Jual Beli

Tidak Mabrur karena Gharar

Tidak Mabrur karena Gharar

Nabi saw banyak mengingatkan haramnya gharar (ketidakjelasan yang berakibat merugikan) melalui berbagai contohnya dalam hadits. Ini untuk menegaskan betapa kerasnya keharaman gharar dan betapa banyak macam dan jenisnya. Sehingga tidak terbatas pada contoh-contoh yang terjadi pada zaman Nabi saw saja, melainkan mencakup juga varian-varian baru yang banyak bermunculan di masa kini.

Jual beli yang halal harus berdasar pada ‘an taradlin minkum; suka sama suka di antara dua pihak yang terlibat jual beli. Tidak ada manfaat yang diperoleh oleh satu pihak dengan menimbulkan kerugian pada pihak lain. Maka asas transparansi harus dijunjung tinggi oleh kedua pihak yang terlibat jual beli. Adanya sesuatu yang disembunyikan atau yang tersembunyi akan menjadikan salah satu pihak kecewa dan merasa dirugikan. Maka dari itu Islam menutup rapat pintu gharar (ketidakjelasan yang berakibat merugikan) dalam praktik jual beli/usaha.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ اَلْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ اَلْغَرَرِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Abu Hurairah ra berkata: “Rasulullah saw melarang jual-beli hashat (dengan cara melempar batu) dan jual-beli gharar (yang belum jelas barangnya).” Riwayat Muslim (Bulughul-Maram no. 816).

Jual beli hashat adalah jual beli yang sesuai lemparan batu (hashat). Imam an-Nawawi menjelaskan, jual beli hashat bentuknya ada tiga: Pertama, menjual pakaian yang terkena lemparan batu atau tanah yang dijual sejauh lemparan batu. Kedua, pembeli bebas melakukan khiyar (menawar dan memilih yang terbaik) sampai penjual melemparkan batunya. Ketiga, jika pembeli melempar batu pada salah satu barang maka barang itu harus dibeli (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bab buthlan bai’il-hashat).

Sementara usaha yang gharar dijelaskan oleh Imam an-Nawawi sebagai berikut:

وَأَمَّا النَّهْي عَنْ بَيْع الْغَرَر فَهُوَ أَصْل عَظِيم مِنْ أُصُول كِتَاب الْبُيُوع وَلِهَذَا قَدَّمَهُ مُسْلِم, وَيَدْخُل فِيهِ مَسَائِل كَثِيرَة غَيْر مُنْحَصِرَة كَبَيْعِ الْآبِق وَالْمَعْدُوم وَالْمَجْهُول وَمَا لَا يَقْدِر عَلَى تَسْلِيمه وَمَا لَمْ يَتِمّ مِلْك الْبَائِع عَلَيْهِ وَبَيْع السَّمَك فِي الْمَاء الْكَثِير وَاللَّبَن فِي الضَّرْع وَبَيْع الْحَمْل فِي الْبَطْن وَبَيْع بَعْض الصُّبْرَة مُبْهَمًا وَبَيْع ثَوْب مِنْ أَثْوَاب وَشَاة مِنْ شِيَاه وَنَظَائِر ذَلِكَ ، وَكُلّ هَذَا بَيْعه بَاطِل لِأَنَّهُ غَرَر مِنْ غَيْر حَاجَة

Larangan jual beli gharar merupakan pokok yang penting dari bab jual beli, oleh sebab itu Imam Muslim mendahulukan pembahasannya (dalam Shahih Muslim). Masuk di dalamnya berbagai macam praktik jual beli yang tidak terhitung banyaknya seperti: Menjual hamba sahaya yang hilang, barang yang tidak ada, barang yang tidak diketahui, barang yang belum mungkin diserahkan, barang yang belum sepenuhnya dimiliki penjual, ikan dalam air yang banyak, susu yang masik di teteknya, janin yang masih dikandung, menjual tumpukan barang yang tidak jelas, satu pakaian yang acak dari pakaian-pakaian yang ada, satu kambing secara acak dari kambing-kambing yang ada, dan semisalnya. Semuanya ini praktik jual beli yang bathal karena gharar dan tidak ada tuntutan kebutuhan mendesak (Syarah Shahih Muslim bab buthlan bai’il-hashat).

