Dua Wajah Kontras Tiga Tanah Suci

Dua Wajah Kontras Tiga Tanah Suci
Tiga tanah suci umat Islam; Masjid Haram, Nabawi, dan Aqsha, memiliki dua wajah kontras yang berbeda. Masjid Haram dan Nabawi dikunjungi dengan aman sepanjang tahun 24 jam setiap harinya, seakan-akan jantung yang tak pernah berhenti berdetak. Sementara Masjid Aqsha dalam kondisi yang mencekam. Sekedar memperlihatkan gambarnya dan bendera Palestinanya pun, polisi Makkah dan Madinah, sama halnya dengan polisi Mesir, langsung merampasnya dan menginterogasi pembawanya. Jangankan memasukinya dengan aman, sekedar memperlihatkan simpati atas kesuciannya pun seolah-olah diharamkan.
Wajah Makkah dan Madinah sebagai tanah suci tampak nyata. Bahkan pemeluk agama lain pasti iri melihat aktifitas dua tanah suci atau Haramain ini. Setiap harinya selama 24 jam dan sepanjang tahun tidak pernah berhenti orang-orang Islam berkunjung untuk beribadah di sana dari berbagai penjuru dunia. Puncaknya ketika ibadah haji di bulan-bulan haji; Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Bisa dipastikan tidak ada satu pun tempat yang disucikan oleh pemeluk agama lain yang dikunjungi seaktif dan sebanyak Makkah dan Madinah oleh umat Islam. Padahal kalangan fuqara dan masakinnya masih banyak yang memendam asa karena belum bisa berkunjung ke dua tanah suci tersebut. Ini semua di antara nikmat Allah swt yang nyata untuk umat ini sekaligus bukti nyata kebenaran agama Islam (baca QS. Al-Ma`idah [5] : 97).
Akan tetapi pemandangan serupa tidak terlihat pada tanah suci yang satunya lagi di mana Masjid Aqsha berada. Padahal berulang kali Allah swt sebutkan tanah di mana Masjid Aqsha berada (yakni negeri Syam meliputi Palestina, Suriah, Yordania) adalah tanah yang diberkahi. QS. Al-Isra` [17] : 1 tegas menyebutkan demikian. Ditambah QS. ad-Dukhan [44] : 25-28, al-A’raf [7] : 137, al-Anbiya [21] : 71 dan 81, dan Saba` [34] : 18. Semuanya menyebutkan sebagai tanah yang diberkahi di mana tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan tumbuh subur di sana. Dalam penafsiran al-Anbiya [21] : 71, al-Hafizh Ibn Katsir menuliskan riwayat dari Ubay ibn Ka’ab ra, bahwa di Syam banyak sumber mata air tawar segar yang muncul dari balik bebatuan.
Maka dari itu Nabi saw sering mengaitkan ketiganya dalam berbagai haditsnya. Salah satu yang populer di antaranya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ ﷺ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Tidak ditekankan rihlah/bepergian kecuali ke tiga masjid; al-Masjidul-Haram, Masjid Rasul saw, dan Masjidul-Aqsha.” (Shahih al-Bukhari bab fadllis-shalat fi masjid Makkah wal-Madinah no. 1189; Shahih Muslim bab la tusyaddur-rihal illa ila tsalatsah masajid no. 3450-3451).
Rihlah yang dimaksud adalah rihlah untuk shalat dan beribadah di dalamnya, bukan untuk menjadikannya sebagai tempat keramat yang diyakini akan memberikan keajaiban dalam hidup sebagaimana halnya jimat dan jampi-jampi bagi orang-orang musyrik. Maka dari itu dalam berbagai kesempatan, Nabi saw menjelaskan:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ : صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ، وَصَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ
Dari Jabir ibn ‘Abdillah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Shalat di masjidku ini lebih baik daripada 1.000 shalat di masjid lainnya, kecuali al-Masjidul-Haram. Shalat di al-Masjidul-Haram lebih baik daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (Musnad Ahmad bab musnad Jabir ibn ‘Abdillah ra no. 15271).
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: تَذَاكَرْنَا وَنَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَيُّهُمَا أَفْضَلُ: مَسْجِدُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَوْ مَسْجِدُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ : صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ فِيهِ، وَلَنِعْمَ الْمُصَلَّى، وَلَيُوشِكَنَّ أَنْ لَا يَكُونَ لِلرَّجُلِ مِثْلُ شَطَنِ فَرَسِهِ مِنَ الْأَرْضِ حَيْثُ يَرَى مِنْهُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
Dari Abu Dzar ra ia berkata: Kami berbincang-bincang di dekat Rasulullah saw tentang mana yang lebih baik; masjid Rasulullah saw atau masjid Baitul-Maqdis. Maka Rasulullah saw bersabda: “Shalat di masjidku ini lebih baik daripada empat shalat di sana, dan sungguh itu adalah tempat shalat yang baik. Hampir dekat masanya seseorang tidak memiliki tanah seperti seukuran tali kekang kuda yang terlihat darinya Baitul-Maqdis yang itu lebih baik baginya daripada dunia dan seisinya.” (Al-Mustadrak al-Hakim kitab al-fitan wal-malahim no. 8553).
Catatan khusus: Keberadaan sejengkal tanah yang terlihat Baitul-Maqdis/Masjid Aqsha di sana, yakni Palestina, sebagai lebih baik daripada dunia dan seisinya, saat ini sudah dan sedang dialami, mengingat tanah itu selama 78 tahun terakhir diperebutkan dan susah dimiliki kembali oleh para pendamba Masjid Aqsha.
