Konflik Duniawi Orang-orang Suci

Konflik Duniawi Orang-orang Suci
Konflik duniawi merupakan garis taqdir ilahi bahkan untuk orang-orang suci (umat Islam) sekalipun. Penyebabnya pasti karena perselisihan dalam kepentingan duniawi. Tetapi sepanjang sejarahnya orang-orang suci selalu bisa menempuh ishlah (perdamaian) dalam setiap konflik yang terjadi. Meski harus menempuh cara yang keras ketika berhadapan dengan para pembangkangnya. Hanya orang-orang yang diragukan kadar imannya saja yang memilih membiarkan konflik tetap membara atau malah memilih terus menyulutnya agar konflik tidak pernah padam.
Sejak peperangan yang paling awal; perang Badar, benih-benih konflik akibat pembagian harta rampasan perang sudah muncul di tengah-tengah para shahabat. Allah swt langsung memberikan bimbingannya di awal surat al-Anfal sebagai berikut:
يَسۡأَلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَنفَالِۖ قُلِ ٱلۡأَنفَالُ لِلَّهِ وَٱلرَّسُولِۖ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَأَصۡلِحُواْ ذَاتَ بَيۡنِكُمۡۖ وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١
Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman” (QS. Al-Anfal [8] : 1).
Ayat-ayat berikutnya kemudian mengingatkan umat Islam bahwa orang-orang beriman itu adalah orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan dzikir, lantunan bacaan ayat-ayat al-Qur`an, shalat, dan zakat sehingga melahirkan sifat tawakkal. Orang-orang yang sudah bagus dalam kesemua amal yang disebutkan ini mustahil akan terjebak pada konflik akibat pembagian harta yang dianggap tidak merata, sebab Nabi saw mustahil bertindak tidak adil. Kalaupun ada yang tidak terberi ataupun memperoleh sedikit itu karena memang bagiannya harus seperti itu. Pasti disikapi dengan tawakkal saja oleh orang-orang yang benar imannya seraya tetap berharap hanya kepada Allah swt, bukan bernafsu terus ingin memilikinya sehingga menimbulkan benih-benih konflik. Sifat yang terakhir ini hanya dimiliki oleh orang-orang munafiq.
وَمِنۡهُم مَّن يَلۡمِزُكَ فِي ٱلصَّدَقَٰتِ فَإِنۡ أُعۡطُواْ مِنۡهَا رَضُواْ وَإِن لَّمۡ يُعۡطَوۡاْ مِنۡهَآ إِذَا هُمۡ يَسۡخَطُونَ ٥٨ وَلَوۡ أَنَّهُمۡ رَضُواْ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ سَيُؤۡتِينَا ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ وَرَسُولُهُۥٓ إِنَّآ إِلَى ٱللَّهِ رَٰغِبُونَ ٥٩
Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya dengan serta merta mereka menjadi marah. Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS. At-Taubah [9] : 58-59)
Mendidikkan kesadaran ini cukup sulit dan perlu proses panjang serta dijalani dengan sabar. Buktinya di masa awal hijrah tepatnya pada awal syari’at shalat Jum’at sudah diajarkan untuk tidak tergiur dunia dengan mengorbankan khutbah Jum’at (QS. Al-Jumu’ah [62] : 11). Kemudian dalam momentum perang Badar diingatkan lagi sebagaimana disinggung di awal surat al-Anfal di atas. Tetapi pada perang Uhud rupanya masih saja ada yang belum mantap dengan kesadaran tawakkal ini sehingga menimbulkan konflik di antara sesama shahabat dan menjadi sebab utama kekalahan.
وَلَقَدۡ صَدَقَكُمُ ٱللَّهُ وَعۡدَهُۥٓ إِذۡ تَحُسُّونَهُم بِإِذۡنِهِۦۖ حَتَّىٰٓ إِذَا فَشِلۡتُمۡ وَتَنَٰزَعۡتُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِ وَعَصَيۡتُم مِّنۢ بَعۡدِ مَآ أَرَىٰكُم مَّا تُحِبُّونَۚ مِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلدُّنۡيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلدُّنۡيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلۡأٓخِرَةَۚ وَلَقَدۡ عَفَا عَنكُمۡۗ وَٱللَّهُ ذُو فَضۡلٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ١٥٢
Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang yang beriman (QS. Ali ‘Imran [3] : 152).
