Adab Chatting

Adab Chatting – Chatting merupakan aktivitas yang paling banyak dilakukan di media sosial. Seseorang bisa sampai berjam-jam menikmati aktivitas yang satu ini. Sebagian ada yang memanfaatkannya untuk diskusi atau konsultasi yang bermanfaat, sebagiannya lagi hanya menjadikannya sebagai ajang ngobrol dan update status yang tidak banyak manfaatnya. Nabi saw sering mengingatkan agar umatnya tidak terjerumus pada obrolan-obrolan yang tidak bermanfaat, apalagi sampai menyimpang.

Al-Qur`an telah memberi tuntunan agar dalam berbicara atau mengemukakan pernyataan, yang dalam dunia media sosial tentu melalui tulisan atau ketikan, selalu disampaikan dengan ma’ruf (baik dan datar tanpa melibatkan emosi berlebihan—QS. 2 : 235, 4 : 5, 8, 33 : 32), sadid (tepat; dengan memperhatikan usia lawan bicara—QS. 4 : 9, 33 : 70), layyin (lemah lembut—QS. 20 : 44), baligh (mengena di hati dan tercerna oleh akal—QS. 4 : 63), karim (penuh hormat—17 : 23), dan maisuran (meringankan/menenangkan—QS. 17 : 28). Semua adab berbicara di atas diperintahkan oleh Allah swt melalui perintah yang tegas (fi’il amr), sehingga hukumnya haram jika malah sebaliknya. Haram jika obrolan yang dilakukan penuh dengan kata-kata kasar, tidak santun, terlalu emosional (baik syahwat, amarah, fanatisme, dan semacamnya); menyamakan begitu saja antara berbicara kepada orangtua dan anak muda, padahal semestinya kepada orangtua penuh hormat dan kepada anak muda bijak; pernyataan diungkapkan dengan tidak jelas, susah dicerna akal, dan tidak enak di hati; dan perkataan-perkataan yang memberatkan, menakut-nakuti, dan mematahkan semangat atau harapan.

Jika seseorang merasa belum mampu mengontrol perkataannya, Nabi saw menasihati agar diam saja, jangan bicara:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab hifzhil-lisan no. 6475).

Yang paling harus diperhatikan, jangan sampai menghabiskan waktu lama untuk melakukan aktifitas ngobrol; baik di media sosial ataupun di dunia nyata. Sebab seringkali kelamaan ngobrol menjadikan obrolan kosong dari dzikrullah. Rutinitas seperti ini hanya akan mengeraskan hati. Nabi saw mengingatkan:

لاَ تُكْثِرُوا الكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ، وَإِنَّ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنَ اللَّهِ القَلْبُ القَاسِي

Jangan banyak berbicara yang tidak ada dzikrullahnya, sebab banyak berbicara yang tidak ada dzikrullahnya akan mengeraskan hati. Sungguh orang yang paling jauh dari Allah adalah orang yang hatinya keras (Sunan at-Tirmidzi abwab az-zuhd bab ma ja`a fi hifzhil-lisan no. 2411. Imam at-Tirmidzi menyatakan: “Ini hadits gharib (asing). Kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Ibrahim ibn ‘Abdillah ibn Hathib.” Nama lengkapnya Ibrahim ibn ‘Abdillah ibn al-Harits ibn Hathib. Ibn Hajar menilainya: Shaduq rawa marasil/seorang rawi yang jujur tetapi suka meriwayatkan mursal [Taqribut-Tahdzib no. 194]. Al-Bisti menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqat dan menyatakan: mustaqimul-hadits/lurus dalam haditsnya [Ikmal Tahdzibul-Kamal no. 232]. Hadits di atas diterima oleh Ibrahim dari rawi-rawi tsiqat, yakni ‘Abdullah ibn Dinar, dari Ibn ‘Umar. Artinya tidak mursal. Imam Malik dalam kitabnya, al-Muwaththa` menyatakan bahwa ini diucapkan oleh Nabi ‘Isa as. Wal-‘Lahu a’lam).

Nabi saw memberi nasihat kepada Mu’adz ibn Jabal bahwa yang bisa memastikan seseorang istiqamah dalam tauhid, shalat, zakat, shaum, haji, shadaqah, shalat malam, dan jihad adalah tidak banyak bicara. Jika banyak bicara, maka akan banyak hasha`id (arti asal: tanaman-tanaman yang telah dituai, diketam, dan musnah) dari lisannya.

