Bebaskan Hati dari Sifat Kikir

Harta memiliki kekuatan “gaib” untuk menanamkan sifat kikir dalam hati. Semakin bertambah harta semakin bertambah juga sifat kikir. Satu-satunya cara melawan sifat kikir tersebut adalah dengan zakat dan shadaqah. Jangan sampai harta dibiarkan bertambah terus menjadi simpanan dunia sehingga menjadi sumber penyakit kikir. Harus sesegera mungkin dikeluarkan melalui zakat dan shadaqah agar tidak ada celah sedikit pun untuk sifat kikir bersemayam dalam hati.


Tidak akan pernah ada bahagia bagi orang yang memelihara sifat kikir dalam hatinya. Hidupnya akan senantiasa berada dalam ketakutan dan kedengkian. Ketakutan akan membuatnya selalu gelisah karena harta yang didamba tidak kunjung tiba, atau gelisah karena harta yang sudah dimiliki takut berkurang dan habis. Sementara kedengkian tertanam dalam jiwanya karena kikir membuat seseorang enggan berbagi perasaan bahagia. Ia hanya ingin dirinyalah yang bahagia dan sukses. Jika ada orang lain yang juga bahagia dan sukses apalagi lebih sukses dari dirinya maka hatinya enggan menerimanya. Dalam hal inilah Allah swt sudah berfirman:

وَأَنفِقُواْ خَيۡرٗا لِّأَنفُسِكُمۡۗ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ 

Nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. at-Taghabun [64] : 16).
Ayat di atas tegas mengajarkan bahwa infaq itu baik untuk diri sendiri agar tidak ada sifat kikir dalam hati. Kebahagiaan hanya akan diperoleh oleh mereka yang sudah terbebas dari sifat kikir. Selama sifat kikir terpendam dalam hati tidak akan pernah ada kebahagiaan. Cara untuk membebaskan sifat kikir tersebut adalah dengan infaq.
Mana mungkin ada bahagia bagi orang yang hidupnya penuh dengan ketakutan dan kedengkian. Orang seperti itu akan selalu terjebak dalam permusuhan yang tiada ujung. Allah swt mengingatkan dalam QS. Muhammad [47] : 29, 37-38 bahwa sifat bakhil itu penyakit hati yang akan menanamkan dengki dan hanya bisa dihapus dengan infaq. Sementara dalam QS. al-Humazah [104] Allah swt mengingatkan bahwa sifat kikir akan selalu menjebak pengidapnya dalam permusuhan dan saling membenci. Mustahil ada bahagia bagi orang yang mengidap penyakit akut ini.
Maka cara satu-satunya untuk membebaskan sifat kikir harus ditempuh dengan sukarela atau bahkan dengan terpaksa. Bagi orang kaya, tidak ada baiknya kekayaan yang berlebih dari keperluan pokok disimpan dan ditumpuk tanpa disalurkan melalui shadaqah kepada mereka yang membutuhkan. Dibelikan emas, tanah, rumah, atau asset lainnya yang kesemuanya hanya menambah koleksi asset dunia hanya akan semakin menambah kadar sifat kikir. Shadaqahkan saja kepada faqir miskin atau fi sabilil-‘Llah. Masih banyak orang miskin yang susah cari uang untuk makan sekalipun atau banting tulang hanya untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat kuliah. Orang faqir yang tidak memiliki kendaraan dan rumah juga masih banyak. Minimalnya disalurkan dalam bentuk bantuan pinjaman atau yang dikenal dengan al-ma’un. Nabi saw mengingatkan:

عَنْ بُرَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلِهِ صَدَقَةٌ، قَالَ: ثُمَّ سَمِعْتُهُ يَقُولُ: مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ، قُلْتُ: سَمِعْتُكَ يَا رَسُولَ اللهِ تَقُولُ: مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلِهِ صَدَقَةٌ، ثُمَّ سَمِعْتُكَ تَقُولُ: مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ، قَالَ لَهُ: بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّيْنُ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ

