Jika Orang Kaya Hampa Ilmu

Jika Orang Kaya Hampa Ilmu
Hidupnya disibukkan dengan melunasi utang bukan sibuk shadaqah. Semangatnya hanya untuk menambah aset duniawi bukan aset wakaf. Hartanya dipinjamkan kepada orang kaya melalui simpanan di bank, bukan dipinjamkan kepada faqir miskin. Uangnya diinvestasikan dalam simpanan emas, bukan disalurkan untuk menggerakkan perekonomian masyarakat. Hatinya selalu bersikukuh meyakini bahwa semua kekayaannya itu hasil kerja kerasnya sendiri, bukan anugerah Allah ﷻ. Maka Allah ﷻ tidak pernah ada dalam pertimbangan pengelolaan aset kekayaannya, cukup dalam shalat dan wirid saja. Titik.
Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi saw menegaskan pentingnya ilmu; membaca, belajar, dan mengajarkan ilmu. Nilai kemuliaan itu sendiri (al-Akram) letaknya di ilmu (‘allama bil-qalam; berbagi ilmu melalui tulisan). Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab Tafsirnya mengaitkannya dengan awal penciptaan manusia. Maksudnya, wahyu pertama ini mengingatkan penciptaan manusia yang pertama. Saat itu Allah swt menegaskan kemuliaan Adam as di atas semua malaikat dan jin karena ilmunya yang lebih tinggi di atas malaikat dan jin, sehingga mereka semua disuruh Allah swt untuk sujud kepada Adam as. Jadi letak kemuliaan itu ada pada ilmu.
Iblis kemudian menjadi makhluk pertama yang dilaknat seumur hidupnya karena mengingkari kemuliaan Adam as dengan ilmunya. Ia malah merasa dirinya lebih mulia daripada Adam as karena pertimbangan materi awal penciptaannya dari api, sedangkan Adam as dari tanah. Allah swt kemudian memaklumatkan bahwa Iblis dan setan yang menjadi pengikutnya akan berstatus musuh Adam as dan pengikutnya di dunia sampai hari kiamat. Nilai-nilai kemuliaan yang berdasar pada ilmu akan selalu ditentang oleh Iblis dan setan yang berkeyakinan nilai mulia itu ada pada materi. Dalam hal ini Allah swt sudah mempersilahkan Iblis:
قَالَ ٱذۡهَبۡ فَمَن تَبِعَكَ مِنۡهُمۡ فَإِنَّ جَهَنَّمَ جَزَآؤُكُمۡ جَزَآءٗ مَّوۡفُورٗا ٦٣ وَٱسۡتَفۡزِزۡ مَنِ ٱسۡتَطَعۡتَ مِنۡهُم بِصَوۡتِكَ وَأَجۡلِبۡ عَلَيۡهِم بِخَيۡلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِ وَعِدۡهُمۡۚ وَمَا يَعِدُهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ إِلَّا غُرُورًا ٦٤ إِنَّ عِبَادِي لَيۡسَ لَكَ عَلَيۡهِمۡ سُلۡطَٰنٞۚ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ وَكِيلٗا ٦٥
Allah swt berfirman: “Pergilah, barang siapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka sesungguhnya neraka Jahannam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup. Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabbmu sebagai Penjaga” (QS. al-Isra` [17] : 63-65).
Firman Allah swt: “…berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka…” merupakan senjata pamungkas Iblis dan setan dalam menggelincirkan manusia. Maka dipastikan semua orang yang tergelincir oleh godaan setan itu disebabkan harta dan keluarga. Pertimbangan harta dan keluarga selalu mengalahkan pertimbangan ilmu. Akibatnya manusia lupa bahwa kemuliaannya dari sejak awal diciptakan terletak pada ilmu, bukan pada banyaknya harta dan mewahnya keluarga.
Dalam konteks ini, Nabi saw sudah mengingatkan bahwa kekayaan seseorang jadi mulia karena disertai ilmu. Jika tanpa ilmu, kekayaan itu hanya akan bertambah dan kemudian habis tanpa ada bekas pahala yang signifikan. Yang tersisa hanya laknat dari orang-orang shalih dan masyarakat miskin, sebagaimana laknat untuk Qarun.
إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ، عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ المَنَازِلِ،
“Dunia itu milik empat orang: (1) Hamba yang Allah beri rizki harta dan ilmu, maka ia bertaqwa kepada Rabbnya dengan hartanya, menyambungkan kebaikan kepada kerabat dengannya, dan mengetahui hak Allah dalam harta tersebut. Maka ini kedudukan yang paling mulia.
وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ،
(2) Hamba yang Allah beri rizki ilmu tetapi tidak diberi rizki harta, maka ia berniat dengan benar berkata: ‘Seandainya aku memiliki harta pasti akan beramal seperti amal orang itu.’ Maka ia dengan niatnya mendapatkan pahala yang sama.
وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ المَنَازِلِ،
(3) Hamba yang Allah beri rizki harta tetapi tidak diberi rizki ilmu. Maka ia mengelola hartanya tanpa ilmu; tidak bertaqwa kepada Rabbnya dengan hartanya, tidak menyambungkan kebaikan kepada kerabat dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah dalam harta tersebut. Maka ini kedudukan yang paling hina.
وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
(4) Hamba yang Allah beri rizki harta tetapi tidak diberi rizki ilmu, maka ia berniat dengan benar berkata: ‘Seandainya aku memiliki harta pasti akan beramal seperti amal orang itu.’ Maka ia dengan niatnya mendapatkan dosa yang sama.” (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a matsalud-dunya matsal arba’ah nafar no. 2325. Imam at-Tirmidzi berkata: “Ini adalah hadits hasan shahih.”)
Hadits di atas mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang bukan terletak pada hartanya, melainkan pada ilmunya. Mau kaya atau miskin, asalkan ada ilmu, kedua-duanya dimuliakan Allah swt dan disamakan pahalanya—meski tentu tidak persis sama secara presisi. Sebaliknya, mau kaya atau miskin, jika tidak ada ilmu, kedua-duanya hina dan rendah dan disamakan dosanya—meski tentu tidak persis sama secara presisi.
Imam al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul-Ahwadzi menjelaskan:
(فَهُوَ يَتَّقِي رَبَّهُ فِيهِ) أَيْ فِي الْإِنْفَاقِ مِنْ الْمَالِ وَالْعِلْمِ (وَيَصِلُ بِهِ رَحِمَهُ) أَيْ بِالصِّلَةِ مِنْ الْمَالِ وَبِالْإِسْعَافِ بِجَاهِ الْعِلْمِ (وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا) مِنْ وَقْفٍ وَإِقْرَاءٍ وَإِفْتَاءٍ وَتَدْرِيسٍ
(Maka ia bertaqwa kepada Rabbnya dengan hartanya) yaitu berinfaq dengan harta dan ilmu (menyambungkan kebaikan kepada kerabat dengannya) yaitu menyambungkan kebaikan dengan harta dan menolong dengan pengaruh ilmu (dan mengetahui hak Allah dalam harta tersebut) yaitu berupa wakaf, mendidik, memberi fatwa, dan mengajar.
( يَخْبِطُ فِي مَالِهِ ) أَيْ يَصْرِفُهُ فِي شَهَوَاتِ نَفْسِهِ ( بِغَيْرِ عِلْمٍ ) بَلْ بِمُقْتَضَى نَفْسِهِ . قَالَ الْقَارِي : أَيْ بِغَيْرِ اِسْتِعْمَالِ عِلْمٍ بِأَنْ يُمْسِكَ تَارَةً حِرْصًا وَحُبًّا لِلدُّنْيَا ، وَيُنْفِقَ أُخْرَى لِلسُّمْعَةِ وَالرِّيَاءِ وَالْفَخْرِ وَالْخُيَلَاءِ ( لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ ) أَيْ لِعَدَمِ عِلْمِهِ فِي أَخْذِهِ وَصَرْفِهِ ( وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ ) أَيْ لِقِلَّةِ رَحْمَتِهِ وَعَدَمِ حِلْمِهِ وَكَثْرَةِ حِرْصِهِ وَبُخْلِهِ
(Maka ia mengelola hartanya) yakni mengelolanya sesuai nafsu syahwatnya (tanpa ilmu) hanya berdasar tuntutan nafsunya. Imam al-Qari berkata: Yaitu tidak menggunakan ilmu. Terkadang menahannya dengan rakus dan gila dunia, dan terkadang menyalurkannya dengan sum’ah, riya, berbangga diri, dan sombong (tidak bertaqwa kepada Rabbnya dengan hartanya) karena ketiadaan ilmu dalam memperoleh dan menyalurkannya (tidak menyambungkan kebaikan kepada kerabat dengannya) karena minimnya kasih sayang dan tidak adanya kelembutan hati, akibat sangat rakus dan bakhil.
