Tradisi

Tukar Cincin dan Tradisi Pernikahan Lainnya

Tukar Cincin dan Tradisi Pernikahan Lainnya

Bagaimana pandangan Islam terhadap budaya tukar cincin dalam lamaran atau pernikahan? Demikian halnya tradisi-tradisi lain yang berlaku dalam pernikahan? 0896-5901-xxxx

Semua aspek budaya jika tidak terkait dengan aqidah dan ritual keagamaan selain Islam maka hukumnya halal. Tetapi jika terkait dengan aqidah dan ritual keagamaan selain Islam maka hukumnya haram, karena dengan mempraktikkan budaya tersebut berarti sudah beraqidah seperti aqidah kafir/jahiliyyah dan sudah beragama dengan agama selain Islam. Padahal al-Qur`an sudah dengan tegas menyatakan: “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 85)

Sepengetahuan kami budaya tukar cincin itu terkait dengan mitos-mitos luar Islam khususnya tradisi Barat, konon katanya akan melanggengkan pernikahan. Mitos semacam ini jelas merusak aqidah Islam. Kalaupun dijalani hanya sebagai budaya duniawi saja tanpa adanya keyakinan terhadap mitos tersebut, tetap saja berstatus tasyabbuh terhadap budaya orang-orang kafir. Hukumnya disamakan dengan orang-orang kafir dalam hal amalnya. Sabda Nabi saw yang sudah dikenal telah mengingatkannya: “Siapa yang menyerupai (aqidah dan ritual) satu kaum maka ia bagian darinya.”

Pertimbangan lainnya, laki-laki haram memakai perhiasan emas. Hukum ini sudah sangat terang benderang dalam Islam. Nabi saw bersabda:

حُرِّمَ لِبَاسُ الحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ

Diharamkan pakaian sutera dan emas untuk kaum lelaki umatku dan dihalalkan untuk kaum perempuannya (Sunan at-Tirmidzi kitab abwab al-libas bab ma ja`a fil-harir wadz-dzahab no.1720).

Jika sebatas memakaikan cincin emas di jari perempuan, diperbolehkan kalau sesudah akad nikah, dan hanya sebatas seremonial duniawi untuk menunjukkan sudah sah menjadi suami istri. Jika itu dilakukan sebelum akad nikah, termasuk dalam proses lamaran, maka hukumnya haram, karena yang tidak ada kaitan mahram haram bersentuhan anggota badan, hal itu termasuk dalam mendekati zina. Sebagaimana Nabi saw tegaskan:

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Anak cucu Adam telah ditakdirkan mendapatkan bagian dari zina. Semuanya akan mengalaminya, mustahil tidak. Adapun mata zinanya adalah melihat. Telinga zinanya mendengar. Lisan zinanya berbicara. Tangan zinanya memegang. Kaki zinanya melangkah. Sementara hati hanya menginginkan dan berangan-angan, kemudian farji (kemaluan) mengiyakannya atau menolaknya (Shahih Muslim kitab al-qadr bab quddira ‘ala ibn Adam hazhzhahu minaz-zina no. 6925).

Berlaku sama dalam ketentuan hukum ini semua ritual pernikahan seperti dalam tradisi Sunda; Neundeun Omong (lamaran), Ngeuyeuk Seureuh (persiapan menjelang akad), Ngebakan (mandi), Ngerik (potong rambut), hingga acara inti seperti Akad Nikah dan Sungkem (meminta restu). Prosesi setelah akad nikah meliputi Sawer (nasihat pernikahan), Nincak Endog (injak telur), Huap Lingkung (suap-suapan), Meuleum Harupat (bakar lidi), dan Ngaleupaskeun Japati (lepas merpati), yang semuanya memiliki makna simbolis untuk keharmonisan dan keberkahan rumah tangga. Dikecualikan yang dibenarkan syari’at seperti lamaran/khitbah—tetapi yang bersih dari ritual luar Islam—khutbah nikah (tanpa saweran), dan akad nikah. Wal-‘Llahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button