Menghafal al-Qur`an susahnya bukan main. Banyak orang yang putus asa dan kemudian menghentikan kegiatan menghafalnya. Padahal besarnya pahala menghafal al-Qur`an itu ada di susahnya itu. Jadi meskipun susah seharusnya tidak boleh berhenti menghafalnya, sebab yang dikejar bukan target hafalnya, melainkan pahala menghafalnya. Semakin keras usaha menghafalnya, semakin besar juga pahalanya. Meski tidak harus hafal tuntas 30 juz.
Nabi saw menjanjikan para penghafal al-Qur`an yang menghafal al-Qur`an dengan susah payah akan mendapatkan pahala dua kali lipat. ‘Aisyah ra meriwayatkan sabda Nabi saw sebagai berikut:
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
Orang yang mahir dengan al-Qur`an akan bersama para malaikat yang mulia lagi berbakti. Orang yang membaca al-Qur`an dan terbata-bata membacanya dan ia merasa sulit membacanya akan mendapatkan dua pahala (Shahih Muslim bab fadllil-mahir bil-qur`an wal-ladzi yatata’ta’u fihi no. 1898)
Terkait hadits di atas, Imam an-Nawawi (w. 676 H) dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan:
السَّفَرَة جَمِيع سَافِر كَكَاتِبٍ وَكَتَبَة، وَالسَّافِر: الرَّسُول، وَالسَّفَرَة: الرُّسُل لِأَنَّهُمْ يُسْفِرُونَ إِلَى النَّاس بِرِسَالَاتِ اللَّه, وَقِيلَ : السَّفَرَة : الْكَتَبَة. وَالْبَرَرَة: الْمُطِيعُونَ، مِنْ الْبِرّ وَهُوَ الطَّاعَة.
Safarah jama’ dari safir, seperti katib jama’nya katabah. Safir: Utusan. Safarah: Para utusan (malaikat) karena mereka diutus kepada manusia membawa risalah-risalah Allah. Ada pendapat lain safarah adalah para penulis. Sementara bararah: Orang-orang yang patuh (maksudnya malaikat), dari kata al-birr yang bermakna ketaatan.
وَالْمَاهِر: الْحَاذِق الْكَامِل الْحِفْظ الَّذِي لَا يَتَوَقَّف وَلَا يَشُقّ عَلَيْهِ الْقِرَاءَة بِجَوْدَةِ حِفْظه وَإِتْقَانه
Mahir: Yang pintar, sempurna hafalannya, tidak banyak berhenti/ragu, dan tidak merasa sulit membacanya, karena bagus dan sempurna hafalannya.
قَالَ الْقَاضِي: يَحْتَمِل أَنْ يَكُون مَعْنَى كَوْنه مَعَ الْمَلَائِكَة أَنَّ لَهُ فِي الْآخِرَة مَنَازِل يَكُون فِيهَا رَفِيقًا لِلْمَلَائِكَةِ السَّفَرَة لِاتِّصَافِهِ بِصِفَتِهِمْ مِنْ حَمْل كِتَاب اللَّه تَعَالَى. قَالَ: وَيَحْتَمِل أَنْ يُرَاد أَنَّهُ عَامِل بِعَمَلِهِمْ وَسَالِك مَسْلَكهمْ.
Al-Qadli (al-Qadli ‘Iyadl, w. 544 H, dalam kitabnya: Ikmalul-Mu’lim bi Fawa`id Muslim) menjelaskan: “Bisa jadi makna bersama malaikat itu adalah di akhirat kelak memiliki tempat-tempat khusus yang berdampingan dengan malaikat para utusan karena memiliki sifat seperti mereka yakni “membawa” kitab Allah ta’ala. Bisa jadi juga yang dimaksud adalah karena amalnya seperti amal malaikat dan menempuh jalan seperti jalannya para malaikat.”
