Sepinya Perayaan Maulid di Mesir

Sepinya Perayaan Maulid di Mesir
Mesir adalah tempat lahirnya tradisi perayaan maulid (kelahiran) Nabi ﷺ sepuluh abad lalu. Dari Mesir ini perayaan maulid kemudian menyebar ke seluruh wilayah Islam. Perayaan maulid di negeri ini selalu lebih ramai dari tempat mana pun. Akan tetapi ada yang aneh dengan perayaan maulid tahun 1447 H/2025 M kali ini. Tidak tampak hiruk pikuk perayaan maulid di wilayah-wilayah Mesir yang kami lalui. Bahkan di dua masjid besar yang biasa menjadi pusat perayaan maulidnya sekalipun; Jami’ al-Azhar as-Syarif dan al-Imam al-Husain.
Tanggal 12 Rabi’ul-Awwal 1447 H bertepatan dengan hari Jum’at, 5 September 2025 M. Kami dari awal sudah menggagendakan shalat Jum’at selama di Mesir akan dilaksanakan di Masjid Jami’ al-Azhar as-Syarif, yang merupakan masjid Universitas al-Azhar. Jadi kedatangan kami ke Masjid Jami’ al-Azhar as-Syarif pada tanggal 12 Rabi’ul-Awwal tentunya untuk shalat Jum’at, bukan untuk turut merayakan maulid. Akan tetapi sejak keluar dari pemukiman di Hayy Sabi’ Nasr City Cairo, di sepanjang perjalanan menuju Masjid Jami’ al-Azhar, keramaian perayaan maulid tidak kami saksikan. Termasuk dari sejak malam Jum’atnya, yang kalau di Indonesia pasti diperingati dan dirayakan sampai di Istana atau masjid Istiqlal.
Tiba di Masjid Jami’ al-Azhar sekitar 1,5 jam menjelang adzan zhuhur, para pengunjung sudah banyak antri untuk masuk ke dalam masjid satu per satu. Sesampainya di dalam masjid kami mengambil foto sebentar lalu melaksanakan shalat intizhar di dalam masjid. Sekitar 40 menit sebelum waktu shalat tiba, dilantunkan bacaan surat al-Kahfi oleh seorang qari. Setelah selesai sampai akhir surat, seorang qari lainnya yang lebih sepuh tampil di depan. Sambil duduk di mimbar menghadap jama’ah Jum’atan ia melantunkan akhir surat at-Thur yang kemudian disambung ke surat an-Najm. Tiba waktu shalat, lantunan al-Qur`an pun dihentikan. Kemudian dikumandangkan adzan pertama, diselingi shalat dua raka’at qabla Jum’at bagi mereka yang melaksanakannya, disambung kemudian dengan adzan kedua.
Dalam khutbahnya, khatib Jum’at menjelaskan keutamaan maulid Nabi saw. Menurutnya berbahagia dengan kelahiran Nabi saw sama dengan berbahagia atas kedatangan cahaya dan risalah dari Allah swt. Khatib mengkritik keras pihak-pihak yang menyatakan peringatan maulid sebagai bid’ah dengan membawa-bawa hadits: “Siapa yang membenci sunnahku maka bukan umatku.” Menurutnya itu sama dengan membenci agama dan sunnah Nabi saw. Sebuah pemahaman keliru yang menular pada da’i-da’i penyokong maulid di Indonesia. Bahkan dalam satu sesi kuliah umum Daurah, seorang Syaikh Darul Ifta Mesir menyampaikan kepada kami bahwa Wahhabiyyah (paham yang menentang perayaan maulid) sebagai sebuah contoh kesesatan yang harus dijauhi oleh generasi muda.
Selesai Jum’atan, kami berkunjung ke masjid al-Imam al-Husain di seberang Masjid Jami’ Al-Azhar. Di masjid ini sedikit keramaian perayaan maulid ditemukan; sekelompok kecil orang-orang berkerumun di masjid dan mendendangkan nazham-nazham shalawat secara bersama-sama dengan suara nyaring. Tetapi hal ini tidak kami saksikan ada di Masjid Jami’ Al-Azhar.
Selebihnya dari itu, keramaian perayaan maulid sebagaimana kami rasakan di Indonesia, khususnya Bandung, tidak kami saksikan. Menurut sebagian mahasiswa Al-Azhar, mungkin itu disebabkan tempat tinggal sementara kami di pusat kota Cairo. Jika menelusuri ke daerah-daerah pinggirannya pasti banyak keramaian. Kami sedikit tidak setuju, karena kami yang tinggal di pusat kota Bandung, merasakan betul keramaian perayaan maulid yang sampai menutup jalan-jalan raya, dengan poster-poster besar untuk mengundang masyarakat turut merayakannya. Suara bising dari masjid-masjid dan tempat perayaan lainnya pun terpaksa dianggap lumrah saja. Hal itu tidak kami temukan di Cairo, Mesir, di sepanjang daerah yang kami saksikan.
