pengertian: (1) Setiap pekerja berhak mendapatkan upah yang layak seukuran bisa menikah, mempunyai pembantu, dan memiliki rumah. Pekerja yang terbukti memperkaya diri secara ilegal, senyap-senyap, maka itu termasuk penggelapan atau pencurian. (2) Setiap pekerja yang belum menikah, mempunyai pembantu, dan memiliki rumah, harus diberi uang untuk menikah, diberi layanan pembantu, dan diberi fasilitas rumah selama ia bekerja, yang kesemuanya dalam akad hak guna pakai, tidak sampai hak milik (‘Aunul-Ma’bud bab fi arzaqil-‘ummal).

Selebihnya dari itu, setiap muslim, bukan hanya penguasa dan pengusaha,  dituntut untuk bisa menyisihkan sebagian rizkinya minimal untuk memberi makan kepada seorang miskin. Jika merujuk data BPS di atas setidaknya Rp. 600.000,- per bulan untuk per orang. Bagi yang mampu tentu dilebihkan untuk dua, tiga, sampai beberapa orang, bisa dengan menggunakan standar garis kemiskinan yang ditetapkan BPS di atas. Nabi saw dalam hal ini menghimbau kepada semua kaum muslimin:

طَعَامُ الِاثْنَيْنِ كَافِي الثَّلَاثَةِ وَطَعَامُ الثَّلَاثَةِ كَافِي الْأَرْبَعَةِ

Makanan untuk dua orang harus cukup untuk tiga orang. Makanan untuk tiga orang harus cukup untuk empat orang (Shahih al-Bukhari bab tha’amul-wahid yakfil-itsnain no. 5392; Shahih Muslim bab fadllil-muwasah fit-tha’amil-qalil no. 5488).

طَعَامُ الْوَاحِدِ يَكْفِى الاِثْنَيْنِ وَطَعَامُ الاِثْنَيْنِ يَكْفِى الأَرْبَعَةَ وَطَعَامُ الأَرْبَعَةِ يَكْفِى الثَّمَانِيَةَ

Makanan untuk satu orang harus cukup untuk dua orang. Makanan untuk dua orang harus cukup untuk empat orang. Makanan untuk empat orang harus cukup untuk delapan orang (Shahih Muslim bab fadllil-muwasah fit-tha’amil-qalil no. 5489).

Bagi orang-orang miskinnya sendiri Nabi saw mengajarkan agar menjadi orang miskin yang benar, bukan orang miskin yang salah. Orang miskin yang salah adalah yang selalu mengandalkan pemberian orang lain. Orang miskin yang benar adalah orang yang pantang menaruh tangannya di bawah. Ia akan bersabar tanpa meminta serta selalu berusaha keras untuk bisa makan dari hasil kerjanya sendiri.

لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ

Bukanlah orang miskin itu yang berkeliling meminta kepada orang-orang, lalu diberi satu dua suap, atau satu dua buah kurma. Orang miskin yang sebenarnya itu adalah yang tidak mempunyai harta cukup, tapi tidak dimengerti oleh orang lain dan diberi shadaqah, meski demikian ia tidak berani meminta kepada orang-orang (Shahih al-Bukhari bab qaulil-‘Llah ta’ala la yas`alunan-nas ilhafan no. 1479).

Dalam hadits Abu Kabsyah Al-Annamari ra, Rasulullah saw pernah memberikan taushiyah:

ثَلَاثَةٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ قَالَ: مَا نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ، وَلَا ظُلِمَ عَبْدٌ مَظْلِمَةً فَصَبَرَ عَلَيْهَا إِلَّا زَادَهُ اللَّهُ عِزًّا، وَلَا فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ إِلَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ بَابَ فَقْرٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا

“Ada tiga hal yang aku bersumpah untuk ketiganya dan aku sampaikan satu hadits lain, maka ingatlah.” Beliau bersabda: “Tidak akan berkurang harta seorang hamba karena shadaqah, tidaklah seorang hamba dizhalimi satu kezhaliman lalu ia bersabar atasnya melainkan Allah akan menambah kemuliaannya, dan tidaklah seorang hamba membuka pintu meminta (kepada orang lain) melainkan Allah akan membukakan untuknya pintu kefakiran—atau kalimat semisalnya.” (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a matsalud-dunya matsal arba’ah nafar no. 2325).

Dalam banyak hadits, Nabi saw sering mengingatkan agar orang-orang miskin tidak bermental miskin, tetapi harus bermental pekerja keras:

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ الْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

Seseorang di antara kalian mengambil tali kemudian membawa seikat kayu bakar di punggungnya, lalu ia menjualnya sehingga Allah menjaga kehormatannya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab al-isti’faf ‘anil-mas`alah no. 1378; Shahih Muslim kitab az-zakat bab karahatil-mas`alah lin-nas no. 1727-1728).

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Seseorang yang tidak henti-hentinya meminta kelak ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sedikit pun daging pada wajahnya (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab man sa`alan-nas takatstsuran no. 1474. Maksudnya, menurut para ulama, sebagai kehinaan dan ia akan menjadi seseorang yang terhina. Bisa juga maksudnya, wajahnya akan terbakar api neraka sampai habis dagingnya [Fathul-Bari]).

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

Siapa yang meminta harta kepada orang-orang untuk memperbanyaknya, maka sungguh ia meminta batu api neraka. Maka hendaklah ia sedikit meminta atau silahkan kalau mau perbanyak sekalian! (Shahih Muslim kitab az-zakat bab karahiyatil-mas`alah lin-nas no. 2446).

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button