Perbedaan Ijtihad Shahabat Tidak Dipersalahkan Nabi ﷺ

Perbedaan ijtihad sudah terjadi sejak zaman Nabi ﷺ hidup. Nabi ﷺ adakalanya memberikan arahan mana pilihan yang seharusnya, tetapi adakalanya juga membiarkannya tanpa memberikan arahan mana yang terbaik. Satu hal yang pasti, Nabi ﷺ tidak pernah mempemasalahkan perbedaan ijtihad di kalangan shahabat, tentunya sepanjang berdasar pada ilmu. Jika tidak ada dasar ilmunya, Nabi ﷺ sebagaimana halnya al-Qur`an sangat mempermasalahkannya.
Salah satu contoh perbedaan ijtihad (usaha keras mencurahkan ilmu untuk mengambil satu keputusan hukum) para shahabat yang terkenal adalah terkait instruksi Nabi saw pada perang Khandaq agar jangan ada yang shalat ‘ashar hingga sampai di Bani Quraizhah. Shahabat Ibn ‘Umar ra meriwayatkan:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ يَوْمَ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمْ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ ﷺ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Dari Ibn ‘Umar ra, ia berkata: Nabi saw bersabda pada perang Ahzab (Khandaq): “Jangan ada seorang pun yang shalat ‘ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Lalu sebagian pasukan sampai waktu ‘Ashar di jalan (sebelum sampai Bani Quraizhah). Maka sebagian mereka berkata: “Kami tidak akan shalat sampai datang di Bani Quraizhah.” Sebagian yang lain berkata: “Justru kita shalat sekarang. Beliau tidak menghendaki hal itu (shalat lewat waktunya) dari kita.” Setelah itu dilaporkan kepada Nabi saw, tetapi beliau tidak menyalahkan seorang pun dari mereka (Shahih al-Bukhari kitab manaqib al-Anshar bab marja’in-Nabi saw minal-Ahzab no. 4119).
Pada bagian awal bab marja’in-Nabi saw minal-Ahzab (kepulangan Nabi saw dari perang Ahzab), Imam al-Bukhari menuliskan hadits sebagai keterangan penjelasnya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمَّا رَجَعَ النَّبِيُّ ﷺ مِنْ الْخَنْدَقِ وَوَضَعَ السِّلَاحَ وَاغْتَسَلَ أَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ قَدْ وَضَعْتَ السِّلَاحَ وَاللَّهِ مَا وَضَعْنَاهُ فَاخْرُجْ إِلَيْهِمْ قَالَ فَإِلَى أَيْنَ قَالَ هَا هُنَا وَأَشَارَ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ ﷺ إِلَيْهِمْ
Dari ‘Aisyah ra ia berkata: Ketika Nabi saw pulang dari Khandaq dan menyimpan perlengkapan perangnya lalu mandi, Jibril as datang kepada beliau dan berkata: “Anda sudah menyimpan perlengkapan perang? Demi Allah, kami belum menyimpannya. Keluarlah menuju mereka.” Beliau bertanya: “Ke mana?” Jibril menjawab: “Ke sana,” sambil menunjuk ke arah Bani Quraizhah. Nabi saw pun kemudian keluar menuju Bani Quraizhah (Shahih al-Bukhari kitab manaqib al-Anshar bab marja’in-Nabi saw minal-Ahzab no. 4117).
Akan tetapi hadits Ibn ‘Umar ra di atas dalam riwayat Muslim ada perbedaan redaksi, yakni Nabi saw menyebutkannya shalat zhuhur, bukan shalat ‘ashar:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَادَى فِينَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَوْمَ انْصَرَفَ عَنِ الأَحْزَابِ أَنْ لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الظُّهْرَ إِلاَّ فِى بَنِى قُرَيْظَةَ. فَتَخَوَّفَ نَاسٌ فَوْتَ الْوَقْتِ فَصَلُّوا دُونَ بَنِى قُرَيْظَةَ. وَقَالَ آخَرُونَ لاَ نُصَلِّى إِلاَّ حَيْثُ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَإِنْ فَاتَنَا الْوَقْتُ قَالَ فَمَا عَنَّفَ وَاحِدًا مِنَ الْفَرِيقَيْنِ
Dari ‘Abdullah (ibn ‘Umar) ia berkata: Rasulullah saw menyeru pada hari kepulangan dari perang Ahzab: “Jangan ada seorang pun yang shalat zhuhur kecuali di Bani Quraizhah.” Maka sebagian orang takut habis waktu sehingga mereka shalat sebelum sampai Bani Quraizhah. Sebagian lain berkata: “Kami tidak akan shalat kecuali di tempat yang diperintahkan Rasulullah saw kepada kami meskipun waktunya sudah terlewat dari kami.” Maka ternyata beliau tidak menyalahkan satu pun dari dua kelompok tersebut (Shahih Muslim bab man lazimahu amr fa dakhala ‘alaihi amr akhar no. 4701).