Maka dari itu, Nabi saw sering mengingatkan bahaya konflik akibat perselisihan kepentingan duniawi ini agar umat Islam tidak terjebak di dalamnya.
فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُلْهِيَكُمْ كَمَا أَلْهَتْهُمْ (وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ)
Maka demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takutkan menimpa kalian. Tetapi justru aku takut dunia dihamparkan untuk kalian sebagaimana dihamparkan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian saling bernafsu padanya sebagaimana mereka dahulu saling bernafsu, sehingga melalaikan kalian sebagaimana telah melalaikan mereka (dan membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka).” (Shahih al-Bukhari bab ma yuhdzaru min zahratid-dunya wat-tanafus fiha no. 6425. Keterangan dalam kurung dari sanad lain yang ditulis dalam bab al-jizyah wal-muwada’ah ma’a ahlidz-dzimmah no. 3158).
وَإِنِّي وَاللَّهِ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تُشْرِكُوا بَعْدِي وَلَكِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنَافَسُوا فِيهَا
Sungguh saya demi Allah tidak pernah takut kalian musyrik sepeninggalku. Tetapi yang aku takutkan kepada kalian adalah kalian saling bernafsu pada perbendaharaan bumi itu.” (Shahih al-Bukhari bab ma yuhdzaru min zahratid-dunya wat-tanafus fiha no. 6426).
Meski kemudian menimbulkan konflik yang parah hingga bentrokan senjata, status iman dari orang-orang beriman yang berkonfrontasi tersebut tidak menjadi gugur. Allah swt tetap menyebutkan mereka orang-orang beriman. Hanya Allah swt mengarahkan agar konflik itu tidak dibiarkan, melainkan harus segera di-ishlah-kan. Jika sesudah di-ishlah-kan masih ada pihak-pihak yang membangkang, maka harus diberi tindakan keras. Jika perlu dengan kekuatan senjata.
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي حَتَّىٰ تَفِيٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ فَإِن فَآءَتۡ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَا بِٱلۡعَدۡلِ وَأَقۡسِطُوٓاْۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٩
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (QS. Al-Hujurat [49] : 9).
Pada ayat berikutnya Allah swt menegaskan lagi ishlah sebagai sifat utama dari orang-orang beriman.
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٠
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (QS. Al-Hujurat [49] : 10).
Inilah yang dilakukan ‘Ali ibn Abi Thalib ra ketika di masa kekhilafahannya banyak konflik yang terjadi akibat pembunuhan khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan ra. Pihak keluarga Abu Bakar ra yang dimotori ‘Aisyah ra dan az-Zubair ibn al-‘Awwam yang mempertanyakan kebijakan ‘Ali ra terkait eksekusi pembunuh ‘Utsman ra, diajak ishlah oleh ‘Ali ra dan dijelaskan kepada mereka problematikanya sehingga tidak kunjung bisa dieksekusi hukuman untuk para pembunuh ‘Utsman ra karena memang susah menyelidikinya. Tetapi ketika beberapa orang munafiq memancing di air keruh dan menimbulkan pemberontakan, ‘Ali ra pun tidak ragu untuk menghadapinya dengan pasukan militer untuk memaksa mereka ishlah. Sejarah mencatat peristiwa ini dengan nama waq’atul-jamal; peristiwa unta, merujuk pada ‘Aisyah ra yang merupakan salah satu pemimpinnya yang menunggangi unta ketika rombongan lainnya menunggangi kuda perang.
Demikian halnya, ketika pihak keluarga ‘Utsman ra yang dimotori Mu’awiyah ra melakukan pembangkangan, diajak ishlah dahulu oleh ‘Ali ra untuk ikut berbai’at mengikuti sunnah Nabi saw. Ketika mereka bersikukuh dengan pendapatnya, ‘Ali ra terpaksa mengerahkan pasukan militer untuk memaksanya ishlah dalam sebuah peperangan di Shiffin, perbatasan Palestina-Irak. Barulah kemudian pihak Mu’awiyah ra bersedia ishlah dan sejarah menamainya peristiwa tahkim.