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitabnya, Bulughul-Maram kitab al-buyu’, menuliskan hadits-hadits tentang praktik gharar yang disebut oleh Imam an-Nawawi di atas dalam kitab al-buyu’ (jual beli) bab syuruthuhu wa ma nuhiya ‘anhu (syarat-syaratnya dan jual beli yang terlarang. Berikut di antaranya:

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لَا تَشْتَرُوا السَّمَكَ فِي اَلْمَاءِ; فَإِنَّهُ غَرَرٌ. رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَشَارَ إِلَى أَنَّ اَلصَّوَابَ وَقْفُهُ

Dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah saw bersabda: “Jangan membeli ikan dalam air (yang tidak terlihat dan belum dikail) karena ia gharar (tidak jelas).” Riwayat Ahmad. Ia memberi isyarat bahwa yang tepat hadits ini mauquf (Bulughul-Maram no. 842).

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ شِرَاءِ مَا فِي بُطُونِ الْأَنْعَامِ حَتَّى تَضَعَ, وَعَنْ بَيْعِ مَا فِي ضُرُوعِهَا, وَعَنْ شِرَاءِ الْعَبْدِ وَهُوَ آبِقٌ, وَعَنْ شِرَاءِ الْمَغَانِمِ حَتَّى تُقْسَمَ, وَعَنْ شِرَاءِ الصَّدَقَاتِ حَتَّى تُقْبَضَ, وَعَنْ ضَرْبَةِ الْغَائِصِ. رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ وَالْبَزَّارُ وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيف

Dari Abu Said al-Khudri ra: “Nabi saw melarang jual-beli anak hewan yang masih berada dalam kandungan induknya, sampai ia dilahirkan; susu yang masih berada dalam teteknya; seorang hamba sahaya yang melarikan diri; harta rampasan yang belum dibagi; zakat yang belum diterima; dan hasil seorang penyelam.” Riwayat Ibn Majah, al-Bazzar, dan Daruquthni dengan sanad lemah (Bulughul-Maram no. 841).

Jual Beli Buah Yang Belum Matang

Termasuk pada gharar juga jual beli buah-buahan yang belum matang. Meski memang kemudian ada pengecualian apabila gharar-nya hilang karena “kejelasan” kadarnya. Sebagai contoh, seorang pembeli menaksir hasil panen dari seorang petani buah dalam kisaran 10-15 kwintal sebelum buahnya dipanen/sebelum matang buahnya. Ia pun membelinya dengan harga 10 juta. Jika akad “kejelasan” ini diberlakukan, maka jika ternyata panennya gagal, petani harus mengembalikan uang pembeli karena ia tidak jadi mendapatkan buah-buahan yang dibelinya. Demikian halnya ketika kurang dari 10 kwintal, maka petani mengembalikan sebagian uang pembelian kepada pembeli. Atau kalau ternyata lebih dari 15 kwintal, maka pembeli seyogianya menambah uang pembelian kepada petani. Berikut hadits-hadits yang melarangnya sekaligus memberikan pengecualian.

وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ اَلْمُحَاقَلَةِ, وَالْمُزَابَنَةِ, وَالْمُخَابَرَةِ, وَعَنْ اَلثُّنْيَا, إِلَّا أَنْ تُعْلَمَ. رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا اِبْنَ مَاجَهْ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيّ

Dari Jabir ra: “Sungguh Nabi saw melarang jual-beli dengan cara muhaqalah (menjual biji atau tanaman dengan borongan yang masih samar ukurannya), muzabanah (menjual buah yang segar dengan yang sudah kering dalam satu sukatan), mukhabarah (menyewakan tanah untuk ditanami tumbuhan), dan tsunaya (penjualan dengan memakai pengecualian), kecuali jika ia jelas.” Riwayat Lima Imam kecuali Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Tirmidzi (Bulughul-Maram no. 825).

وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُخَاضَرَةِ وَالْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ وَالْمُزَابَنَةِ. رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ

Anas berkata: “Rasulullah saw melarang jual-beli dengan cara muhaqalah, mukhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak yang belum tentu bisa dimakan), mulamasah (menjual sesuatu dengan hanya menyentuh), munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar lemparan), dan muzabanah (menjual buah yang segar dengan yang sudah kering dalam satu sukatan).” Riwayat Bukhari (Bulughul-Maram no. 826).

Jual Beli Barang Yang Belum Dimiliki

Larangan menjual barang yang belum ada dan dimiliki oleh penjual dijelaskan dalam hadits berikut:

وَعَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنِ اِشْتَرَى طَعَاماً فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَكْتَالَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang membeli suatu makanan maka janganlah ia menjualnya sebelum menerima sukatannya.” Riwayat Muslim (Bulughul-Maram no. 817).

Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi menginventarisir hadits-hadits terkait masalah ini, dan diketahui bahwasanya pada zaman Nabi saw pasar tempat jual beli itu belum teratur (jizaf), masih belum tertata dengan baik posisi penjual dan pembeli, termasuk barang-barang mana saja yang masih dimiliki pedagang dan sudah dimiliki pembeli. Maka Nabi saw melarang seorang penjual menjual barang yang belum jelas dimiliki karena gharar (tidak jelas), apakah barangnya ada atau tidak ada. Bisa jadi barang yang dijual itu sudah dibeli oleh pembeli yang lain, ini berarti menjual barang di atas penjualan orang lain, dan hukumnya haram. Maka dari itu jual beli seperti ini dilarang.

Dalam konteks dewasa ini juga tidak mustahil terjadi gharar seperti di atas. Ketika seorang pedagang pasir melakukan transaksi dengan pembeli tetapi pasir yang dimaksud belum ia miliki. Penjual itu masih harus memesan kepada pihak ketiga. Ketika ternyata barangnya tidak ada padahal pembeli sedang membutuhkannya, maka ini jelas melanggar prinsin ‘an taradlin (saling ridla kedua pihak). Atau jika ternyata truk pasir yang mengangkut terkena musibah di jalan dan pasirnya raib, apakah pembeli bisa menuntut barangnya kepada penjual? Tidak mustahil ia angkat tangan dan pembeli pun tidak bisa menuntut ganti rugi kepada sopir truk karena memang faktanya ia terkena musibah, dan ia hanya sebatas bertugas mengantarkan. Di sinilah gharar pasti merugikan salah satu pihak dan tepat kalau kemudian diharamkan.

Kasus yang sama banyak ditemukan pada jual beli kendaraan atau barang elektronik yang barangnya belum dimiliki oleh penjualnya. Ia masih harus memesan dan belum tentu ada, sementara transaksi sudah terjadi. Demi selamat dari akad yang diharamkan ini, maka seorang pembeli semestinya akadnya sebatas memesan dahulu. Tidak dahulu bertransaksi jual beli karena memang barangnya belum ada. Demikian halnya dengan penjual cukup sebatas menerima pesanan dahulu jika barang yang diminta pembeli belum dimiliki.

Jual Beli Dua Akad

Jual beli dua akad dilarang dalam berbagai hadits, yaitu:

وَعَنْهُ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ

Dari Abu Hurairah ra: “Rasulullah saw melarang dua jual-beli dalam satu transaksi jual-beli.” Riwayat Ahmad dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibn Hibban (Bulughul-Maram no. 818).

وَلِأَبِي دَاوُدَ: مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوَكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا.

Dalam riwayat Abu Dawud: “Siapa melakukan dua jual-beli dalam satu transaksi, maka baginya harga yang murah atau ia termasuk riba (kelebihan dari harga yang lebih rendah itu adalah riba).” (Bulughul-Maram no. 819)

Imam at-Tirmidzi menjelaskan dalam kitab Sunannya ketika menjelaskan hadits di atas: “Maksudnya seorang penjual yang mengatakan aku jual kain ini dengan kontan 10 dinar, dan jika kredit 20 dinar, dan tidak ditentukan salah satu yang disepakati, tetap berlaku dua-duanya. Jika disepakati salah satunya, tidak termasuk yang dilarang hadits ini.”

Dalam jual beli kredit kendaraan biasanya ada akad: Harga kredit 23 bulan: 230 juta. Jika lunas dalam 12 bulan: 205 juta. Kedua-duanya diberlakukan dan disanggupi oleh pembeli secara gambling antara yang 23 bulan atau 12 bulan. Dalam kasus ini maka siapapun yang membeli umumnya menyanggupi yang 12 bulan. Kalau ternyata jatuh tempo/penalti, sehingga menjadi 23 bulan, maka kelebihan harga masuk kategori riba, karena ada tambahan harga disebabkan tempo yang ditambah. Maka agar aman dari transaksi haram ini, seharusnya dipilih salah satu akad; 12 bulan atau 23 bulan. Tetapi kalau dipilih yang 12 bulan, ketika ada keterlambatan tidak boleh ada tambahan harga karena jadi riba. Demikian halnya ketika terlambat dari 23 bulan. Kalau ternyata lunas sebelum habis temponya dan kemudian mendapatkan potongan harga, ini halal karena bukan riba.

Model dua akad yang dimaksud hadits di atas juga bisa sebagaimana dijelaskan hadits berikut:

وَعَنْ عَمْرِوِ بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ, وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ, وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ. رَوَاهُ الْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَالْحَاكِمُ

Dari ‘Amr ibn Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya: Rasulullah saw bersabda: “Tidak halal pinjam dan jual-beli, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan yang belum terjamin, dan menjual yang tidak kamu miliki.” Riwayat Lima Imam. Hadits shahih menurut at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan al-Hakim (Bulughul-Maram no. 820).

Akad pinjam dan jual-beli itu, tafsirannya yang paling jelas menurut Syaikh al-Bassam adalah seseorang menjual satu barang dengan memberinya pinjaman. Mengutip penjelasan Ibnul-Qayyim, contohnya seseorang A memberikan pinjaman 1.000 dinar kepada B, dengan syarat B membeli dari A satu barang yang harganya 1.000 dinar dimana harga pokoknya hanya sebesar 800 dinar saja. Jadinya A memberikan kepada B senilai 1.800 dinar, dan B harus membayar kepada A sebesar 2.000 dinar. A menarik keuntungan 200 dinar dari akad pinjam dan jual beli ini. Di sini ada riba, karena dari pinjaman yang diberikan ia menarik keuntungan meski melalui akad jual beli. Akad jual belinya tidak bisa disebut murni keuntungan jual beli karena disatukan dengan pinjaman. Kelebihan dari pinjaman hukum asalnya adalah riba (Taudlihul-Ahkam min Bulughil-Maram).

Dua syarat dalam satu jual beli bentuknya sama dengan yang sudah dijelaskan dalam “dua jual-beli dalam satu transaksi jual-beli”. Demikian halnya menjual yang tidak dimiliki sudah dijelaskan di atas.

Praktik “jual beli dua akad” hari ini terdapat juga dalam leasing (sewa-beli) kendaraan bermotor. Akad sewa itu sama dengan akad pinjam, jadi leasing bisa masuk pada akad “pinjam dan jual-beli”. Bisa juga masuk pada “dua transaksi dalam satu transaksi”. Faktanya dalam satu transaksi jual beli sepeda motor misalnya, ada dua transaksi sekaligus; sewa dan beli. Disebut sewa tidak sepenuhnya, sebab biaya service rutin dan kerusakan tidak dari dealer—sebagai pemilik barang/pemberi sewa, biaya sewa juga jika diukurkan pada cicilan bulanannya, tidak wajar disebut biaya sewa. Disebut beli, tidak sepenuhnya juga, sebab ketika telat cicilan, direbut paksa oleh dealer, tanpa dibeli lagi. Model leasing seperti ini jelas gharar-nya.

Jual Beli Panjar

Praktik jual beli dengan memberlakukan uang muka (panjar, down payment/DP) lumrah terjadi dalam transaksi ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Umumnya uang muka tersebut kemudian hangus jika transaksi dibatalkan sepihak oleh pembeli. Pihak pembeli ada banyak yang merasa dirugikan, meski tidak sedikit juga ada pihak penjual yang merasa dirugikan. Dalam kasus pembelian tidak jadi sementara uang muka sudah masuk dan tidak dapat kembali, pihak pembeli merasa dirugikan. Dalam kasus pihak penjual sudah mengeluarkan modal untuk memenuhi pesanan pembeli, tetapi tiba-tiba dibatalkan dan uang muka dari pembeli tidak cukup menutupi besarnya modal yang sudah dikeluarkan, pihak penjual juga merasa dirugikan.

وَعَنْهُ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ. رَوَاهُ مَالِكٌ, قَالَ: بَلَغَنِي عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, بِهِ

Dari ‘Amr ibn Syu’aib: “Rasulullah saw melarang jual beli panjar (memberlakukan uang muka yang hangus jika pembeli membatalkan transaksi—pen).” Malik meriwayatkannya. Ia berkata: “Sampai kepadaku dari ‘Amr ibn Syu’aib dengan khabar itu.” (Bulughul-Maram no. 821)

Hadits di atas dari selintas saja terlihat dla’if karena ‘Amr ibn Syu’aib yang menjadi sumber hadits tidak sezaman dengan Nabi saw. Ditelusuri dari sanad-sanad lainnya pun, hadits di atas ternyata memang dla’if (at-Talkhishul-Habir bab al-buyu’ al-manhiy ‘anha no. 1174). Meski demikian, jumhur ulama selain madzhab Imam Ahmad ibn Hanbal, pada umumnya merujuk pada dalil-dalil umum tentang haramnya jual beli yang menerapkan syarat fasid (merusak/merugikan sepihak), haramnya gharar (gambling), dan haramnya memakan harta dengan cara bathil yang tidak didasari ‘an taradlin (saling ridla). Sehingga kesimpulannya pun menjadi haram. Hadits shahih berikut bisa dijadikan penguatnya.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ, فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا. بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ?

Dari Jabir ibn ‘Abdillah—semoga Allah meridlai mereka berdua—ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Seandainya kamu menjual buah-buahan kepada saudaramu (di saat buahnya masih dalam pohon dan belum matang), lalu ternyata terkena wabah, maka tidak halal bagimu mengambil sedikit pun uang penjualan darinya. Dengan alasan apa kamu mengambil harta saudaramu secara tidak haq?” (Shahih Muslim kitab al-musaqah bab wadl’il-jawa`ih no. 4058)

Hadits ini dari kesemua variasi matannya diketahui sebagai praktik jual beli salam; pembayaran uang di muka, yang dibayarkan oleh pembeli kepada petani sebelum buah-buahan matang. Jika ternyata buah-buahannya terkena wabah, maka uang yang sudah dibayarkan di muka itu tidak halal menjadi milik penjual, karena memang pembeli tidak mendapatkan barang yang dibelinya atau tidak jadi jual belinya. Statusnya ghair haq; tidak haq atau bathil, karena menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Maka dari itu setiap jual beli yang memberlakukan uang muka seperti kejadian pada hadits di atas statusnya haram, karena pembeli tidak mendapatkan barangnya, sementara penjual menerima uang mukanya.

Kasusnya berbeda lagi kalau ternyata pembatalan jual beli itu merugikan penjual. Dalam hal ini kembali lagi pada dalil yang umum harus ‘an taradlin (saling ridla). Jika faktanya penjual sudah mengeluarkan modal untuk menyiapkan barang yang akan dibeli pembeli, lalu tiba-tiba pembeli membatalkannya dan uang muka yang sudah dibayarkannya tidak dapat menutupi kerugian penjual atas modal yang sudah dikeluarkannya, maka pembeli yang membatalkan tersebut harus memberi ganti rugi yang sesuai atas modal yang sudah dikeluarkan oleh penjual.

Jual Beli dengan Menipu

Dalam hadits, ini di antaranya dipraktikkan dengan cara shubrah; barang-barang dagangan ditumpukkan secara acak, disatukan antara yang bagus dan jelek, dan yang diperlihatkan barang yang bagusnya. Untuk zaman sekarang disebut jual beli kucing dalam karung. Tidak jelas barang yang ada dalam karungnya bagaimana, tidak boleh dibuka dan dipilih, harus diterima apa adanya dalam karung, tetapi yang diperlihatkan yang bagusnya saja. Praktik dagang seperti ini sama dengan menipu. Nabi saw melarangnya dengan keras.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ, فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا, فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ? قَالَ: أَصَابَتْهُ اَلسَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ. فَقَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ اَلطَّعَامِ; كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ? مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw pernah melewati sebuah tumpukan makanan (yang dijual seseorang). Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut dan jari-jarinya menyentuh yang basah. Maka beliau bertanya: “Apa ini wahai penjual makanan?”. Ia menjawab: Terkena hujan wahai Rasulullah. Beliau bersabda: “Mengapa tidak engkau letakkan di bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya? Siapa yang menipu maka ia bukan termasuk golonganku.” Riwayat Muslim (Bulughul-Maram no. 836).

Atau ada juga modelnya di zaman Nabi saw menjual sapi dengan teteknya yang diikat. Jadi air susunya tidak keluar dan sapi pun kelihatan gemuk. Setelah dibeli dan diperah susunya baru ketahuan ternyata sapi itu kurus. Praktik seperti ini juga termasuk gharar dan haram.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لاَ تَصُرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ, فَمَنِ اِبْتَاعَهَا بَعْدُ فَإِنَّهُ بِخَيْرِ اَلنَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا, إِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا, وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِمُسْلِمٍ: فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ. وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ عَلَّقَهَا الْبُخَارِيُّ: رَدَّ مَعَهَا صَاعاً مِنْ طَعَامٍ, لَا سَمْرَاءَ. قَالَ الْبُخَارِيُّ: وَالتَّمْرُ أَكْثَرُ

Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda: “Janganlah menahan susu unta dan kambing. Siapa yang sudah membelinya ia boleh memilih yang lebih baik antara dua hal setelah memeras susunya; yaitu jika ia mau, ia boleh menahannya (tidak membatalkan jual belinya), dan jika tidak, ia boleh mengembalikannya (membatalkan jual belinya) dengan (membayar) satu sha’ kurma (untuk mengganti susu yang sudah diperahnya).” Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: “Ia boleh memilih selama tiga hari.” Menurut riwayatnya yang ditulis tanpa sanad oleh al-Bukhari: “Ia mengembalikannya beserta satu sha’ makanan, bukan gandum.” Al-Bukhari berkata: “Riwayat yang menyebut kurma lebih banyak.” (Bulughul-Maram no. 834)

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: مَنِ اِشْتَرَى شَاةً مَحَفَّلَةً فَرَدَّهَا, فَلْيَرُدَّ مَعَهَا صَاعًا. رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ. وَزَادَ اَلْإِسْمَاعِيلِيُّ: مِنْ تَمْر

Ibnu Mas’ud ra berkata: “Siapa membeli seekor kambing yang penuh susunya (tidak diperah), lalu ia mengembalikannya (sesudah diperah susunya), maka hendaknya ia mengembalikannya beserta satu sha’ (kurma).” Riwayat al-Bukhari. Al-Isma’ili menambahkan: “Satu sha’ kurma.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button