Padahal merujuk sejarah awal kelahirannya, perayaan maulid Nabi saw selalu dirayakan di pusat-pusat perkotaan, dan itu semua berawal dari Mesir. Hasan Sandubi, seorang sejarawan Mesir kontemporer dalam kitabnya Tarikhul-Ihtifal bil-Maulidin-Nabawi, minal-‘Asril-Awwal ila ‘Asr Faruqil-Awwal, menyatakan bahwa perayaan maulid berawal pada masa Dinasti Fathimiyyah Syi’ah di Mesir, tepatnya di masa pemerintahan Al-Mu’iz yang memerintah pada tahun 441-465 H/953-975 M. Sementara menurut Jamaluddin ibnul-Ma’mun (w. 1192 M), perayaan Maulid pertama kali dilakukan pada masa Khalifah Badrul-Juyusy al-Amir pada tanggal 13 Rabi’ul Awwal tahun 517 H/1123 M. Sementara Ibnut-Tuwair dalam kitabnya Nuzhatul-Muqlatain fi Akhbarid-Daulatain menyatakan hal yang serupa, namun menegaskan bahwa perayaan maulid dilaksanakan pada setiap 12 Rabi’ul Awwal. Meski ada perbedaan, tetapi ketiganya sepakat bahwa perayaan maulid mulai ada pada masa Dinasti Fathimiyyah Mesir (909-1171 M) yang beraliran Syi’ah atau sekitar lima abad sesudah Nabi saw wafat. Perayaan maulid di masa Dinasti Fathimiyyah merupakan salah satu upaya dari penguasa untuk meraih simpati rakyat yang mayoritas Ahlus-Sunnah (Nico Kaptein, Perayaan Hari lahir Nabi Muhammad SAW, Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1994).
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul-Ma’mun, prosesi maulid yang dipimpin oleh Khalifah Badrul-Juyusy al-Amir, diisi dengan pembagian shadaqah sebanyak 6000 dirham, pembagian manisan, madu, dan roti kepada para pejabat, penjaga makam keramat tokoh Fathimiyyah dan kepada masyarakatnya. Sementara menurut Ibnut-Tuwair, prosesi Maulid Nabi saw dimulai dengan penyiapan sajian berupa manisan, roti dan lainnya bagi para tamu. Setelah shalat Zhuhur, Qadli Utama dan para notaris diperintahkan membagikan makanan yang telah disiapkan. Jalanan dikosongkan untuk iring-iringan undangan. Masyarakat menghentikan aktifitas kesehariannya dan tumpah di istana untuk mengikuti maulid Nabi saw. Dilanjutkan dengan pembacaan al-Qur`an oleh para qari terbaik. Dilanjutkan dengan khutbah dari beberapa imam masjid terkemuka di Mesir, diantaranya: masjid Anwar/al-Hakim, masjid Al-Azhar, masjid al-Qamar. Setiap imam menyampaikan keutamaan hari tersebut karena telah lahir sang penyempurna risalah. Setelah berkhutbah, imam-imam masjid itu mendo’akan sang khalifah di akhir setiap khutbahnya.
Di kalangan Sunni sendiri, perayaan maulid tercatat pertama kali diselenggarakan oleh Nuruddin Zengi (511-569 H/1118-1174 M) di Suriah. Tidak diragukan lagi adanya kaitan perayaan maulid dinasti Fathimiyyah dan perayaan maulid di kaum Sunni disebabkan hubungan Mesir dan Suriah yang intensif sebagai jalur perdagangan, sehingga kebiasaan dinasti Fathimiyyah dalam merayakan maulid di Mesir, juga diketahui masyarakat di Suriah. Dari sejak saat itu, mulailah para penguasa Sunni lainnya turut merayakan maulid Nabi saw di daerah tempat mereka berkuasa.