Orang-orang kaya yang hampa ilmu itu setiap harinya hanya disibukkan dengan membayar cicilan utangnya sehingga mengabaikan shadaqah. Utangnya itu sendiri disebabkan kerakusannya untuk memperbanyak aset kekayaannya bukan karena terdesak kebutuhan pokok seperti tidak memiliki beras untuk makan, tidak punya rumah untuk ditinggali, tidak punya kendaraan untuk dipakai bekerja, dan semacamnya. Melainkan karena nafsu ingin menambah aset rumahnya, perusahaannya, emasnya, tanahnya, lahan kebunnya, ladang sawahnya, dan aset kendaraannya. Nafsu itu tidak ada hentinya sama sekali karena hampa ilmu bahwa yang menjadi harta itu bukan aset-aset yang dimiliki, tetapi aset-aset yang diwakafkan, dishadaqahkan, dan digunakan untuk menggerakkan perekonomian masyarakat menengah ke bawah. Aset-aset harta yang dimiliki memang menambah hartanya, tetapi sekaligus juga mempertegas banyak dosanya. Semakin bertambah hartanya, semakin bertambah dosanya, karena di dalamnya ada banyak hak fi sabilillah yang ditahan olehnya dan ada banyak kaum menengah ke bawah yang ditahan olehnya.
Pemahamannya yang dangkal dalam menyelamatkan hartanya hanya terbatas pada menabungnya di bank. Padahal menabung di bank itu pada hakikatnya memberikan pinjaman kepada bank untuk menjalankan usaha keuangannya. Jadinya ia meminjamkan kepada orang-orang kaya. Padahal masih banyak orang-orang miskin dan menengah yang membutuhkan pinjaman untuk menyempurnakan kebutuhan pokoknya atau menjalankan usahanya. Dengan demikian nyata zhalimnya, karena uang berlebih yang dimiliki malah dipinjamkan kepada orang kaya, bukan dipinjamkan kepada orang-orang miskin dan menengah. Dalih yang sering dikemukakan karena menabung di bank lebih aman dan bisa kapan saja diambil. Padahal nyatanya di bank banyak juga kredit macet, hanya saja simpanannya dijamin oleh Pemerintah. Padahal juga menabung dalam bentuk pinjaman untuk kalangan menengah ke bawah penjaminnya adalah Allah swt. Ajaran Nabi saw: “Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong sesama saudaranya,” tidak ada sama sekali dalam pikirannya saking bodohnya dari ilmu.
Orang-orang kaya bodoh ini cerminan generasi pelanjut Qarun karena mereka meyakini kekayaannya itu hasil kerja kerasnya sendiri, bukan anugerah Allah swt. Akibatnya Allah swt tidak pernah ada dalam pertimbangan pengelolaan kekayaannya. Dari sejak dahulu orang-orang seperti ini pasti berakhir dengan kebinasaan:
قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمٍ عِندِيٓۚ أَوَ لَمۡ يَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ قَدۡ أَهۡلَكَ مِن مِن قَبۡلِهِۦ مِنَ ٱلۡقُرُونِ مَنۡ هُوَ أَشَدُّ مِنۡهُ قُوَّةٗ وَأَكۡثَرُ جَمۡعٗاۚ … ٧٨
Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta? (QS. al-Qashash [28] : 78)
Wal-‘Llahul-Musta’an.