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitab Syarah Shahih Muslim, kemungkinan Nabi saw menyabdakannya dua kali. Bagi yang belum sempat shalat zhuhur, Nabi saw memerintahkan agar shalat zhuhurnya sekalian di Bani Quraizhah. Kepada yang belum shalat ‘ashar, maka shalat ‘asharnya di Bani Quraizhah juga (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab al-mubadarah bil-ghazw wa taqdim ahammil-amrainin-muta’aridlain)..
Terkait perbedaan ijtihad para shahabat di atas, Imam an-Nawawi juga menjelaskan:
وَأَمَّا اِخْتِلَاف الصَّحَابَة فِي الْمُبَادَرَة بِالصَّلَاةِ عِنْد ضِيق وَقْتهَا وَتَأْخِيرهَا، فَسَبَبه أَنَّ أَدِلَّة الشَّرْع تَعَارَضَتْ عِنْدهمْ بِأَنَّ الصَّلَاة مَأْمُور بِهَا فِي الْوَقْت، مَعَ أَنَّ الْمَفْهُوم مِنْ قَوْل النَّبِيّ ﷺ : ( لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَد الظُّهْر أَوْ الْعَصْر إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَة ) الْمُبَادَرَة بِالذَّهَابِ إِلَيْهِمْ وَأَلَّا يُشْتَغَل عَنْهُ بِشَيْءٍ لَا أَنَّ تَأْخِير الصَّلَاة مَقْصُود فِي نَفْسه مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ تَأْخِير. فَأَخَذَ بَعْض الصَّحَابَة بِهَذَا الْمَفْهُوم نَظَرًا إِلَى الْمَعْنَى لَا إِلَى اللَّفْظ فَصَلَّوْا حِين خَافُوا فَوْت الْوَقْت، وَأَخَذَ آخَرُونَ بِظَاهِرِ اللَّفْظ وَحَقِيقَته فَأَخَّرُوهَا، وَلَمْ يُعَنِّف النَّبِيّ ﷺ وَاحِدًا مِنَ الْفَرِيقَيْنِ لِأَنَّهُمْ مُجْتَهِدُونَ، فَفِيهِ: دَلَالَة لِمَنْ يَقُول بِالْمَفْهُومِ وَالْقِيَاس وَمُرَاعَاة الْمَعْنَى، وَلِمَنْ يَقُول بِالظَّاهِرِ أَيْضًا
Perbedaan pilihan shahabat ra dalam hal mendahulukan shalat ketika waktunya hampir habis dan mengakhirkannya, maka itu disebabkan dalil-dalil syari’at menurut mereka bertentangan. Di satu sisi shalat diperintahkan untuk diamalkan pada waktunya, di samping itu pemahaman dari sabda Nabi saw: “Jangan ada seorang pun yang shalat zhuhur atau ‘ashar kecuali di Bani Quraizhah,” adalah segera pergi ke Bani Quraizhah dan jangan disibukkan oleh kegiatan apapun, bukan mengakhirkan shalat sebagai maksud yang sebenarnya sehingga harus diakhirkan. Maka sebagian shahabat berpegang pada mafhum (pemahaman kontekstual) dengan melihat makna, dan tidak pada lafazh, sehingga mereka shalat ketika takut terlewat waktunya. Sementara sebagian lainnya berpegang pada zhahirnya lafazh dan makna hakikatnya, sehingga mereka mengakhirkan shalat. Nabi saw tidak menyalahkan satu pun dari dua kelompok itu karena mereka sama-sama berijtihad. Hadits ini menjadi dalil bagi pihak yang berpegang pada mafhum, qiyas (analogi perbandingan), dan mendahulukan makna. Demikian juga menjadi dalil bagi yang berpegang pada zhahirnya teks.