Jika shalat di Masjid Nabawi pahalanya 1.000 kali shalat di masjid lainnya selain Masjid Haram, lalu pahala shalat di Masjid Nabawi empat kali pahala shalat di Masjid Aqsha, itu berarti shalat di masjid Aqsha pahalanya 250 kali shalat di masjid lain selain Masjid Haram dan Masjid Nabawi. Bahkan dalam hadits lain, Nabi saw berdo’a agar siapapun yang sengaja datang ke Masjid Aqsha dengan niat utamanya untuk shalat di sana, dosa-dosanya bisa diampuni seperti ketika ia baru dilahirkan oleh ibunya.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ : أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ دَاوُدَ لَمَّا بَنَى بَيْتَ الْمَقْدِسِ سَأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ خِلَالًا ثَلَاثَةً: سَأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حُكْمًا يُصَادِفُ حُكْمَهُ فَأُوتِيَهُ، وَسَأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ فَأُوتِيَهُ، وَسَأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حِينَ فَرَغَ مِنْ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ أَنْ لَا يَأْتِيَهُ أَحَدٌ لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ فِيهِ أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ – فَنَحْنُ نَرْجُو أَنْ يَكُونَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ.
Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ra, dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Sesungguhnya Sulaiman ibn Dawud as ketika selesai membangun Baitul-Maqdis memohon kepada Allah awj tiga hal: (1) Memohon kepada Allah awj hukum yang sesuai hukum-Nya, lalu ia diberi; (2) memohon kepada Allah awj kerajaan yang tidak pantas bagi seorang pun sesudahnya, lalu ia diberi; (3) memohon kepada Allah awj ketika selesai membangun masjid tersebut agar tidak ada seorang pun yang menggerakkannya kecuali shalat di dalamnya untuk membersihkannya dari kesalahannya seperti hari ketika dilahirkan oleh ibunya (Sunan an-Nasa`i bab fadllil-masjidil-aqsha was-shalat fihi no. 693). Kami berharap Allah awj memberikan itu kepadanya (Musnad Ahmad bab musnad ‘Abdillah ibn ‘Amr ra no. 6644).
al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menjelaskan, ada beberapa riwayat dari Ibn Hisyam dan Ibn Abi Hatim yang menerangkan bahwa orang yang pertama kali membangun Masjid Haram dan Masjid Aqsha adalah Nabi Adam as. Jadi yang dimaksud Nabi Sulaiman as membangun Masjid Aqsha di atas adalah membangun ulang, bukan membangun yang pertama kali. Demikian halnya dengan hadits berikut yang menjelaskan perbedaan jarak waktu pembangunan Masjid Haram dan Masjid Aqsha 40 tahun.
عن أَبي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلَ قَالَ الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَهُمَا قَالَ أَرْبَعُونَ سَنَةً ثُمَّ أَيْنَمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ بَعْدُ فَصَلِّهْ فَإِنَّ الْفَضْلَ فِيهِ
Dari Abu Dzar ra ia berkata: Aku bertanya: ”Wahai Rasulullah, masjid mana yang pertama kali dibangun di muka bumi?” Beliau menjawab: ”al-Masjidul-Haram.” Aku bertanya: ”Kemudian yang mana lagi?” Beliau menjawab: ”al-Masjidul-Aqsha.” Aku bertanya: ”Berapa jarak di antara keduanya?” Beliau menjawab: ”40 tahun. Kemudian di mana pun sampai kepadamu waktu shalat sesudah itu, shalatlah, karena keutamaannya ada di sana (shalat di awal waktu di mana pun berada—pen).” (Shahih al-Bukhari bab qaulil-’Llah ta’ala wa-ttakhadzal-’Llah Ibrahim khalilan no. 3366; Shahih Muslim kitab al-masajid no. 1189-1190).
Menurut riwayat-riwayat yang ada, jelas al-Hafizh Ibn Hajar, pembangunan dua masjid mulia di atas adalah pada zaman Nabi Adam as. Perihal Ibrahim as yang sering disandingkan dengan pembangunan Masjid Haram dan juga Sulaiman as dengan Masjid Aqsha tidak berarti bahwa mereka berdua yang pertama kali membangunnya. Mereka berdua hanya membangun ulang (Fathul-Bari bab qaulil-’Llah ta’ala wa-ttakhadzal-’Llah Ibrahim khalilan). Wal-‘Llahu a’lam.
Satu hal yang jelas, ketiganya sama-sama sebagai tempat suci yang harus dikunjungi oleh umat Islam untuk beribadah. Ketiga-tiganya jelas milik umat Islam yang diwariskan oleh para Nabi as dan wajib dijaga sampai akhir zaman. Mengabaikannya, menelantarkannya, apalagi sampai rela melepaskannya ke tangan penjajah Yahudi merupakan sebuah kebiadaban karena itu pertanda tidak ada hati sama sekali untuk memuliakan ketiganya. Apalagi bersikap represif kepada siapa pun yang menyuarakan atau memperlihatkan simpati pada perjuangan umat Islam dalam membebaskan al-Aqsha dari tangan penjajah Yahudi. Mereka berarti berstatus sama sebagai penjajah sebagaimana penjajah Yahudi. Terserah apakah itu Pangeran Saudi Arabia, Presiden Mesir, atau bahkan Presiden Republik Indonesia sekalipun.
Wal-‘Llahul-Musta’an.



