Bahagia karena Qana’ah

Konon di zaman modern ini seseorang tidak mungkin lepas dari transaksi riba, kredit bank, leasing, asuransi, dan transaksi-transaksi haram lainnya. Sebab kebahagiaan hidup semuanya tidak lepas dari transaksi-transaksi tersebut. Tidak mungkin seseorang bahagia jika tidak punya rumah, kendaraan, gadget/barang elektronik, tabungan bank, deposito dan jaminan kesehatan, kecelakaan, pensiun/hari tua, dan kematian. Padahal Islam sudah dari sejak awal mengajarkan bahwa kebahagiaan berawal dari qana’ah (merasa cukup dengan yang halal). Tanpa qana’ah justru hidup selamanya tidak akan barakah.
Harus diakui bahwa perkembangan zaman yang semakin modern telah mengikis nilai-nilai ruhani dari jiwa setiap muslim; termasuk mereka yang menjadi ahli pengajian sekali pun. Kebahagiaan hidup standarnya sudah bukan lagi “ketenteraman hati”, melainkan seberapa banyak materi yang dimiliki. Maka hidup pun sudah tidak lagi melihat kepada orang yang lebih bawah, melainkan selalu melihat kepada orang yang lebih atas.
Ketika orang-orang lain memiliki rumah, maka timbul dalam benak ini, “Saya pun harus memiliki rumah. Masak, orang lain punya rumah, sementara saya tidak punya.” Jalan pintas pun kemudian ditempuh, mengajukan kredit ke bank yang sudah pasti riba. Sehingga tanpa sadar salah satu aspek “ketenteraman hati”-nya ia labrak, maka ia pun tidak akan lagi mendapatkannya selama-lamanya. Tidak mungkin ada barakah dan ketenteraman jiwa jika hidup bergelimangan dengan riba.
Padahal kalau menyempatkan diri “berdzikir” sejenak: Apakah rumah untuk hidup itu harus dengan memiliki rumah dan dengan jalan riba? Bukankah dengan sewa/kontrak pun hidup masih bisa dijalani dengan rumah, dan ini jelas-jelas halal? Tidak mampukah bersabar bertahun-tahun sampai puluhan tahun guna menabung dan pada saatnya nanti sudah cukup baru membeli rumah? Apakah jika sampai meninggal dunia tidak memiliki rumah itu berarti berdosa jika faktanya tidak mampu? Apakah karena tidak memiliki rumah hidup tidak tenteram? Bukankah ketenteraman ada dengan dzikrul-‘Llah bukan dengan dzikrul-rumah? Bukankah masih banyak orang yang lebih sengsara yang mereka bahkan tidak mampu untuk sewa rumah sekalipun? Ke mana pandangan akan diarahkan; kepada orang yang lebih atas, ataukah kepada orang yang lebih bawah? Betapa sengsaranya orang yang selalu melihat ke atas; hidup dikejar dengan serba “harus” memiliki ini dan itu, dan ujung-ujungnya terjerat pada riba dan transaksi haram lainnya. Dan betapa tenteramnya orang yang selalu menerima rizki Allah yang halal apa adanya, tanpa terbebani “harus” memiliki ini dan itu. Ia akan selalu berniaga dan berusaha di jalan yang halal, sekuat tenaga dan sepenuh waktu. Tetapi yang selebihnya dari itu, ia pasrahkan semuanya kepada Allah Sang Mahakaya.
“Dzikir” ini jika diturunkan lagi pada yang lebih rendahnya, tidak jauh beda aplikasinya. Apakah gara-gara tidak punya kendaraan kesengsaraan pasti didapatkan? Bukankah masih ada angkot, bus, tukang ojeg, dan sebagainya? Kalau tidak punya uang, bukankah masih bisa jalan kaki? Jika memerlukan mobil, bukankah masih ada jasa rental mobil? Kenapa membebani diri dengan “harus” memiliki mobil atau sepeda motor lalu jalan pintas melalui riba dan gharar/leasing pun ditempuh? Mengapa tidak qana’ah dengan apa yang dimiliki dan mampu dijalani, dan itu faktanya sangat membahagiakan? Jika kemudian qana’ah justru dinilai sebagai kesengsaraan, sebenarnya masih adakah ruh di dalam tubuh kita? Ataukah diri ini hanya sesosok mayat hidup yang tidak bisa lagi membedakan mana yang halal dan haram?
Anehnya, hari ini setiap orang bahkan sudah dibuat gelisah untuk sesuatu yang belum ia alami. Maka berbondong-bondonglah orang ikut asuransi, termasuk BPJS. Dikecualikan tentunya mereka yang dipaksa oleh sistem untuk mengikutinya. Mereka yang ikhlas ikut asuransi ini pada hakikatnya orang-orang yang hidup penuh dengan ketakutan. Padahal fatwa MUI dan ormas-ormas Islam lainnya sungguh sudah sangat jelas mewanti-wanti: haram.