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ فِي سَفَرٍ… قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا نَبِيَّ اللَّهِ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا، فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

Dari Mu’adz ibn Jabal, ia berkata: Aku pernah dibonceng Nabi saw dalam satu safar… beliau bersabda: “Maukah aku beritahukan kepadamu yang bisa memastikan semuanya (tauhid, shalat, zakat, shaum, haji, shadaqah, shalat malam, dan jihad) itu?” Aku jawab: “Tentu, wahai Nabi Allah.” Beliau lalu berisyarat pada lisannya dan bersabda: “Tahanlah olehmu ini.” Aku bertanya: “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan apa yang kita katakan?” Beliau menjawab: “Celaka kamu Mu’adz. Bukankah yang menyeret manusia atas wajah atau hidung mereka masuk ke neraka itu adalah yang rusak dari lisan mereka?” (Sunan at-Tirmidzi kitab al-iman bab fi hurmatis-shalat no. 2616)

Imam al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul-Ahwadzi menjelaskan bahwa maksud hasha`id lisan itu adalah kata-kata yang tidak bermanfaat dan kotor. Maksudnya, kalau seseorang tidak bisa mengendalikan lisannya, malah selalu banyak bicara dan ngobrol, pasti akan banyak hasha`id dari lisannya. Kaitannya dengan tauhid, shalat, zakat, shaum, haji, shadaqah, shalat malam, dan jihad adalah seseorang tidak akan mungkin mengamalkan semua amal shalih itu jika waktunya sering dihabiskan untuk chatting atau ngobrol. Demikian juga tidak mungkin seseorang istiqamah dalam semua amal itu jika lisannya belum istiqamah, sebab itu adalah pertanda hatinya juga belum istiqamah. Nabi saw mengingatkan:

لاَ يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلاَ يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ

Tidak akan tegak keimanan seorang hamba sehingga tegak hatinya, tidak akan tegak hatinya sehingga lurus lisannya (Musnad Ahmad musnad Anas ibn Malik no. 13389. Imam al-Albani menilai hadits ini: hasanul-hadits, insya Allah [as-Silsilah as-Shahihah no. 2841]).

Maka sudah sepantasnya jika seorang muslim membatasi waktunya dalam aktifitas chatting di media sosial ataupun ngobrol di dunia nyata, sebab hal itu akan menjerumuskannya pada membicarakan hal-hal yang tidak bermanfa’at. Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya` ‘Ulumid-Din menyebutkan bahwa salah satu bentuk afatul-lisan (bencana lisan) adalah al-kalam fi ma la ya’nik; berbicara/berkomunikasi dalam hal-hal yang tidak penting. Sang Hujjatul-Islam menjelaskan:

Anda jangan sampai berbicara dalam hal yang tidak penting, sebab itu hanya akan menghabiskan waktu, padahal amal lisan akan dihisab. Anda jadinya mengganti yang baik dengan yang jelek. Seandainya saja anda mencurahkan waktu berbicara itu untuk berpikir, seringkali terbuka untuk anda celah-celah rahmat Allah ketika anda memikirkan keagungan anugerah-Nya. Seandainya juga anda isi dengan tahlil kepada Allah, dzikir, atau tasbih, tentu itu lebih baik bagi anda. Sungguh banyak tidak terhingga kalimat yang dengannya anda akan bisa membangun istana di surga.

Sungguh, siapa orangnya yang mampu mengambil harta karun tetapi ternyata ia hanya mengambil batu biasa yang tidak bermanfaat, maka ia telah rugi serugi-ruginya. Ini adalah perumpamaan orang yang meninggalkan dzikrul-‘Llah karena tersibukkan oleh hal-hal mubah yang tidak bermanfaat. Meskipun ia tidak berdosa, tetapi ia sudah rugi. Sebab ia melewatkan keuntungan yang besar dari dzikrul-‘Llah. Padahal seorang mu`min itu diamnya adalah berpikir, melihatnya adalah mengambil ‘ibrah, dan berbicaranya adalah dzikir.

Nasihat Imam al-Ghazali ini menunjukkan bahwa meski tidak sampai haram, menghabiskan waktu hanya untuk chatting, browsing, broadcast, update status, dan semacamnya; termasuk juga menyimak video, musik, film, talkshow, infotainment, dan semacamnya yang jauh dari dzikrul-‘Llah hukumnya makruh. Akan sangat bermanfaat jika itu semua diisi dengan dzikir, kegiatan keilmuan, atau membaca dan mengulang-ulang hafalan al-Qur`an.

Al-Qur`an dalam QS. Luqman [31] : 6-7 juga sudah mengingatkan, jika hadits (perkataan, obrolan, nyanyian) sudah sampai pada lahwun (hiburan) seringkali menyebabkan seseorang terhalang dari jalan Allah, bahkan sampai berani menjadikan agama sebagai candaan dan olok-olokan. Al-Qur`an juga mengingatkan bahwa orang yang memprioritaskan lahwul-hadits secara otomatis akan jauh dari mendengar ayat-ayat Allah swt. Kalaupun diperdengarkan kepadanya lantunan dan kajian ayat-ayat Allah swt, ia serasa tidak mendengarnya karena tidak mampu menghayatinya dan menikmatinya. Telinganya hanya akan merasa terhibur jika diobrolkan kepadanya obrolan yang menghibur nafsunya atau didendangkan musik dan lagu-lagu yang omong kosong. Matanya akan melotot hanya jika membaca pesan-pesan pepesan kosong, menyimak info-info yang tidak berbobot, atau menonton hal-hal yang sebenarnya palsu dan bohong.
Wal-‘Llahul-Musta’an.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *