Wujud Ilmu dalam Amal (Bagian Kedua)

Wujud Ilmu dalam Amal
(Bagian Kedua)
Orang-orang berilmu dijelaskan sifatnya oleh Allah F sebagai orang-orang yang tidak terobsesi dunia, sabar menjalani kehidupan yang sederhana, dan selalu menabungkan kelebihan hartanya di akhirat melalui infaq dan shadaqah. Mereka yang dipandang berilmu tetapi malah sibuk dengan obsesi duniawinya memperkaya diri dan mengejar jabatan setengah mati dengan mengabaikan akhirat, sebenarnya orang-orang bodoh yang hampa ilmu.
Dalam ayat-ayat yang menjelaskan kaum Nabi Musa as dan Qarun, Allah swt membedakan orang-orang berilmu dari orang-orang yang bodoh dengan ketiadaan obsesi ingin kaya seperti Qarun. Mereka yang mendambakan kehidupan bergelimang harta seperti Qarun adalah orang-orang bodoh yang hampa ilmu.
فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوۡمِهِۦ فِي زِينَتِهِۦۖ قَالَ ٱلَّذِينَ يُرِيدُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا يَٰلَيۡتَ لَنَا مِثۡلَ مَآ أُوتِيَ قَٰرُونُ إِنَّهُۥ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٖ ٧٩ وَقَالَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ وَيۡلَكُمۡ ثَوَابُ ٱللَّهِ خَيۡرٞ لِّمَنۡ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗاۚ وَلَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلصَّٰبِرُونَ ٨٠
Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar” (QS. Al-Qashash [28] : 79-80).
Dalam ayat di atas Allah swt memperlawankan “orang-orang yang dianugerahi ilmu” dengan “orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia”, sebagai pertanda jelas bahwa orang-orang yang terobsesi dunia berarti tidak berilmu alias bodoh. Orang-orang yang berilmu itu terobsesinya dengan iman dan amal shalih sehingga selalu sabar menjalani hidup sederhana sesuai anugerah Allah swt, bukan terobsesi dengan kekayaan melimpah seperti Qarun.
Dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan infaq di surat al-Baqarah, Allah swt menyebutkan bahwa orang-orang yang cerdas (ulul-albab) itu dianugerahi hikmah (ilmu) oleh Allah swt. Kriterianya tidak akan dihantui perasaan takut faqir yang selalu dihembuskan setan sehingga kalau menginfaqkan hartanya pun selalu dalam kadar yang minimalis.
Allah swt mengawalinya dengan larangan infaq minimalis:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بَِٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ ٢٦٧
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji (QS. Al-Baqarah [2] : 267).
Allah swt kemudian menjelaskan bahwa sikap minimalis dalam infaq itu sebagai akibat dari perasaan takut miskin yang dihembuskan setan, dan orang-orang yang cerdas serta dianugerahi hikmah oleh Allah swt terbebas dari sifat buruk tersebut karena akalnya yang berpikiran luas tidak sempit memahami hakikat kekayaan.
ٱلشَّيۡطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلۡفَقۡرَ وَيَأۡمُرُكُم بِٱلۡفَحۡشَآءِۖ وَٱللَّهُ يَعِدُكُم مَّغۡفِرَةٗ مِّنۡهُ وَفَضۡلٗاۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ ٢٦٨ يُؤۡتِي ٱلۡحِكۡمَةَ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا كَثِيرٗاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٦٩
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Allah menganugerahkan hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah) (QS. Al-Baqarah [2] : 268-269).
Maka dari itu dalam surat ar-Ra’d ketika Allah swt menjelaskan akhlaq ulul-albab (a. 19), tidak terlewat salah satunya adalah rajin infaq:
وَٱلَّذِينَ صَبَرُواْ ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ وَيَدۡرَءُونَ بِٱلۡحَسَنَةِ ٱلسَّيِّئَةَ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عُقۡبَى ٱلدَّارِ ٢٢
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi atau terang-terangan serta, menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik) (QS. Ar-Ra’d [13] : 22)
Dalam hadits tentang “dunia milik empat orang” pun Nabi saw membedakan orang yang menyalurkan hartanya di jalan Allah swt dan kepada kerabatnya dengan orang yang sebaliknya karena faktor ilmunya. Orang yang pertama; kaya berilmu, sementara orang kedua; kaya tapi tidak berilmu.
إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ، عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ المَنَازِلِ،
“Dunia itu milik empat orang: (1) Hamba yang Allah beri rizki harta dan ilmu, maka ia bertaqwa kepada Rabbnya dengan hartanya, menyambungkan kebaikan kepada kerabat dengannya, dan mengetahui hak Allah dalam harta tersebut. Maka ini kedudukan yang paling mulia.
وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ،
(2) Hamba yang Allah beri rizki ilmu tetapi tidak diberi rizki harta, maka ia berniat dengan benar berkata: ‘Seandainya aku memiliki harta pasti akan beramal seperti amal orang itu.’ Maka ia dengan niatnya mendapatkan pahala yang sama.
وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ المَنَازِلِ،
(3) Hamba yang Allah beri rizki harta tetapi tidak diberi rizki ilmu. Maka ia mengelola hartanya tanpa ilmu; tidak bertaqwa kepada Rabbnya dengan hartanya, tidak menyambungkan kebaikan kepada kerabat dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah dalam harta tersebut. Maka ini kedudukan yang paling hina.
وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
(4) Hamba yang Allah beri rizki harta tetapi tidak diberi rizki ilmu, maka ia berniat dengan benar berkata: ‘Seandainya aku memiliki harta pasti akan beramal seperti amal orang itu.’ Maka ia dengan niatnya mendapatkan dosa yang sama.” (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a matsalud-dunya matsal arba’ah nafar no. 2325. Imam at-Tirmidzi berkata: “Ini adalah hadits hasan shahih.”)
Dalam surat Fathir yang menjelaskan kriteria ulama adalah takut kepada Allah swt (a. 28), salah satu kriteria utamanya disebutkan selalu infaq dalam kondisi apapun:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَتۡلُونَ كِتَٰبَ ٱللَّهِ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ يَرۡجُونَ تِجَٰرَةٗ لَّن تَبُورَ ٢٩
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi (QS. Fathir [35] : 29).
Dalam surat al-Mu`minun, Allah swt menegaskan lagi salah satu manifestasi rasa takut pada diri seseorang itu selalu menginfaqkan hartanya:
إِنَّ ٱلَّذِينَ هُم مِّنۡ خَشۡيَةِ رَبِّهِم مُّشۡفِقُونَ ٥٧ وَٱلَّذِينَ هُم بَِٔايَٰتِ رَبِّهِمۡ يُؤۡمِنُونَ ٥٨ وَٱلَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمۡ لَا يُشۡرِكُونَ ٥٩ وَٱلَّذِينَ يُؤۡتُونَ مَآ ءَاتَواْ وَّقُلُوبُهُمۡ وَجِلَةٌ أَنَّهُمۡ إِلَىٰ رَبِّهِمۡ رَٰجِعُونَ ٦٠ أُوْلَٰٓئِكَ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَهُمۡ لَهَا سَٰبِقُونَ ٦١
Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya (QS. Al-Mu`minun [23] : 57-61).
Semua keterangan di atas menegaskan satu kesimpulan bahwa orang-orang berilmu bukan orang-orang yang terobsesi dengan kekayaan dan kekuasaan dunia, melainkan terobsesi dengan akhirat seiring dengan bertambahnya rasa takut mereka kepada Allah swt. Tentunya bukan berarti dunia diabaikan sama sekali. Dunia dijadikan tempat singgah sementara saja agar bisa berbekal yang cukup untuk kehidupan akhirat.
Dengan demikian ulama, cendekiawan, dosen, guru, atau orang-orang yang diidentikkan berilmu lainnya yang selalu memperkaya diri padahal masih banyak tetangga dan umat yang membutuhkan bantuan mereka, pada hakikatnya hanyalah orang-orang bodoh yang terpenjara oleh nafsu sempit duniawi. Otaknya kurang cerdas untuk memahami hakikat kehidupan dunia dan akhirat. Wal-‘Llahu A’lam.


