
Berani-beraninya Bermain Api Israel
Aktivis UI berunjuk rasa memprotes kedatangan Prof. Peter Berkowitz yang dikenal pendukung zionisme mengisi kuliah umum di kampus Universitas Indonesia (UI). Disinyalir ada peran anggota Majelis Wali Amanat (MWA) UI, K.H. Yahya Cholil Staquf yang juga sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Utama (PBNU), sebab sepekan sebelumnya (15-16/8/2025) PBNU mengundang Berkowitz untuk mengisi Akademi Kepemimpinan Nasional (AKN) NU. Para petinggi Perguruan Tinggi dan ormas Islam berani-beraninya “bermain api” Israel untuk memaksakan normalisasi penjajahan Israel.
Para petinggi UI telah menyampaikan permintaan maaf secara resmi. Mereka mengaku khilaf tidak mengecek latar belakang pemikiran dan sepak terjang Prof. Peter Berkowitz. Meski mereka berdalih bahwa Berkowitz diundang hanya untuk menyampaikan orasi ilmiah seputar keilmuan sosial humaniora yang terkait keahliannya, tidak ada kaitannya dengan zionisme, mereka tetap menyatakan tulus meminta maaf. “Dengan segala kerendahan hati UI mengakui kurang hati-hati. Dan untuk itu UI meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat Indonesia atas kekhilafan dalam kekurangcermatan saat melakukan background check terhadap yang bersangkutan.” Demikian disampaikan oleh Direktur Humas, Media, Pemerintah, dan Internasional UI, Arie Afriansyah, dalam pernyataannya kepada media, Minggu (24/8/2025).
Lebih lanjut Arie menjelaskan, “UI tetap konsisten pada sikap dan pendirian berdasarkan konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang terus memperjuangkan agar penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, termasuk terdepan dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina menghadapi penjajahan yang dilakukan Israel. UI mendukung penuh kemerdekaan bagi bangsa Palestina. Hal ini disampaikan langsung oleh Rektor UI kepada Duta Besar Palestina saat kunjungannya ke UI pada 17 Januari 2025 yang lalu.”
Akan tetapi pernyataan permohonan maaf dari PBNU sampai tulisan ini dimuat tidak kunjung keluar. Ayik Heriansyah, Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat, di antara yang menyesalkan hal tersebut. Sebagaimana ditulisnya dalam akun Facebooknya, Ayik menegaskan bahwa isu Palestina bukanlah hal baru bagi Nahdlatul Ulama (NU). Sejak zaman Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, NU telah menunjukkan keberpihakan yang tegas terhadap rakyat Palestina dan penolakan terhadap segala bentuk penjajahan, termasuk oleh Israel.
Sebagai sebuah lembaga, terang Ayik, keberpihakan NU terhadap Palestina setidaknya dapat dibuktikan dengan fakta-fakta berikut ini:
Pertama, pada tahun 1937, KH. Hasyim Asy’ari memimpin penggalangan dana untuk rakyat Palestina melalui Palestina Fons dan Majelis Rajabiyah. Dana ratusan ribu gulden dikirimkan sebagai bentuk solidaritas terhadap bangsa yang tertindas.
Kedua, beliau juga menjalin komunikasi dengan Syekh H. M. Amin Al-Husaini, Ketua Kongres Islam Sedunia di Palestina, menegaskan bahwa perjuangan melawan penjajahan adalah bagian dari jihad kemanusiaan. Sikap ini bukan sekadar simbolik, melainkan prinsip ideologis yang menolak kolonialisme dalam bentuk apa pun, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah.
Ketiga, sejak 2023 NU melalui NU Care-LAZISNU dan Muslimat NU telah menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Palestina secara terstruktur dan internasional: (a) Lebih dari Rp. 15 miliar disalurkan ke Gaza, Khan Younis, Yerusalem, dan Tepi Barat. Bantuan mencakup air bersih, makanan, perlengkapan musim dingin, dan kurban. (b) Muslimat NU menambahkan Rp. 2 miliar untuk kebutuhan pokok dan kesehatan. Bantuan disalurkan melalui mitra di Turki, Mesir, Yordania, dan Palestina.