Gambaran umum mengenai prosesi perayaan maulid di kalangan Sunni pada masa itu, sebagaimana disimpulkan oleh Nico Kaptein adalah: (1) Suasana yang meriah saat penerimaan tamu dan ketika syair-syair dideklamasikan. (2) Pesta maulid yang diikuti oleh penguasa, golongan sufi, dan rakyat. (3) Pelaksanaan maulid tidak seragam, yang pasti perayaan selalu dalam bulan Rabi’ul Awwal dan tanggal pelaksanaan berbeda-beda, termasuk waktu dan lamanya perayaan tidak sama. (4) Sebuah unsur penting dalam setiap perayaan maulid adalah hadirnya banyak tamu yang terdiri dari penyair, pejabat, ulama, dan rakyat. Kehadiran mereka menunjukkan sebuah kesetiaan dan penghormatan terhadap tuan rumah penyelenggara maulid. (5) Dalam perayaan maulid dinasti Fathimiyyah, ditampakkan hubungan yang kuat antara penguasa dengan ahlul-bait (keluarga Nabi saw). Dalam perayaan maulid Sunni, hal seperti ini tidak tampak. (6) Dibagikannya hadiah kepada setiap tamu yang hadir, dengan jumlah, jenis dan ukuran yang disesuaikan dengan strata sosial para tamu. Hal ini menunjukkan bahwa perayaan maulid memiliki fungsi sosial dan politik yang sangat berperan penting bagi penguasa pada zamannya.
Dalam pengamatan kami, kemungkinan ada tiga faktor penyebab sepinya perayaan maulid di Mesir ini: Pertama, mungkin masyarakat Mesir sudah memahami esensi dari perayaan maulid Nabi saw ini, yakni mencintai sunnahnya dan menghidupkannya dalam keseharian, bukan terjebak pada seremonial belaka yang terkesan mubadzir, sementara pemahaman dan pengamalan terhadap sunnah tetap saja minim. Kedua, mungkin masyarakat Mesir sudah cenderung sekular, abai dari simbol-simbol agama karena lebih mementingkan kehidupan dunia. Hidup mereka sudah tersibukkan oleh mengejar kesenangan dunia sehingga tidak peduli lagi dengan segenap seremonial keagamaan. Ketiga, mungkin ada pembatasan kegiatan keagamaan oleh Pemerintah Mesir. Untuk kemungkinan ketiga ini tentunya kami harus membatasi diri karena status kami di Mesir hanya sebatas turis.
Kemungkinan pertama sangat mungkin terjadi, mengingat di Mesir ada Universitas Al-Azhar yang merupakan universitas tertua di dunia dan menjadi induk bagi seluruh Perguruan Tinggi Islam di dunia. Ulama-ulama besar dari sejak era Imam as-Syafi’i hingga Ibn Hajar al-‘Asqalani dan terus sampai Syaikh Yusuf al-Qaradlawi hidup dan mengabdi di Mesir. Mesir juga merupakan pusat pergerakan Islam di dunia. Ikhwanul-Muslimin adalah salah satu motor penggerak gerakan-gerakan Islam di dunia. Sebut misalnya HAMAS di Palestina, HTI di Suriah dan Yordania, atau Partai Islam terbesar di Indonesia, PKS, semuanya tergerakkan oleh gerakan awal Ikhwanul-Muslimin di Mesir. Maka sangat dimungkinkan jika kemudian masyarakatnya—meskipun masih tetap mengistimewakan peringatan maulid Nabi saw sebagaimana tercermin dari ceramah Khatib Jum’at di Masjid Jami’ Al-Azhar as-Syarif—mereka sudah tercerahkan untuk tidak terjebak pada perayaan berlebihan dengan melupakan esensinya.
Kemungkinan kedua, ini menimpa hampir mayoritas negara berpenduduk mayoritas muslim. Masjid-masjid sudah banyak ditinggalkan dari kegiatan shalat berjama’ah atau bermajelis ilmu. Meski masih ada yang mengisinya, tetapi belum sebanyak ketika pelaksanaan shalat Jum’at. Kaum perempuannya pun banyak yang tidak berpakaian menutup aurat. Dampaknya perhatian mereka untuk menghadirkan syari’at Islam dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya sudah sangat berkurang bahkan nyaris tidak ada. Kegiatan seremonial agama yang sepi salah satu dampaknya saja. Hal ini menunjukkan tugas dakwah kaum muslimin di hampir seluruh negara yang berpenduduk mayoritas muslim masih berat. Tentunya bukan untuk memeriahkan lagi perayaan maulid, melainkan untuk menghadirkan Islam dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya, sesuai tuntunan sunnah Nabi saw.
Terakhir, bagi kami yang tidak setuju perayaan maulid, tentunya fakta ini harus mendorong kami untuk menyisakan sedikit toleransi. Sekelas ulama-ulama Al-Azhar pun begitu memuliakan peringatan maulid Nabi saw. Sebagaimana sudah pernah kami tulis juga di bulletin/website ini, sekelas Imam as-Suyuthi dan al-Hafizh Ibn Hajar juga mendukung peringatan maulid Nabi saw ini. Tentunya sebatas toleransi saja, tidak sampai membenarkan perayaan dan peringatan yang nyata-nyata bid’ahnya ini. Wal-‘Llahu a’lam.