Imam an-Nawawi menjelaskan lebih lanjut:
وَفِيهِ: أَنَّهُ لَا يُعَنَّف الْمُجْتَهِد فِيمَا فَعَلَهُ بِاجْتِهَادِهِ إِذَا بَذَلَ وُسْعه فِي الِاجْتِهَاد، وَقَدْ يُسْتَدَلّ بِهِ عَلَى أَنَّ كُلّ مُجْتَهِد مُصِيب، وَلِلْقَائِلِ الْآخَر أَنْ يَقُول لَمْ يُصَرِّح بِإِصَابَةِ الطَّائِفَتَيْنِ بَلْ تَرَكَ تَعْنِيفهمْ، وَلَا خِلَاف فِي تَرْك تَعْنِيف الْمُجْتَهِد وَإِنْ أَخْطَأَ إِذَا بَذَلَ وُسْعه فِي الِاجْتِهَاد. وَاَللَّه أَعْلَم
Hadits ini juga mengandung pelajaran bahwa seseorang yang ijtihad tidak boleh dipersalahkan apa yang ia lakukan berdasarkan ijtihadnya apabila ia sudah mencurahkan segenap kemampuannya dalam ijtihad. Hadits ini dijadikan dalil juga bahwa setiap mujtahid ada benarnya. Demikian juga dalil bagi kelompok lain yang mengatakan tidak boleh menegaskan benar kedua-duanya melainkan sebatas jangan menyalahkan mereka. Memang tidak ada perselisihan dalam hal tidak boleh menyalahkan mujtahid meskipun ia keliru, sepanjang ia sudah mencurahkan segenap kemampuannya dalam ijtihad. Wal-‘Llahu a’lam (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab al-mubadarah bil-ghazw wa taqdim ahammil-amrainin-muta’aridlain).
Penegasan Imam an-Nawawi bahwa “tidak ada perselisihan dalam hal tidak boleh menyalahkan mujtahid meskipun ia keliru” merujuk pada sabda Nabi saw yang menyatakan bahwa mujtahid pasti mendapatkan pahala meski keliru dan tidak akan ada yang berdosa:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
Apabila seorang hakim memutuskan perkara dan ia berijtihad, maka jika ia benar dapat dua pahala, dan jika ia memutuskan keliru maka dapat satu pahala (Sunan at-Tirmidzi kitab al-ahkam bab al-qadli yushibu wa yukhthi`u no. 1326).
Nabi saw sendiri, sebagaimana diinformasikan oleh Jabir ibn ‘Abdillah ra, ternyata shalat ‘asharnya sesudah masuk waktu maghrib.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ جَاءَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ بَعْدَ مَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي الْعَصْرَ حَتَّى كَادَتْ الشَّمْسُ تَغْرُبُ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ فَتَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا فَصَلَّى الْعَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا الْمَغْرِبَ
Dari Jabir ibn ‘Abdillah: ‘Umar ibn al-Khaththab sungguh datang pada hari perang Khandaq setelah terbenam matahari dengan mengumpat kaum kafir Quraisy. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku hampir tidak bisa shalat ‘ashar hingga matahari hampir terbenam.” Nabi saw bersabda: “Demi Allah, aku juga belum sempat melaksanakannya (shalat ‘ashar).” Maka kami berdiri mengarah ke Buthhan (satu lembah di Madinah). Beliau berwudlu untuk shalat dan kami pun berwudlu. Beliau kemudian shalat ‘ashar setelah terbenam matahari, kemudian shalat maghrib sesudahnya (Shahih al-Bukhari bab man shalla bin-nas jama’atan ba’da dzahabil-waqt no. 596).
Sebagaimana terbaca jelas dalam tarjamah (judul bab) yang ditulis Imam al-Bukhari di atas: Bab man shalla bin-nas jama’atan ba’da dzahabil-waqt; orang yang shalat mengimami orang-orang secara berjama’ah sesudah habis waktunya. Artinya dalam keadaan darurat, shalat boleh diamalkan sesudah habis waktunya dan dengan berjama’ah pula. Wal-‘Llahu a’lam