Tradisi Ilmu Generasi Terbaik

Tradisi Ilmu Generasi Terbaik
Tradisi ilmu generasi awal Islam (salaf) tidak mewujud dalam akademi atau literasi yang cenderung elitis, melainkan dalam kegiatan keilmuan yang populis; di manapun, kapanpun, dan siapapun. Semangat tinggi untuk meraih ilmu menjadi kunci utamanya. Meski umumnya masyarakat Arab awal Islam buta huruf, tetapi mereka merupakan masyarakat yang sangat antusias dengan ilmu. Inilah generasi terbaik yang harus dijadikan teladan. Bukan karena berpendidikan tinggi dan bagus dalam literasi serta numerasi, melainkan karena antusiasme yang sangat tinggi dengan ilmu.
Bahkan sampai hari ini pun—tidak hanya di zaman awal Islam dahulu—tradisi keilmuan yang berbasis pada akademi (lembaga pendidikan formal/nonformal) dan literasi-numerasi sifatnya masih elitis; hanya menyentuh kalangan tertentu yang memiliki kemampuan akademik yang bagus atau kemampuan finansial yang mumpuni. Mereka yang memiliki keterbatasan kemampuan akademik dan apalagi finansial tidak mampu meningkatkan taraf pendidikannya. Tradisi keilmuan Islam dari sejak masa awalnya tidak elitis seperti itu, melainkan populis mencakup semua lapisan masyarakat, sehingga siapapun bisa meningkatkan kualitas hidupnya melalui kegiatan keilmuan.
Dalam uraian al-Hafizh Ibn Hajar terkait hadits wa syarral-umur muhdatsatuha dalam Fathul-Bari kitab al-i’tisham bil-kitab was-sunnah diketahui bahwa Nabi saw melarang kegiatan ta’lim setiap hari dan penulisan ilmu secara massif selain al-Qur`an (bisa dirujuk: https://attaubah-institute.com/bidah-menurut-ulama-ahlus-sunnah/). Hikmahnya, kegiatan keilmuan tidak terbatas pada lembaga-lembaga pendidikan atau teks-teks buku yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu, melainkan melalui kegiatan keilmuan yang siapapun bisa mengaksesnya. Nabi saw sebagai guru utamanya tidak hanya mengajar pada waktu-waktu tertentu saja, melainkan bisa setiap saat diakses ilmunya, tentunya di setiap kesempatan yang beliau luang. Standar kompetensi keilmuannya sangat sederhana; memahami al-Qur`an dan sunnah sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Shahabat seperti ‘Umar ra dan tetangganya yang berprofesi sebagai petani-pedagang juga bisa mengakses ilmu hampir setiap hari tanpa mengorbankan pekerjaannya. ‘Umar ra dan tetangganya sepakat untuk bergantian menimba ilmu (tanawub fil-‘ilm) dan menjaga kebun atau barang dagangannya di setiap dua harinya.
عَنْ عُمَرَ قَالَ كُنْتُ أَنَا وَجَارٌ لِي مِنْ الْأَنْصَارِ فِي بَنِي أُمَيَّةَ بْنِ زَيْدٍ وَهِيَ مِنْ عَوَالِي الْمَدِينَةِ وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَإِذَا نَزَلْتُ جِئْتُهُ بِخَبَرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ الْوَحْيِ وَغَيْرِهِ وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ
Dari ‘Umar ia berkata: “Aku dan tetanggaku dari Anshar yang berada di desa Bani Umayyah ibn Zaid daerah dataran tinggi di Madinah, kami saling bergantian datang ke majelis Rasul saw. Satu hari ia yang datang dan hari lainnya aku yang datang. Jika giliranku datang, maka aku memberi tahu kepadanya seputar wahyu yang turun hari itu dan perkara lainnya. Dan jika giliran tetanggaku yang datang, ia pun melakukan hal yang sama.” (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab at-tanawub fil-‘ilm no. 89).
Praktik yang dijalankan oleh ‘Umar ra dan tetangganya ini mengikuti arahan Nabi saw:
لِيُبَلِّغ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِنَّ الشَّاهِدَ عَسَى أَنْ يُبَلِّغَ مَنْ هُوَ أَوْعَى لَهُ مِنْهُ
Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir sebab sungguh bisa jadi ia menyampaikan kepada orang yang lebih memahaminya daripada dirinya sendiri (Shahih al-Bukhari bab qaulin-Nabiy saw rubba muballagh au’a min sami’ no. 67)
Maka dari itu shahabat Abu Hurairah ra menjadi shahabat yang paling aktif meriwayatkan hadits. Sebagaimana pengakuannya sendiri:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ أَكْثَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَلَوْلَا آيَتَانِ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا حَدَّثْتُ حَدِيثًا ثُمَّ يَتْلُو{إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنْ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى إِلَى قَوْلِهِ الرَّحِيمُ}إِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الصَّفْقُ بِالْأَسْوَاقِ وَإِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الْعَمَلُ فِي أَمْوَالِهِمْ وَإِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بِشِبَعِ بَطْنِهِ وَيَحْضُرُ مَا لَا يَحْضُرُونَ وَيَحْفَظُ مَا لَا يَحْفَظُونَ
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Sesungguhnya orang-orang berkata: ‘Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits.’ Seandainya tidak ada dua ayat dalam kitab Allah, aku tidak akan meriwayatkan satu hadits pun.” Abu Hurairah kemudian membaca ayat: Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati. Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang—QS. al-Baqarah [2] : 159-160. Abu Hurairah ra berkata lagi: “Sesungguhnya saudara-saudara kami dari Muhajirin tersibukkan oleh transaksi di pasar, sementara saudara-saudara kami dari Anshar tersibukkan oleh bekerja di pekerjaan mereka. Sementara Abu Hurairah terus menemani Rasulullah saw agar selalu kenyang perutnya, sehingga ia hadir ketika mereka tidak hadir dan hafal ketika mereka tidak hafal.” (Shahih al-Bukhari bab hifzhil-‘ilm no. 118).
