Amalan

Wujud Ilmu dalam Amal

Wujud Ilmu dalam Amal

Ilmu dalam Islam tidak ditujukan untuk meraih kesuksesan materi duniawi, melainkan untuk meningkatkan rasa takut kepada Allah ﷻ. Wujudnya tampak dalam amal-amal yang membuktikan ketakutannya kepada Allah ﷻ. Semakin tinggi ilmunya, semakin tinggi rasa takutnya kepada Allah ﷻ dan semakin berkualitas juga amal-amal shalihnya. Meski ia miskin atau tidak punya kekuasaan di dunia, ia tetap dipandang mulia di sisi Allah ﷻ, Rasulullah ﷺ, dan orang-orang beriman.

Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi saw adalah perintah membaca dan mencari ilmu. Allah swt menegaskan sifat diri-Nya sebagai al-Akram; Maha Mulia dan Dermawan dalam ayat-ayat tersebut karena mengajarkan ilmunya. Sebuah isyarat yang jelas bahwa Islam memberikan perhatian utama pada ilmu mulai dari menimba ilmu sampai mengajarkannya. Menurut al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab Tafsirnya, hal ini sesuai dengan ajaran Allah swt tentang penciptaan awal manusia di mana Nabi Adam as dimaklumatkan Allah swt sebagai pemimpin karena keunggulan ilmu yang dimilikinya di atas para malaikat dan jin, termasuk Iblis.

Standar keilmuan yang diajarkan Islam terletak pada rasa takut kepada Allah swt. Semakin tinggi ilmu seseorang berarti semakin tinggi juga rasa takutnya kepada Allah swt. Demikian juga sebaliknya.

إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu (QS. Fathir [35] : 28).

Kriteria takut kepada Allah swt tersebut dijelaskan dalam ayat-ayat berikutnya mewujud dalam interaksi yang intens dengan kitab Allah, shalat, dan infaq:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَتۡلُونَ كِتَٰبَ ٱللَّهِ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ يَرۡجُونَ تِجَٰرَةٗ لَّن تَبُورَ  ٢٩

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi (QS. Fathir [35] : 28).

Saking intensnya, surat al-Isra` menggambarkan orang-orang berilmu itu dengan selalu bersujud sambil menangis. Maksudnya sujud tilawah dalam ayat-ayat sajdah atau sujud dalam shalat secara umum sambil meneteskan air mata karena menghayati ayat-ayat Allah yang dibaca dalam shalat.

قُلۡ ءَامِنُواْ بِهِۦٓ أَوۡ لَا تُؤۡمِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ مِن قَبۡلِهِۦٓ إِذَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ يَخِرُّونَۤ لِلۡأَذۡقَانِۤ سُجَّدٗاۤ  ١٠٧ وَيَقُولُونَ سُبۡحَٰنَ رَبِّنَآ إِن كَانَ وَعۡدُ رَبِّنَا لَمَفۡعُولٗا  ١٠٨ وَيَخِرُّونَ لِلۡأَذۡقَانِ يَبۡكُونَ وَيَزِيدُهُمۡ خُشُوعٗا۩  ١٠٩

Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah).” Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya apabila Al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’ (QS. Al-Isra` [17] : 107-109).

Orang-orang berilmu ini tersungkur sujud sambil menangis karena rasa takut yang mereka miliki sudah menjadikan mereka betul-betul merasa dekat dengan Allah swt. Sehingga ketika berinteraksi dengan al-Qur`an sekujur tubuh mereka merasakan kekhusyuan hingga hatinya sangat lembut untuk berdzikir kepada Allah swt.

ٱللَّهُ نَزَّلَ أَحۡسَنَ ٱلۡحَدِيثِ كِتَٰبٗا مُّتَشَٰبِهٗا مَّثَانِيَ تَقۡشَعِرُّ مِنۡهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمۡ وَقُلُوبُهُمۡ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهۡدِي بِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُضۡلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنۡ هَادٍ  ٢٣

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit (tubuh) orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya (QS. az-Zumar [39] : 23).

Maka dari itu Allah swt menegaskan kriteria orang berilmu itu dengan rutinitas shalat malam, sebab itu standar dasar seseorang takut kepada Allah swt.

أَمَّنۡ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا يَحۡذَرُ ٱلۡأٓخِرَةَ وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ  ٩

Ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS. az-Zumar [39] : 9).

Karena standar dasarnya adalah shalat malam, maka Nabi saw menyebutkan orang-orang yang malas dari shalat wajib berjama’ah di masjid, khususnya untuk shalat shubuh dan isya, sebagai orang-orang bodoh dan munafiq. Maksudnya tentu munafiq amali atau amalnya seperti orang-orang munafiq.