وَأَمَّا الَّذِي يَتَتَعْتَع فِيهِ فَهُوَ الَّذِي يَتَرَدَّد فِي تِلَاوَته لِضَعْفِ حِفْظه فَلَهُ أَجْرَانِ: أَجْر بِالْقِرَاءَةِ، وَأَجْر بِتَتَعْتُعِهِ فِي تِلَاوَته وَمَشَقَّته.
Adapun orang yang yatata’ta’u fihi adalah orang yang ragu-ragu membacanya karena hafalannya lemah. Ia memperoleh dua pahala dari pahala membaca dan pahala ragu-ragu serta sulit membacanya.
قَالَ الْقَاضِي وَغَيْره مِنْ الْعُلَمَاء: وَلَيْسَ مَعْنَاهُ الَّذِي يَتَتَعْتَع عَلَيْهِ لَهُ مِنْ الْأَجْر أَكْثَر مِنْ الْمَاهِر بِهِ، بَلْ الْمَاهِر أَفْضَل وَأَكْثَر أَجْرًا لِأَنَّهُ مَعَ السَّفَرَة وَلَهُ أُجُور كَثِيرَة وَلَمْ يَذْكُر هَذِهِ الْمَنْزِلَة لِغَيْرِهِ، وَكَيْف يَلْحَق بِهِ مَنْ لَمْ يَعْتَنِ بِكِتَابِ اللَّه تَعَالَى وَحِفْظه وَإِتْقَانه وَكَثْرَة تِلَاوَته وَرِوَايَته كَاعْتِنَائِهِ حَتَّى مَهَرَ فِيهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Al-Qadli dan ulama lainnya menjelaskan: Bukan berarti yang membacanya terbata-bata memperoleh pahala lebih besar daripada yang mahir, tentunya yang mahir lebih utama dan lebih banyak pahalanya karena ia bersama para malaikat, sehingga pahalanya banyak (bukan hanya dua pahala—pen). Nabi saw tidak menyebutkan kedudukan yang ini untuk selainnya. Bagaimana bisa orang yang tidak terlalu perhatian pada kitab Allah ta’ala, dalam hal menghafalnya, kesempurnaan hafalannya, banyak membacanya, dan meriwayatkannya disamakan dengan orang yang perhatiannya tinggi dalam kesemua hal itu? Wal-‘Llahu a’lam.
Penjelasan para ulama di atas menunjukkan bahwa hadits ‘Aisyah ra tepatnya diberlakukan dalam konteks hafalan al-Qur`an. Bagi yang mahir menghafal al-Qur`annya maka pahalanya tidak terhingga, sementara yang susah menghafalnya pahalanya dua kali lipat. Ini sekaligus sebagai sebuah ajaran bahwa kemampuan inti membaca al-Qur`an itu adanya di hafalan, sebab demikianlah yang Nabi saw ajarkan dan kemudian menjadi tradisi yang turun temurun di kalangan para ulama dan umatnya. Jika baru sebatas membaca mushhafnya, maka itu hanya tahapan awal saja dari amaliah al-Qur`an. Sesudah itu harus dilanjut pada menghafal al-Qur`annya.
Bagus tidaknya kualitas bacaan seseorang terukur dari hafalannya. Membaca mushhaf itu kualitas bacaannya tidak asli sebab terbantu oleh mushhaf. Sementara hafalan itu kualitas bacaannya lebih asli karena murni dari hafalan tanpa dibantu mushhaf.
Sejak awal diturunkannya al-Qur`an diajarkan melalui hafalan, sebab Nabi saw sendiri tidak bisa membaca teks (ummiy; QS. al-‘Ankabut [29] : 48). Demikian juga mayoritas para shahabat disebutkan al-Qur`an ummiyyin (QS. al-Jumu’ah [63] : 2). Itulah sebabnya nama pokok dari kitab suci ini adalah “al-Qur`an” bukan “al-Kitabah”, sebab memang yang pokok dari al-Qur`an itu apa yang dibaca lewat hafalan, bukan apa yang ditulis. Tulisan mushhaf al-Qur`an di sepanjang zamannya berubah-ubah seiring perkembangan budaya tulisan. Akan tetapi bacaan al-Qur`an tidak pernah berubah karena diriwayatkan secara turun temurun lewat hafalan, bukan lewat bacaan tulisan.