Keempat, di Jakarta, pada 30 April 2025, Forum Bahtsul Masail PWNU DKI Jakarta juga telah membahas isu-isu terkait Israel secara eksplisit: Boikot terhadap perusahaan yang mendukung agresi Israel dinyatakan sah secara syar’i. Akan tetapi, tuduhan terhadap perusahaan harus didasarkan pada bukti konkret, menunjukkan bahwa NU tetap menjunjung etika dalam perjuangan politik.
Namun, Ayik menyesalkan, beberapa tahun terakhir, arah diplomasi personal-kultural Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf telah memancing polemik dan perdebatan serius. Apakah NU masih konsisten berpihak pada keadilan atau mulai tergoda oleh dialog yang ambigu? Terlebih sebelumnya, Gus Yahya secara resmi melakukan kunjungan ke Israel pada 2018 dan pertemuannya dengan PM Benjamin Netanyahu pada waktu itu memicu kecaman luas. Ditambah kehadiran Peter Berkowitz, akademisi pro-Zionis, sebagai narasumber dalam Akademi Kepemimpinan Nasional NU (AKN NU) memperkuat kekhawatiran publik.
Kekhawatiran publik sebagaimana dikemukakan Ayik di atas lebih beralasan lagi karena pada bulan Juli 2024, lima tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) berkunjung ke Israel dan bertemu dengan Presiden Israel, Isaac Herzog, serta memamerkan kemesraan hubungan mereka di tengah-tengah konflik yang memanas antara Israel dengan rakyat Gaza. Untuk kasus ini memang PBNU sudah menyatakan menyalahkan kunjungan tersebut karena dianggap bertentangan dengan sikap NU yang mendukung Palestina dan sekaligus meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas kekeliruan lima tokoh muda NU tersebut.
Namun jauh sebelumnya, yang dijadikan tokoh utama di NU, Gus Dur, juga pernah melakukan hubungan persahabatan dengan Israel. Bahkan semasa ia menjabat sebagai Presiden, secara terang-terangan mengemukakan akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel meski tidak sempat terwujud karena tidak direstui MPR dan Gus Dur terlanjur lengser. Sangat mungkin langkah berani “bermain api” dari Yahya dan anak-anak muda yang sepikiran dengannya hanya sekedar melanjutkan apa yang sudah dirintis Gus Dur.
Sebagaimana diakui Yahya sendiri dalam pernyataan pers pada 16 Juli 2024 silam bahwa Gus Dur pernah sengaja datang ke Israel pada 1994 dan itu setelah meminta restu dari para kiai. Dirinya pun yang pada 2018 dahulu berkunjung ke Israel, itu setelah berkonsultasi dahulu ke para kiai NU. “Waktu saya ke sana, saya tidak pernah nyebut-nyebut NU kecuali Gus Dur yang saya katakan sebagai guru saya dan inspirator saya. Tapi segala sesuatunya saya pertanggungjawabkan secara pribadi,” tutur Yahya.
Yahya juga menjelaskan Gus Dur pergi ke Israel tidak asal datang untuk bertemu dengan sejumlah pihak. Gus Dur memiliki alasan strategis untuk bertemu Shimon Peres ketimbang Yitzhak Shamir. Gus Dur tahu betul posisi para elite politik Israel dan siapa yang harus diajak berkomunikasi dan didekati. Menurut Yahya, dirinya pun mencontoh Gus Dur bahkan berhubungan dalam skala lebih luas dengan para tokoh Yahudi di Amerika dan Eropa.
Pembelaan dari Yahya atas kunjungan Gus Dur dan dirinya sendiri ke Israel dengan misi tertentu, banyak diulas juga dalam portal resmi NU Online. Dalam tulisan “Mengapa Gus Dur Dulu Ingin Membangun Diplomasi dengan Israel?” dijelaskan bahwa Gus Dur bukan tidak tahu bagaimana penderitaan rakyat Palestina. Ia paham benar konflik yang terjadi di sana. Justru karena itu, pada saat ia menjadi Presiden, Gus Dur mewacanakan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Gagasan Gus Dur sederhana, Indonesia tidak mungkin bisa berperan dalam perdamaian Palestina dan Israel jika tidak menjalin hubungan diplomatik dengan keduanya.