Dari Buraidah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang memberi penangguhan kepada orang yang susah membayar utang maka ia akan mendapatkan pahala shadaqah senilainya di setiap harinya.” Kemudian aku juga mendengar beliau bersabda: “Siapa yang memberi penangguhan kepada orang yang susah membayar utang maka ia akan mendapatkan pahala shadaqah dua kali lipat dari yang dipinjamkannya di setiap harinya.” Lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah, aku mendengar anda bersabda: ‘Siapa yang memberi penangguhan kepada orang yang susah membayar utang maka ia akan mendapatkan pahala shadaqah senilainya di setiap harinya’, lalu aku mendengar lagi anda bersabda: ‘dua kali lipatnya’.” Beliau menjawab: “Setiap harinya akan dihitung shadaqah sebelum datang waktu pelunasan utang. Kemudian jika telah datang waktu pelunasan utang dan ia masih memberi penangguhan, maka baginya pahala shadaqah dua kali lipatnya.” (Musnad Ahmad bab hadits Buraidah al-Aslami no. 23046).
Lembaga pendidikan Islam yang tidak berdaya secara finansial juga masih terlalu banyak. Sungguh sangat disayangkan jika harta yang berlebih itu hanya menguap begitu saja tanpa disalurkan kepada lembaga-lembaga pendidikan atau sosial lainnya yang sangat membutuhkan.
Hal yang sama sebenarnya juga berlaku kepada mereka yang merasa bukan sebagai orang kaya, karena sifat kikir justru rentan juga menimpa orang-orang miskin. Motifnya sama, rasa takut yang bersemayam dalam hati karena takut tidak memperoleh apa yang diinginkan atau ketika yang diinginkan kebetulan dimiliki takut juga kehilangannya. Sifat kikir dalam hati orang miskin itu akan senantiasa mendorongnya untuk menempatkan tangannya di bawah; selalu berharap pada uluran bantuan orang lain. Ia selalu ingin mengambil atau menerima harta dengan keadaan isyraf (memperlihatkan nafsu ingin diberi), tidak ada sama sekali sakhawah (bebas dari nafsu ingin memperoleh). Penyakit ini yang umumnya menimpa mayoritas kaum miskin sehingga hidup mereka tidak pernah berkah karena selalu berharap uluran tangan orang lain. Kepada Hakim ibn Hizam ra yang ketika mudanya hidup miskin dan memiliki penyakit kikir, Nabi saw memberikan nasihat:

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى

“Hai Hakim, sesungguhnya harta ini hijau dan manis. Siapa yang mengambilnya dengan kedermawanan hati (tidak ada nafsu harta), ia akan diberi barakah padanya. Dan siapa yang mengambilnya dengan memperlihatkan keinginan diri (untuk diberi atau bernafsu harta), ia tidak akan diberi barakah. Seperti orang yang makan dan tidak kunjung kenyang. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab al-isti’faf ‘anil-mas`alah no. 1472).
Orang-orang miskin ini kalaupun meminjam uang kepada orang kaya tidak disertai niat teguh akan membayarnya, karena memang yang ada dalam benaknya hanya ingin disantuni, bukan berusaha keras untuk memberi. Maka hidupnya pun tidak akan pernah beranjak dari garis kemiskinan.

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ

Siapa yang mengambil harta orang lain dengan niat akan melunasinya, maka pasti Allah akan menjadikannya mampu melunasinya. Tetapi siapa yang mengambil harta orang lain dengan niat untuk menghabiskannya, maka pasti Allah akan menghabiskannya (Shahih al-Bukhari bab akhdzi amwalin-nas yuridu ada`aha no. 2387).
Satu-satunya cara untuk membebaskan sifat kikir itu harus ditempuh. Orang kaya sesuai ukuran kayanya, dan orang miskin pun sesuai ukuran miskinnya. Shahabat Abu Mas’ud al-Anshari ra menjelaskan:

لَمَّا نَزَلَتْ آيَةُ الصَّدَقَةِ كُنَّا نُحَامِلُ فَجَاءَ رَجُلٌ فَتَصَدَّقَ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ فَقَالُوا مُرَائِي وَجَاءَ رَجُلٌ فَتَصَدَّقَ بِصَاعٍ فَقَالُوا إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنْ صَاعِ هَذَا فَنَزَلَتْ ﴿الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ  سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ٧٩﴾

Ketika turun ayat shadaqah, kami sengaja menjadi buruh panggul. Ada shahabat yang shadaqah banyak, tetapi orang-orang munafiq berkomentar: “Orang ini riya.” Lalu ada shahabat lain yang shadaqah satu sha’ (+ 3 liter/2,5 kg), tetapi orang-orang munafiq berkomentar: “Sungguh Allah tidak butuh satu sha’.” Sehingga turun ayat: (Orang-orang munafiq) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang shadaqah dengan sukarela dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekedar keterbatasannya. Orang-orang munafiq itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka dan untuk mereka adzab yang pedih. (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab ittaqun-nar wa lau bi syiqqi tamratin awil-qalil minas-shadaqah no. 1415)
Shahabat yang disebutkan bershadaqah satu sha’ dalam hadits pertama di atas, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, disebutkan dalam riwayat lain bernama Abu ‘Aqil. Ia mendapatkan upah satu sha’ setelah menjadi buruh menimba air dari sumur. Itu ia lakukan demi bisa bershadaqah sesuai anjuran Allah dan Rasul-Nya. Sementara shahabat yang bershadaqah dengan barang yang banyak dalam hadits di atas, menurut Ibn Hajar adalah ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, seorang shahabat yang dikenal ahli dagang. Ia datang membawa shadaqah senilai 8.000 dinar/uang keping emas—sekitar Rp. 25 miliar (Fathul-Bari).
Wal-‘Llahu a’lam