Konferensi Tipu-Tipu Gaza

Konferensi Tipu-Tipu Gaza
Namanya Konferensi Tingkat Tinggi Perdamaian Gaza (Summit for Peace; Agreement to End The War in Gaza). Penggagasnya Mesir dan Amerika Serikat yang dari awal mendukung genosida Gaza. Dihadiri oleh Negara-negara yang sudah mengakui keabsahan Israel atau akan mengakuinya seperti Indonesia. Sementara dari pihak Gaza yakni Hamas tidak diikutsertakan. Kesepakatan perdamaian itu sendiri isinya harus dengan mengakui keabsahan penjajah Israel dan menghentikan jihad memerdekakan Palestina. KTT seperti ini lebih mirip dengan Konferensi Tipu-Tipu untuk melanggengkan penjajahan Israel setelah mereka merasa puas menghabiskan satu generasi pejuang di Gaza.
Berstatus Konferensi Tingkat Tinggi maka yang hadir langsung Kepala Negara dari setiap Negara yang diundang. Dari Indonesia, Presiden Prabowo langsung yang menghadiri KTT yang diselenggarkan di Sharmus-Syaikh, Mesir, 13 Oktober 2025 tersebut tanpa diwakilkan kepada pejabat lain. Negara-negara lain yang turut hadir atas undangan Mesir dan Amerika Serikat adalah Saudi Arabia, Turki, Qatar, Uni Emirat Arab, Yordania, Prancis, Inggris, Jerman, Italia, Spanyol, Rusia, China, Jepang, Afrika Selatan, Otoritas Palestina, Israel, PBB, dan Uni Eropa.
Sebagaimana diberitakan setkab.go.id, setibanya di International Congress Centre, Presiden Prabowo disambut secara langsung oleh Presiden Republik Arab Mesir, Abdel Fattah El-Sisi. Setelahnya, Presiden Prabowo bersama para pemimpin negara peserta KTT menuju area sesi foto bersama. Sebelum foto bersama, setiap pemimpin berfoto berdua dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump selaku Co-Chair dari KTT Perdamaian Sharm El-Sheikh. Usai melakukan sesi foto, Presiden Prabowo bersama para kepala negara lainnya bergerak menuju ruang utama acara penandatanganan dokumen perdamaian. Dokumen tersebut ditandatangani oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Presiden El-Sisi, Presiden Republik Turkiye Recep Tayyip Erdogan, dan Emir Qatar Syekh Tamim bin Hamad Al Thani.
Menurut laporan Middle Eyes East, sebagaimana dikutip dari nuonline, terdapat enam poin kesepakatan perdamaian:
- Presiden Trump mengumumkan berakhirnya perang di Jalur Gaza, dan bahwa para pihak telah sepakat untuk menerapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk tujuan tersebut.
- Perang akan segera berakhir setelah mendapat persetujuan dari pemerintah Israel. Semua operasi militer, termasuk pemboman udara dan artileri serta operasi penargetan, akan ditangguhkan. Selama periode 72 jam, pengawasan udara di wilayah-wilayah yang telah ditarik mundur oleh pasukan IDF akan ditangguhkan.
- Segera dimulainya penyaluran bantuan dan pertolongan kemanusiaan secara penuh sebagaimana ditentukan dalam Proposal, dan minimal sesuai dengan perjanjian 19 Januari 2025 mengenai bantuan kemanusiaan. Langkah-langkah pelaksanaan bantuan dan pertolongan kemanusiaan terlampir di sini.
- IDF akan mundur ke garis yang disepakati, sesuai peta X terlampir, dan ini akan selesai setelah pengumuman Presiden Trump dan dalam waktu 24 jam setelah persetujuan pemerintah Israel. IDF tidak akan kembali ke wilayah yang telah ditariknya, selama Hamas sepenuhnya melaksanakan perjanjian tersebut.
- Dalam waktu 72 jam setelah penarikan pasukan Israel, semua sandera Israel, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, yang ditahan di Gaza akan dibebaskan (daftar terlampir).
- Suatu gugus tugas akan dibentuk yang terdiri atas wakil-wakil dari Amerika Serikat, Qatar, Mesir, Turki, dan negara-negara lain yang disepakati oleh para pihak, untuk menindaklanjuti pelaksanaan dengan kedua belah pihak dan berkoordinasi dengan mereka.
Usai penandatanganan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberikan keterangan pers di hadapan awak media internasional. Dengan gaya khasnya, Presiden Trump menyampaikan apresiasi kepada sejumlah pemimpin dunia yang hadir dan berperan dalam terwujudnya kesepakatan tersebut. “Bersama dengan kita adalah Presiden Prabowo, sosok luar biasa dari Indonesia,” ujar Presiden Trump, sembari menoleh ke arah Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto yang berdiri di antara para pemimpin negara lain. Dalam momen itu, kedua Kepala Negara melangkah mendekat dan berjabat tangan.
Bagi Pemerintah Indonesia, keterlibatan aktif dalam proses perdamaian di Gaza adalah refleksi dari komitmen jangka panjang untuk turut menjaga tatanan dunia yang damai, adil, dan berkeadaban sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Meski demikian, konferensi perdamaian Gaza di Sharm El Sheikh, Mesir, tersebut masih menyisakan beberapa kejanggalan. Di antaranya sebagaimana dikemukakan oleh Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia yang turut diundang untuk hadir dalam KTT tersebut tetapi sengaja menolak hadir karena ada syarat yang tidak dipenuhi oleh Mesir dan AS selaku penggagas perdamaian ini.
