Gadai Sawah

Bismillah. Ustadz maaf mau tanya. Ada yang mau menggadaikan sawah kepada saya. Hasil sawah tersebut katanya nanti dibagi dua dengan saya. Bagaimana hukum gadai seperti itu? 08139423xxxx
Gadai itu termasuk akad pinjam-meminjam. Penggadai meminjam uang dengan barang jaminan berupa barang gadai tersebut. Maka dari itu berlaku hukum pinjam-meminjam secara umum, yaitu: Pertama, tidak boleh ada manfaat lebih yang harus diberikan oleh peminjam kepada pihak yang meminjamkan. Pemberian manfaat yang lebih dari pinjaman ini termasuk riba. Nabi saw bersabda:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap utang yang menarik manfaat adalah riba (Hadits hasan riwayat al-Harits ibnu Abi Usamah. Bulughul-Maram kitab al-buyu’ bab ar-riba no. 881-883).
Maka dari itu peminjam hanya dibenarkan membayar sebatas uang yang dipinjamnya saja. Jika misalnya 10 juta, maka ia hanya wajib membayar 10 juta. Pemberi pinjaman juga demikian, ia hanya berhak menerima 10 juta. Tidak boleh lebih. Maka jika ada selain dari 10 juta itu yang ia terima dan itu berdasarkan kesepakatan bersama yang dibuat sebelumnya, seperti misalnya pemberi pinjaman berhak mendapatkan uang kadeudeuh 500 ribu, berhak memakan buah tanaman yang dimiliki peminjam, menggarap sawah yang dimiliki peminjam, menikmati hasil sawah yang dimiliki peminjam, menggunakan sepeda motor/mobil yang dimiliki peminjam, meminum susu yang sapinya dimiliki peminjam, semua itu termasuk riba.
Kedua, konsekuensi dari aturan di atas maka pinjam-meminjam tidak mengalihkan hak milik dan hak guna pakai satu barang. Sehingga barang gadai pun tetap menjadi hak milik penggadai/peminjam. Penerima gadai/pemberi pinjaman tidak berhak sedikit pun memanfaatkan barang gadai tersebut. Jika ia hendak memanfaatkan barang gadai tersebut, maka ia harus bayar nafaqah.

لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ، لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ

“Gadai tidak menghalangi kepemilikan yang menggadaikan atas barang yang digadaikannya. Keuntungannya baginya (yang menggadaikan) dan kerugian juga tanggung jawabnya (yang menggadaikan).” (Riwayat as-Syafi’i, ad-Daraquthni dan al-Hakim. Bulughul-Maram no. 879)

اَلرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

Binatang yang digadaikan boleh ditunggangi jika dibayar nafaqahnya, dan susu dari hewan yang digadaikan boleh diminum jika dibayar nafaqahnya. Dan bagi orang yang menunggangi dan memimumnya wajib membayar nafaqahnya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-buyu’ bab ar-rahn markubun wa mahlubun no. 2512).
Kalau kemudian ada niat baik dari peminjam ingin memberi sesuatu kepada yang meminjamkan karena hendak berterima kasih atas bantuan yang diberikannya, maka ini antara mubah dan haram. Mubah jika murni didasari niat tulus. Haram jika sudah menjadi budaya/adat kebiasaan yang mana peminjam harus merasa malu jika tidak memberi kepada pemberi pinjaman. Yang seperti ini sudah termasuk riba dan risywah (suap atau gratifikasi [pemberian hadiah yang sudah menjadi adat/sistem yang harus diikuti]). Wal-‘Llahu a’lam