Dzikir sampai qana’ah seperti ini, hari ini sangat langka adanya. Apalagi bagi para pelaku usaha yang selalu menuntut dirinya untuk mampu mengembangkan usahanya. Jalan pintas melalui riba seringkali menjadi alasan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Padahal riba jalan yang haram. Jalan yang halal selain riba masih sangat banyak; mudlarabah, syirkah, ‘ariyah, dan lain sebagainya yang berupa kerjasama tanpa riba dan zhalim. Namun alasannya selalu saja susah dan ribet. Padahal itu sebenarnya ujian; jalan haram selalu mudah, jalan halal selalu dirasa susah. Susah memang, karena di antara sesama muslim sendiri sudah berkurang rasa saling percaya. Ajaran-ajaran Islam yang mengharuskan sesama muslim saling percaya, saling menolong, jangan saling acuh, tidak pernah diturunkan ke lapangan bisnis.
Maka dari itu sudah seyogianya ajaran-ajaran Nabi saw ini tidak kita museumkan di kitab al-Qur`an dan hadits, atau di masjid-masjid dan majelis ta’lim. Melainkan harus kita turunkan dalam kehidupan kita sehari-hari:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Kaya itu bukan banyak harta, tetapi kaya itu adalah kaya hati (Shahih Muslim kitab az-zakat bab laisal-ghina ‘an katsratil-‘aradl no. 2467)
“Kaya hati” artinya qana’ah; selalu merasa cukup dengan apa yang dimiliki sendiri melalui jalan yang halal, tanpa pernah tergiur dengan yang dimiliki orang lain (sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari bab man lam yataghanna bil-qur`an. Demikian juga oleh Ibn Majah dalam kitab Sunannya bab al-qana’ah dan Ibn Hibban dalam kitab Shahihnya bab al-faqr waz-zuhd wal-qana’ah). Sebab jika yang dipahami sebagai kaya itu adalah kaya banyak harta maka obsesi yang melelahkan yang akan selalu dirasakan. Ia akan selalu menuntut dirinya untuk memiliki ini dan itu, sehingga jalan haram pun dinilainya sebagai jalan halal. Bukan berarti haram menjadi orang kaya banyak harta tentunya, tetapi ia baru absah sebagai orang kaya jika banyak hartanya itu disertai juga dengan kaya hati.
Cara mempraktikkan hadits ini dalam kehidupan sehari-hari sangat mudah sebenarnya. Jangan lagi merasa miskin dan sengsara ketika tidak memiliki barang-barang yang orang lain memilikinya. Sebab sepanjang mampu bersikap qana’ah maka kekayaan itu pasti akan dimilikinya. Ia akan hidup tenteram dan tidak pernah lagi tersiksa dengan obsesi-obsesi duniawi yang ia tidak mampu mencapainya. Demikian halnya, jangan lagi memandang orang lain yang qana’ah sebagai orang sengsara. Segera ubah kacamata kita dengan kacamata hadits di atas. Mereka tidak ubahnya seperti kita. Menjalani hidup sebagaimana kita hidup. Mereka makan sebagaimana kita makan. Meski kualitas materinya jauh berbeda dengan kita. Akan tetapi ketenteraman hidupnya tidak berarti lebih rendah daripada kita.
Maka dari itu, Nabi saw mengingatkan kita lagi:
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
Siapa yang menahan diri dari meminta, niscaya Allah akan menjadikannya mampu bertahan. Siapa yang merasa cukup dengan yang dimilikinya (qana’ah/kaya hati), niscaya Allah akan memberinya kecukupan. Siapa yang berusaha untuk bersabar, niscaya Allah akan menjadikannya sabar. Dan tidak ada satu pemberian pun yang lebih baik dan lebih luas daripada sabar.” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab al-isti’faf ‘anil-mas`alah no. 1469; Shahih Muslim kitab az-zakat bab fadllit-ta’affuf was-shabr no. 2471)
Hadits ini lebih menekankan lagi pentingnya qana’ah, dan itu berawal dari diri kita sendiri. Tanpa kesadaran diri untuk qana’ah, maka selamanya kesengsaraan akan selalu dimiliki. Sebab tanpa qana’ah, kalau kaya pun kaya dengan cara tidak halal. Dan kaya seperti ini adalah kaya yang kosong dari barakah. Jadinya sengsara-sengsara juga.
Hal lain yang Nabi saw ingatkan dalam hadits di atas, qana’ah sangat erat dengan kualitas kesabaran yang kita miliki. Jika selama ini sabar hanya kita pahami ketika musibah datang, maka itu salah satunya saja. Sabar yang paling baik dan paling besar adalah sabar untuk qana’ah; hidup cukup dengan apa yang dimiliki, tanpa perlu mencari dengan cara yang haram. Wal-‘Llahu a’lam