Keterangan dari ‘Umar ra dan Abu Hurairah ra di atas menunjukkan bahwa Nabi saw bisa diakses ilmunya kapan saja. Inilah salah satu bentuk tradisi keilmuan masa awal Islam; tidak dibatasi lembaga pendidikan tertentu dan kegiatan keilmuan bisa berlangsung di mana saja dan oleh siapa saja. Termasuk bagi para pelancong dari daerah jauh luar Madinah, mereka bisa menetap beberapa hari di Madinah untuk menimba ilmu dari Nabi saw, sebelum pulang kembali ke kampung halamannya.
قَالَ مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ أَتَيْنَا النَّبِيَّ ﷺ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا أَوْ قَدْ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لَا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Malik bin Al Huwairits berkata: Kami pernah datang berkunjung kepada Nabi saw ketika masih muda sebaya dan bermukim di Madinah selama dua puluh malam. Rasulullah saw adalah seorang pribadi yang lembut. Maka ketika beliau mengetahui bahwa kami sudah rindu terhadap keluarga kami, beliau bersabda: “Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah bersama mereka, ajari dan suruhlah mereka,” dan beliau menyebut beberapa perkara yang sebagian kami ingat dan sebagiannya tidak, “dan shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika shalat telah tiba, hendaklah salah seorang di antara kalian melakukan adzan dan yang paling tua menjadi imam.” (Shahih al-Bukhari kitab akhbar al-ahad bab ma ja`a fi ijazah khabar al-wahid as-shaduq no. 7246).
Materi kegiatan keilmuan yang utamanya adalah al-Qur`an, sesuai dengan titah Allah swt dalam wahyu pertama, dan itu disesuaikan dengan standar kemampuan masing-masing jama’ah yang mengikuti kegiatan pembelajaran:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قال: كَانَ الرَّجُلُ مِنَّا إِذَا تَعَلَّمَ عَشْرَ آيَاتٍ لَمْ يُجَاوِزْهُنَّ حَتَّى يَعْرِفَ مَعَانِيَهُنَّ وَالْعَمَلَ بِهِنَّ
Dari Ibn Mas’ud ra ia berkata: ”Seseorang dari kami (shahabat) apabila belajar 10 ayat, tidak akan beranjak darinya hingga mengetahui maknanya dan mampu mengamalkannya.” (Riwayat at-Thabari dikutip dari muqaddimah Tafsir Ibn Katsir)
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ جَمَعْتُ الْمُحْكَمَ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقُلْتُ لَهُ وَمَا الْمُحْكَمُ قَالَ الْمُفَصَّلُ
Dari Sa’id ibn Jubair, dari Ibn ‘Abbas ra, ia berkata: “Aku sudah hafal muhkam pada zaman Rasulullah saw.” Aku (Sa’id) bertanya kepadanya: “Apa muhkam itu?” Ibn ‘Abbas ra menjawab: “Mufashshal (surat yang dipisah ayat-ayatnya menjadi ayat-ayat pendek yakni lima juz terakhir al-Qur`an).” (Shahih al-Bukhari bab ta’limis-shibyan al-Qur`an no. 5037).
Catatan: Usia Ibn ‘Abbas ra ketika Nabi saw wafat baru 13 tahun. Artinya anak-anak pun ikut serta dalam kegiatan keilmuan di zaman Nabi saw.
Materi lainnya tentu penjelasan Nabi saw terkait al-Qur`an yakni sunnah. Sebagaimana diceritakan ‘Abdullah ibn ‘Amr ra:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَىْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أُرِيدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنِى قُرَيْشٌ وَقَالُوا أَتَكْتُبُ كُلَّ شَىْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِى الْغَضَبِ وَالرِّضَا فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ فَقَالَ اُكْتُبْ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ
Dari Abdullah ibn ‘Amr ia berkata, aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw, agar aku bisa menghafalnya. Kemudian orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata, “Apakah engkau akan menulis segala sesuatu yang engkau dengar, sementara Rasulullah saw adalah seorang manusia biasa yang berbicara dalam keadaan marah dan senang?” Aku pun tidak menulis lagi, kemudian hal itu aku ceritakan kepada Rasulullah saw. Beliau lalu berisyarat dengan meletakkan jarinya pada mulut, lalu bersabda: “Tulislah, demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, tidaklah keluar darinya (mulut) kecuali kebenaran.” (Sunan Abi Dawud kitab al-‘ilm bab fi kitabatil-‘ilm no. 3648).
Jika Nabi saw sudah menjamin bahwa yang terbaik itu generasi awal Islam, maka seyogianya umat hari ini meneladani mereka dalam kegiatan keilmuannya. Bukan berarti terlarang mengembangkan lembaga pendidikan formal atau kegiatan literasi—tentunya ini harus terus ditingkatkan karena bagian dari pengembangan kegiatan keilmuan juga—akan tetapi harus juga fokus pada pengembangan kegiatan keilmuan di ranah informal; keluarga dan masyarakat umum. Seluruh keluarga dan masyarakat harus menyadari kewajibannya dalam menimba ilmu dan menjadi bagian penting dari kegiatan keilmuan sebagaimana generasi awal Islam. Wal-‘Llahu a’lam


