Hukum Mengambil Keuntungan Pribadi dari Proyek

Hukum Mengambil Keuntungan Pribadi dari Proyek
Saya bekerja di penjual nasi (selanjutnya saya sebut Warung). Tugas saya mengantar pesanan ke pemesan. Saya tidak mendapat gaji bulanan. Upah yang saya dapatkan hanya dari ongkos kirim tiap pesanan. Kendaraan yang digunakan untuk mengantar adalah milik saya. Pihak Warung tidak ikut campur soal itu (bensin dll). Kadang saya juga disuruh belanja bahan (minyak, bumbu, dll). Tiap belanja, saya dibekali sejumlah uang pas sesuai belanjaan yang akan dibeli. Hitungan harga mengacu kepada harga dari pembelian sebelumnya. Bila ada turun harga, selisih uang saya kembalikan. Dan bila ada kenaikan, saya talangi dulu dan uang saya diganti.
Seiring waktu, ketika belanja kebutuhan Warung, saya negosiasi dengan para penjual agar memberikan potongan harga. Pertanyaannya, selisih uang karena potongan harga yang diberikan penjual, bolehkah menjadi milik saya (karena saya yang belanja dan saya yang menawar) ataukah harus dikembalikan kepada pemilik Warung yang memerintahkan saya untuk belanja? Demikian. Jazaakumullah Khayr. Wa baaralallahu fiikum. 0813-1942-xxxx
Selisih uang tersebut murni menjadi hak anda karena merupakan hasil usaha anda sebagai wakil. Pemilik warung yang menjadi majikan anda (muwakkil) tidak akan mendapatkan rugi apapun dari keuntungan yang anda peroleh. Jadi hukumnya halal.
Dikecualikan jika anda merugikan pemilik warung seperti mengurangi kualitas barang belanjaannya demi mendapatkan keuntungan pribadi. Maka yang seperti ini termasuk penggelapan (ghulul) atau mirip dengan penggelembungan harga. Dalam bahasa kontemporernya korupsi, dan hukumnya pasti haram. Ini adalah model korupsi yang banyak dilakukan para pejabat, seperti dalam pengadaan chromebook, e-ktp, dan tambahan kuota haji. Harganya melambung tetapi kualitasnya tidak sebanding harganya.
Model menarik keuntungan pribadi seperti yang anda tanyakan pernah dilakukan oleh ‘Urwah al-Bariqi ra, dan Nabi saw ternyata tidak menyalahkannya, malah mendo’akan keberkahan untuknya.
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ الْبَارِقِىِّ قَالَ: عَرَضَ لِلنَّبِيِّ ﷺ جَلَبٌ، فَأَعْطَانِي دِينَارًا، فَقَالَ: أَيْ عُرْوَةُ ائْتِ الْجَلَبَ فَاشْتَرِ لَنَا شَاةً، قَالَ: فَأَتَيْتُ الْجَلَبَ فَسَاوَمْتُ صَاحِبَهُ فَاشْتَرَيْتُ مِنْهُ شَاتَيْنِ بِدِينَارٍ فَجِئْتُ أَسُوقُهُمَا، أَوْ قَالَ: أَقُودُهُمَا، فَلَقِيَنِي رَجُلٌ فَسَاوَمَنِي فَأَبِيعُهُ شَاةً بِدِينَارٍ، فَجِئْتُ بِالدِّينَارِ وَجِئْتُ بِالشَّاةِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَذَا دِينَارُكُمْ وَهَذِهِ شَاتُكُمْ قَالَ: وَصَنَعْتَ كَيْفَ؟ فَحَدَّثْتُهُ الْحَدِيثَ، فَقَالَ: اللهُمَّ بَارِكْ لَهُ فِي صَفْقِ يَمِينِهِ
Dari ‘Urwah ibn Abil-Ja’d al-Bariqi: Datang ke hadapan Nabi saw serombongan pedagang. Beliau lalu memberiku 1 dinar dan bersabda: “Hai ‘Urwah, datangi rombongan pedagang itu dan belikan untuk kami satu ekor kambing.” Ia berkata: Aku lalu mendatangi rombongan pedagang itu dan menawar kepada salah seorangnya sehingga aku bisa membeli dua ekor kambing dengan satu dinar. Lalu aku pulang menuntun dua ekor kambing tersebut. Di perjalanan seseorang menemuiku dan menawar, aku pun berikan kepadanya satu ekor kambing dengan harga 1 dinar. Sehingga aku pulang bawa satu dinar dan seekor kambing. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, ini dinar anda dan ini kambing anda.” Beliau bertanya: “Bagaimana bisa kamu seperti itu?” Aku pun menceritakannya. Beliau lalu bersabda: “Ya Allah berikanlah berkah untuknya dalam jabatan tangan kanannya (transaksi).” (Musnad Ahmad bab hadits ‘Urwah ibn Abil-Ja’d no. 19367).
Dalam hal apakah keuntungan dari tawar menawar yang dilakukan wakil (pesuruh/pekerja) itu adalah hak milik muwakkil (majikan)-nya ataukah milik wakil-nya, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Hemat kami, berpegang pada prinsip la dlarara wa la dlirara (tidak boleh ada madlarat dan menimbulkan madlarat), maka keuntungan itu berhak menjadi milik wakil-nya karena tidak ada dampak dlarar dan dlirar bagi siapa pun. Faktanya Nabi saw mendo’akan berkah dalam transaksi yang dilakukan ‘Urwah ra tersebut. Inisiatif ‘Urwah ra yang mengembalikan keuntungan kepada Nabi saw dinilai oleh sebagian ulama sebagai shadaqah saja darinya untuk Nabi saw. Maka dari itu tetap dianjurkan untuk memberitahukannya kepada muwakkil agar tidak ada syubhat (rujuk Subulus-Salam, ‘Aunul-Ma’bud, Tuhfatul-Ahwadzi). Wal-‘Llahu a’lam.