Sebagaimana diberitakan republika.co.id, Anwar Ibrahim menjelaskan: “Kami di antara sedikit negara yang memberikan syarat dukungan. Kebanyakan negara, termasuk yang hadir di Sharm El-Sheikh, mengekspresikan dukungan penuh,” kata Anwar saat berbicara di Dewan Rakyat, Selasa, dikutip Malay Mail.
“Negara-negara yang diundang adalah mereka yang mendukung 20 poin rencana perdamaian. Malaysia tidak dimasukkan karena dukungan kami disertai dengan syarat,” kata Anwar.
Anwar menegaskan, posisi Malaysia terkait masalah perdamaian Gaza tetap pada satu syarat, yakni inisiatif perdamaian apapun harus memasukkan sebuah solusi komprehensif yang mengakui Palestina sebagai sebuah negara merdeka dan jaminan atas hak kembalinya warga Palestina dari pengungsian.
Penilaian kritis yang sama dikemukakan juga oleh Anwar Abbas, Ketua PP. Muhammadiyah. Dalam rilisnya yang disebarkan ke berbagai media, sebagaimana dikutip dari republika.co.id, Anwar Abbas menyatakan bahwa dari peserta yang hadir, sudah dapat diperkirakan bahwa KTT tidak akan bisa menghasilkan kesepakatan yang maksimal yang menjamin bagi terciptanya perdamaian di Gaza. Donald Trump sebagai pimpinan konferensi adalah pihak yang tidak mendukung berdirinya negara Palestina. Jadi, KTT ini jelas hanya akan diperalat oleh Amerika untuk memperkuat kembali aliansinya dengan negara-negara Eropa Barat bagi membela kepentingan Israel.
Menurut Anwar Abbas, sudah dapat diperkirakan Donald Trump lewat KTT ini akan membuat sebuah STRATEGI ANTARA: AS, sebelum mendukung dan menyerahkan Gaza sepenuhnya di bawah kendali Israel. Trump akan menggiring peserta konferensi untuk mendukung dibentuknya pemerintahan transisi di Gaza dengan Amerika Serikat sebagai kepala pemerintahannya.
Anwar Abbas sepenuhnya yakin Amerika dengan kekuatan ekonomi dan politik yang dimilikinya akan mampu membangun kembali Gaza yang sudah hancur lebur. Tetapi pertanyaannya, bila situasi di Gaza sudah pulih di mana sarana prasarana sudah dibangun kembali dan keadaan di Gaza sudah terkendali, apakah Amerika dan Trump akan menyerahkan pengurusan Gaza kepada Otoritas Palestina? Jelas tidak, karena bagaimana mungkin dia akan menyerahkannya kepada Otoritas Palestina sementara dia tidak ingin negara Palestina berdiri.
Jadi, tegas Anwar Abbas, konferensi ini tidak ubahnya sebuah KTT yang tidak menjanjikan harapan karena sangat sarat dengan Tipu-Tipu Tingkat Tinggi (KTT-TT) yang dilakukan oleh Trump dan Amerika, yang ujung-ujungnya akan menguntungkan pihak Israel dan merugikan rakyat dan bangsa Palestina.
Merujuk enam poin kesepakatan yang dirilis Middle Eyes East di atas, semuanya menyesuaikan dengan keinginan Israel; mulai dari penarikan pasukan, pembebasan sandera, sampai masuknya truk bantuan kemanusiaan. Penarikan pasukan Israel bahkan bukan merujuk pada resolusi PBB tahun 1947 dan 1967 yang keduanya pun sebenarnya melegalkan penjajahan Israel atas Palestina. Tetapi berdasarkan keinginan Israel untuk tetap bisa menjajah Gaza.
Jika merujuk para penandatangan kesepakatan di Konferensi tersebut, berarti Pemerintahan transisi yang akan dibentuk itu akan dijalankan oleh AS, Mesir, Turki, dan Qatar. Sama sekali tidak melibatkan pemerintahan Gaza/Hamas atau Otorita Palestina. Keberpihakan empat Negara tersebut kepada Israel sudah sangat jelas dan itu ditandai dengan hubungan diplomatik yang mereka bangun dengan Israel. Apalagi dengan kehadiran AS yang terus menyuarakan tidak akan menyetujui berdirinya negara Palestina. Jadi model yang seperti apakah perdamaian Gaza yang diinginkan tersebut? Perdamaian dengan syarat Gaza tidak membentuk pemerintahan Palestina mandiri? Perdamaian dengan syarat Israel tidak mengembalikan lagi tanah yang sudah dirampasnya dari Palestina? Yang seperti ini bukan perdamaian, melainkan melanggengkan penjajahan.
Puja-puji Donald Trump kepada Presiden Prabowo sejujurnya sangat mengkhawatirkan umat Islam Indonesia. Itu pertanda yang jelas bahwa Indonesia sudah menyetujui model penyelesaian konflik di Palestina sesuai keinginan AS. Berbeda jauh dengan Malaysia yang tetap kritis karena solusi konflik yang ditawarkan AS tetap tidak berpihak kepada rakyat Palestina. Apakah itu berarti Indonesia akan mengakui penjajahan Israel atas 80% lebih wilayah Palestina? Apakah itu berarti Pemerintah RI akan secara terang-terangan menentang Pembukaan UUD 1945 yang tidak menyetujui sedikit pun penjajahan di muka bumi? Ataukah ada strategi khusus dari Presiden Prabowo untuk menghentikan sementara genosida di Gaza tetapi ujung-ujungnya harus dengan memerdekakan Palestina dari semua wilayah jajahan Israel? Meski sangat kecil kemungkinannya, umat Islam hanya bisa berharap, berdo’a, membantu sekuat tenaga, dan terus bersuara kritis demi kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel.
Wal-‘Llahul-Musta’an.