Terkait hal ini Imam an-Nawawi menjelaskan:
وَاعْلَمْ أَنَّ الدِّمَاء الَّتِي جَرَتْ بَيْن الصَّحَابَة لَيْسَتْ بِدَاخِلَةٍ فِي هَذَا الْوَعِيد، وَمَذْهَب أَهْل السُّنَّة وَالْحَقّ إِحْسَان الظَّنّ بِهِمْ وَالْإِمْسَاك عَمَّا شَجَرَ بَيْنهمْ، وَتَأْوِيل قِتَالهمْ، وَأَنَّهُمْ مُجْتَهِدُونَ مُتَأَوِّلُونَ لَمْ يَقْصِدُوا مَعْصِيَة وَلَا مَحْض الدُّنْيَا، بَلْ اِعْتَقَدَ كُلّ فَرِيق أَنَّهُ الْمُحِقّ وَمُخَالِفه بَاغٍ، فَوَجَبَ عَلَيْهِ قِتَاله لِيَرْجِع إِلَى أَمْر اللَّه. وَكَانَ بَعْضهمْ مُصِيبًا، وَبَعْضهمْ مُخْطِئًا مَعْذُورًا فِي الْخَطَأ؛ لِأَنَّهُ لِاجْتِهَادٍ، وَالْمُجْتَهِد إِذَا أَخْطَأَ لَا إِثْم عَلَيْهِ، وَكَانَ عَلِيّ هُوَ الْمُحِقّ الْمُصِيب فِي تِلْك الْحُرُوب. هَذَا مَذْهَب أَهْل السُّنَّة، وَكَانَتْ الْقَضَايَا مُشْتَبِهَة حَتَّى إِنَّ جَمَاعَة مِنْ الصَّحَابَة تَحَيَّرُوا فِيهَا فَاعْتَزَلُوا الطَّائِفَتَيْنِ وَلَمْ يُقَاتِلُوا وَلَمْ يَتَيَقَّنُوا الصَّوَاب، ثُمَّ تَأَخَّرُوا عَنْ مُسَاعَدَته مِنْهُمْ
Ketahuilah bahwasanya darah yang tercucur di antara shahabat tidak termasuk ke dalam ancaman di hadits ini. Madzhab Ahlus-Sunnah dan al-Haq berprasangka baik kepada mereka dan menahan diri dalam hal-hal yang terjadi di antara mereka, berusaha memahami dengan arti lain seputar peperangan di antara mereka, dan bahwasanya mereka itu berijtihad dan berta`wil, tidak bermaksud maksiat dan semata-mata mencari keuntungan dunia. Akan tetapi masing-masing mengira bahwa kelompoknya yang benar dan lawannya pembangkang (bughat), sehingga wajib diperangi sampai kembali pada urusan Allah. Sebagian shahabat tentu benar dan sebagiannya lagi keliru. Akan tetapi kekeliruan mereka diampuni karena berdasarkan ijtihad. Seseorang yang ijtihad itu jika ia keliru tidak akan berdosa. Dan adalah ‘Ali ra merupakan pihak yang benar dan tepat dalam peperangan tersebut. Ini adalah madzhab Ahlus-Sunnah. Akan tetapi kedudukan perkara di antara mereka sangat syubhat. Sehingga sekelompok shahabat ragu dan menjauhi kedua kelompok shahabat yang berkonflik tersebut. Mereka tidak ikut berperang dan tidak yakin mana yang benar, sehingga mereka enggan membantu ‘Ali dalam melawan para pemberontaknya (Syarah Shahih Muslim bab idza tawajahal-musliman bi saifaihima).
Kuncinya terletak pada kewenangan pemimpin, sebab hanya merekalah yang berhak dan berkuasa untuk menghentikan konflik (rujuk QS. An-Nisa` [4] : 83). Wal-‘Llahu a’lam.