Maka dari itu tidak heran jika Nabi saw sangat membenci orang yang putus asa menghafal al-Qur`an karena mudah lupa. Nabi saw memerintahkan agar terus dipertahankan usaha menghafal al-Qur`an:
بِئْسَ مَا لأَحَدِهِمْ أَنْ يَقُولَ نَسِيتُ آيَةَ كَيْتَ وَكَيْتَ بَلْ نُسِّىَ، وَاسْتَذْكِرُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ مِنَ النَّعَمِ
Alangkah jeleknya seseorang di antara kamu yang berkata: “Aku lupa sejumlah ayat ini dan itu,” karena yang benar ia dijadikan lupa. Maka dari itu hafalkanlah al-Qur`an, karena sesungguhnya dia lebih mudah terlepas dari ingatan seseorang daripada terlepasnya unta (Shahih al-Bukhari kitab fadla`il al-Qur`an bab istidzkar al-Qur`an wa ta’ahudihi no. 5032).
Dalam hadits ini Nabi saw menegaskan bahwa al-Qur`an itu mudah lepas dari ingatan hati setiap orang, oleh sebab itu harus selalu diingat-ingat alias dihafal. Kegiatan menghafal ini jangan terhenti oleh sifat putus asa akan susahnya menghafal al-Qur`an. Jadi jangan karena menghafal al-Qur`an susah jadinya berhenti menghafal. Justru karena menghafal al-Qur`an susah, jadinya harus semakin giat menghafal agar semakin mudah. Dalam hadits lain Nabi saw mengingatkan:
إِنَّمَا مَثَلُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الإِبِلِ الْمُعَقَّلَةِ إِنْ عَاهَدَ عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ
Sesungguhnya perumpamaan “sahabat” al-Qur`an itu seperti seorang pemilik unta yang diikat. Jika ia terus menjaga ikatannya, ia bisa terus menahannya. Tetapi jika ia melepaskan ikatannya, maka unta itu akan terlepas (Shahih al-Bukhari kitab fadla`il al-Qur`an bab istidzkar al-Qur`an wa ta’ahudihi no. 5031).
Maksud “menjaga ikatan”-nya itu adalah menjaga hafalannya melalui bacaan al-Qur`an dalam shalat. Jika bagus bacaan al-Qur`an dalam shalatnya, maka hafalannya akan terjaga. Jika lengah dan abai dari membacanya dalam shalat, maka hafalannya akan hilang. Ini sekaligus jadi ukuran bagus dan tidaknya hafalan al-Qur`an seseorang tergantung pada bagus tidaknya bacaan al-Qur`an dalam shalatnya.
وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِذَا لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ
Apabila shahibul (penghafal)-Qur`an itu qiyam (shalat) dan membacanya di waktu (shalat) malam dan siang, maka ia akan mengingatnya. Jika ia tidak shalat dengannya, ia akan melupakannya (Shahih Muslim bab al-amr bi ta’ahhudil-Qur`an no. 1876).
Penjelasan para ulama yang dikutip di awal juga sudah mengarahkan bahwa kemahiran dalam hafalan al-Qur`an itu sangat tergantung dari seberapa besar perhatiannya pada menghafal al-Qur`an dan memperbanyak membacanya. Maka dari itu pantas jika yang mahir dalam hafalan, pahalanya lebih besar karena pasti lebih banyak kerja kerasnya. Meski kemudian yang tidak mahir pun tetap dihargai oleh Nabi saw dan dijanjikan pahala dua kali lipat. Wal-‘Llahu a’lam.