Selain itu, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Gus Dur punya kepentingan taktis. Menurut Budiarto Shambazy dalam Damai Bersama Gus Dur (2010: 88), ada dua alasan yang diutarakan Gus Dur mengapa ia ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Pertama, Gus Dur ingin memastikan kapitalis George Soros, yang keturunan Yahudi, tidak mengacaukan pasar modal. Kedua, ingin meningkatkan posisi tawar Indonesia di Timur Tengah, sebab selama itu Timur Tengah tidak pernah membantu Indonesia menghadapi krisis. Daya dan posisi tawar Indonesia saat ini semakin kuat di tengah bangsa-bangsa Arab. Mereka kerap meminta bantuan kepada Indonesia untuk menghadapi konflik-konflik yang ada. Melalui Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Gus Dur dalam pandangan Budiarto Shambazy setidaknya mengintrodusir tiga elemen politik luar negeri, yaitu menjaga jarak yang sama dengan semua negara, hidup bertetangga dengan baik, dan kebajikan universal.
Semua alasan yang dikemukakan terkait hubungan Gus Dur atau Gus Yahya dengan Israel terang hanya dalih bohong belaka. Gus Yahya tidak bisa melepaskan status dirinya sebagai Sekretaris Jendral NU dan bahkan saat itu sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ketika ia datang berkunjung ke Israel. Israel mustahil menerima kunjungannya jika tidak melihat status jabatan yang disandangnya. Apalagi terang-terangan sebagaimana dinyatakannya di atas bahwa ia datang sebagai murid ideologis Gus Dur yang juga mustahil dilepaskan dari identitas NU. Jadi pernyataan Gus Yahya bahwa ia hanya datang sebagai pribadi bisa dipastikan sebuah kebohongan belaka.
Demikian halnya alasan bahwa tujuan Gus Dur berhubungan baik dengan Israel untuk menciptakan perdamaian di Palestina. Perdamaian dalam konteks penjajahan itu hanya satu wujudnya; penjajah angkat kaki dari Palestina karena sudah terlalu banyak bukti sejarah bahwa bangsa Yahudi datang ke Palestina dengan cara merampas, membunuh, dan memerangi bangsa Palestina, dan itu semua dengan seizin dari Inggris dan Amerika. Tujuan mulia apa sebenarnya yang diinginkan Gus Dur selain hanya akan mengukuhkan penjajahan Israel atas wilayah Palestina? Apakah kedudukan Gus Dur sudah lebih tinggi dari Presiden Amerika dan Inggris atau Sekjen PBB sehingga ia sangat optimis bisa memaksa mundur Israel dari wilayah Palestina?
Wacana two state solution (solusi dua Negara; mengakui Israel dan Palestina sekaligus) yang sudah menjadi pilihan resmi Pemerintah RI hanyalah semacam gayung bersambut dari wacana-wacana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh pragmatis seperti Gus Dur dan Gus Yahya. Padahal wacana yang disepakati melalui kesepakatan Oslo pada 1993 itu dikecam oleh mayoritas ulama di dunia, sebab itu sama saja dengan melegalkan penjajahan Israel atas 80% wilayah Palestina. Pemerintah RI bersama-sama dengan Negara-negara Timur Tengah tampak tidak punya pilihan lain selain harus mengalah pada tekanan Amerika dan sekutunya untuk hanya mengakui solusi tersebut. Meskipun faktanya Amerika dan sekutu sampai saat ini belum kunjung mengakui status Negara Palestina karena mereka menetapkan syarat Palestina harus menjadi Negara yang tidak memiliki militer. Sebuah pikiran yang sangat absurd.
Pragmatisme seperti ini jelas merupakan pengkhianatan atas perjuangan bangsa Indonesia sendiri yang sudah menegaskan dalam UUD 1945 untuk tidak mengakui penjajahan sedikit pun melainkan harus dihilangkan dari muka bumi. Termasuk pembangkangan terhadap ajaran Islam yang mewajibkan jihad sampai titik darah penghabisan untuk melawan kaum penjajah yang mengusir umat Islam dari tanah air mereka. Wal-‘Llahul-Musta’an