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ لَاسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الْعَتَمَةِ وَالصُّبْحِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

Seandainya orang-orang tahu apa (pahala) yang ada dalam adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak bisa mendapatkannya selain harus ikut undian, maka pasti mereka ikut undian. Dan seandainya mereka tahu apa yang ada dalam tahjir (bersegera datang dari awal waktu), pasti mereka berlomba-lomba. Dan seandainya mereka tahu apa yang ada dalam shalat ‘Isya dan Shubuh, pasti mereka mendatanginya meski harus merangkak (Shahih al-Bukhari bab al-istiham fil-adzan no. 615).

Tiga kali diulang-ulang dalam hadits di atas pernyataan Nabi saw: “Seandainya tahu”, menunjukkan kebanyakan orang-orang tidak tahu alias bodoh. Hadits di atas sekaligus menegaskan ajaran bahwa standar tahu atau berilmu itu adalah kesigapan untuk selalu hadir shalat berjama’ah dari awal waktu, sehingga selalu bisa mengumandangkan adzan (atau menjawab adzan) dan mengisi shaf pertama, khususnya dalam shalat shubuh dan isya. Terkhusus untuk dua shalat ini, Nabi saw sampai menyamakan orang-orang yang mengabaikannya dengan orang-orang munafiq.

إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

Sungguh shalat yang paling berat bagi orang munafiq adalah shalat ‘isya dan shubuh. Andai saja mereka tahu pahala yang ada pada keduanya pasti mereka datang (ke masjid) walau harus merangkak (Shahih Muslim kitab al-masajid bab fadlli shalatil-jama’ah no. 1514; Shahih al-Bukhari bab fadllil-‘isya fil-jama’ah no. 657).

Maka dari itu shahabat Ibn ‘Umar ra berkata:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: كُنَّا إِذَا فَقَدْنَا الرَّجُلَ فِي الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ أَسَأْنَا بِهِ الظَّنَّ

Dari ‘Abdullah ibn ‘Umar ra, ia berkata: “Kami (para shahabat) apabila tidak menemukan seorang lelaki dalam shalat shubuh dan ‘isya, maka kami su`uz-zhan kepadanya.” (Dikutip oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari bab ma yakunu minaz-zhan dari Shahih Ibn Khuzaimah bab dzikr atsqalis-shalat ‘alal-munafiqin no. 1458; Shahih Ibn Hibban dzikr ma kana yutakhawwafu ‘ala man takhallafa ‘anil-jama’ah no. 2099; al-Mustadrak al-Hakim wa min kitab al-imamah wa shalatil-jama’ah no. 764).

Maksudnya, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, tidak mungkin orang itu tidak hadir shalat shubuh dan ‘isya berjama’ah melainkan karena sesuatu yang jelek, baik yang menimpa badannya ataupun agamanya. Yang menimpa agamanya berarti kemunafiqan. Sementara yang menimpa badannya berarti sakit parah, sebab kalau sakit biasa pasti akan tetap datang ke masjid. Sebagaimana diutarakan shahabat Ibn Mas’ud ra:

قَالَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ: لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْ الصَّلَاةِ إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ نِفَاقُهُ أَوْ مَرِيضٌ إِنْ كَانَ الْمَرِيضُ لَيَمْشِي بَيْنَ رَجُلَيْنِ حَتَّى يَأْتِيَ الصَّلَاةَ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ عَلَّمَنَا سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى الصَّلَاةَ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي يُؤَذَّنُ فِيهِ

Ibn Mas’ud berkata: “Sungguh aku telah menyaksikan di antara kami (shahabat) tidak ada yang meninggalkan shalat (berjama’ah) kecuali seorang munafiq yang benar-benar telah diketahui kemunafiqannya atau seseorang yang sakit. Tapi ada juga seseorang yang sakit berjalan di antara dua lelaki (dituntun—pen) sampai mendatangi shalat.” Dan ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mengajarkan kepada kami jalan-jalan hidayah, dan di antara jalan hidayah itu adalah shalat di masjid ketika diadzankan padanya.” (Shahih Muslim kitab al-masajid wa mawadli’ as-shalat bab shalatul-jama’ah min sunanil-huda no. 1045).

Inilah standar amal orang-orang berilmu sebagai bukti ketakutannya kepada Allah swt. Orang-orang berilmu pasti akan lekat dengan amal-amal di atas. Sebaliknya, jika ada orang-orang yang dianggap pintar karena gelar akademiknya atau kepintarannya berceramah, namun hatinya tidak pernah tersentuh untuk membaca atau menyimak al-Qur`an; menghayatinya dalam shalat hingga meneteskan air mata; malas bangun malam untuk shalat malam; dan selalu terlambat shalat berjama’ah lima waktu, itu pertanda jelas bahwa sebenarnya ia orang bodoh dan hampa ilmu.

Wal-‘Llahu A’lam.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button