Surat Nabi ﷺ kepada Kaisar Romawi
Dialog lintas agama bukan barang baru yang pertama kali dipraktikkan oleh masyarakat Barat sehingga modelnya harus selalu meniru Barat yang sekularistik dan pluralistik. Justru Nabi Muhammad ﷺ yang memelopori dialog lintas agama di saat masyarakat dunia masih tabu dan bermusuhan karena perbedaan agama. Dialog lintas agama yang dipelopori Nabi saw adalah dialog yang tidak mengorbankan aqidah Islam juga tidak memunculkan agama baru yang bernama pluralisme.
Surat Nabi saw (570-632 M) kepada Heraklius (575-644 M), Kaisar Romawi Timur/Bizantium pada tahun 7 H (629 M) menjadi contoh bagaimana seharusnya dialog lintas agama dipraktikkan oleh umat Islam dengan umat beragama lain yang dalam konteks surat Nabi saw ini dengan agama Kristen. Surat yang dibawa oleh shahabat Dihyah al-Kalbi ra dan dititipkan kepada Raja Bushra agar disampaikan kepada Kaisar Heraklius itu bertuliskan:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ {وَيَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ}
Bismillahir-Rahmanir-Rahim. Dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Heraklius penguasa Romawi. Keselamatan bagi yang mengikuti hidayah. Amma ba’du. Sungguh aku menyeru anda dengan seruan Islam. Masuk Islamlah, anda akan selamat. Allah akan memberi anda pahala dua kali lipat. Jika enggan, anda akan menanggung dosa bangsa petani (mayoritas profesi bangsa Romawi). {Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali ‘Imran [3] : 64)} (Shahih al-Bukhari bab kaifa kana bad`ul-wahyi ila Rasulillah saw no. 7).
Surat di atas mengajarkan beberapa prinsip penting dalam dialog lintas agama, yaitu:
Pertama, dialog lintas agama tetap harus mengandung misi dakwah Islam bukan malah sebaliknya bermisikan penguatan pluralisme atau keyakinan bahwa semua agama memiliki kebenaran menurut standarnya masing-masing. Ideologi ini sebagaimana disimpulkan oleh Anis Malik Toha dalam disertasinya (diterbitkan menjadi buku Tren Pluralisme Agama) hanya akan merusak agama yang ada, termasuk Islam, atau istilahnya terminasi agama. Pluralisme agama meski bagaimana pun tidak akan menjadi wasit yang adil dalam hubungan lintas agama, karena ia akan memaksa agama-agama lain untuk tidak meyakini agamanya paling benar melainkan harus meyakini bahwa pluralisme agama itulah satu-satunya yang benar. Wasit seperti ini adalah wasit yang ikut bermain dan menjadi wasit yang tidak adil. Seharusnya sebagaimana dicontohkan Nabi saw dalam suratnya di atas kepada Heraklius, posisi umat Islam harus teguh dalam keislamannya dan mempromosikan ajaran keselamatan Islam itu bagaimana wujudnya.
Kedua, dialog lintas agama dasarnya harus fakta ilmiah, bukan dogma-dogma kosong yang tidak ilmiah. Ini terlihat dari pilihan Nabi saw yang mengutip surat Ali ‘Imran [3] : 64 tentang eksistensi kalimah sawa` (kesamaan ajaran) antara Islam dan Kristen. Kalimah sawa` itu adalah tauhid tanpa syirik, bukan titik perjumpaan multikultural dan pluralisme. Maka dialog lintas agama harus fokus pada fakta ajaran yang diajarkan oleh masing-masing agama, yang dalam konteks dialog dengan Ahli Kitab, terfokus pada kalimah sawa` antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Ini yang harus jadi objek dialog lintas agama tersebut, bukan melenceng jauh pada pluralisme yang sekularistik dan menihilkan kebenaran agama Islam.
Ketiga, tidak boleh ada pemaksaan keyakinan beragama kepada penganut agama lain. Hal ini sebagaimana Allah swt tegaskan dalam ayat yang dikutip di atas: Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” Setelah semua argumentasi dikemukakan dan kemudian penganut agama lain ingin tetap kukuh dalam agamanya, maka jangan dipaksa untuk beragama Islam, sebab tegas Allah swt dalam firman-Nya yang lain: “Tidak boleh ada pemaksaan dalam beragama.” (QS. al-Baqarah [2] : 256). Cukup disampaikan saja kepada mereka bahwa umat Islam juga akan teguh selalu dalam Islam dan akan menjadi sosok-sosok teladan mulia untuk memperlihatkan bagaimana wujud nyata Islam dalam kehidupan. Penganut agama lain sudah seharusnya menghargai pilihan umat Islam dengan agamanya dan juga jangan menganggu hanya karena memilih tetap beragama Islam. Masing-masing pihak harus saling menghargai perbedaan agama tanpa bermusuhan. Nabi saw memang mengingatkan Heraklius dalam suratnya di atas: “Jika enggan, anda akan menanggung dosa bangsa petani.” Tetapi itu hanya sebatas mengingatkan karena fakta kebenarannya sudah jelas. Bukan berarti memaksakan agama kepada penganut agama lain.
Terkait hal ini Allah swt sudah mengajarkan dalam ayat-ayat lain:
قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ ١ لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ ٢ وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٣ وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٞ مَّا عَبَدتُّمۡ ٤ وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٥ لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ ٦
Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. al-Kafirun [109] : 1-6).
Ayat-ayat di atas mengajarkan toleransi yang jujur, bukan toleransi penuh kepalsuan seperti yang ada dalam doktrin pluralisme. Toleransi yang jujur itu mempersilahkan masing-masing penganut agama untuk beribadah sesuai keyakinan agamanya masing-masing dan jangan pernah memcampuradukkannya dengan aqidah dan ritual agama lainnya.
۞وَلَا تُجَٰدِلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡهُمۡۖ وَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱلَّذِيٓ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَأُنزِلَ إِلَيۡكُمۡ وَإِلَٰهُنَا وَإِلَٰهُكُمۡ وَٰحِدٞ وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ ٤٦
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri“. (QS. al-‘Ankabut [29] : 46)
Ayat ini juga menegaskan agar dialog lintas agama dipraktikkan dengan sebaik mungkin. Jika dialog yang berlangsung tidak akan harmonis maka sebaiknya dialog itu dihindari. Ayat di atas juga mengajarkan materi dialog dengan Yahudi dan Kristen jangan beranjak dari tema kesamaan ajaran seputar Tuhan, kitab, dan kepasrahan total kepada Tuhan. Bukan tema pluralisme atau sekularisme.
Tentunya sebagaimana disinggung ayat terakhir ini, lawan dialog itu tidak selalu menyambut ajakan dialog dengan sikap yang baik, ada juga yang membalasnya dengan zhalim dan kejam. Meski demikian umat Islam jangan pernah menggeser ideologi dialog lintas agama dari dakwah Islam menjadi pluralisme agama. Terhadap orang-orang yang zhalim harus beralih metodenya dari jidal (dialog) pada jilad (perang) agar mereka berhenti dari sikap zhalimnya.
Di antara yang bersikap lapang dada menerima ajakan dialog lintas agama itu adalah Najasyi Raja Habasyah. Ia dan rakyat mayoritasnya kemudian memeluk Islam dan menyambut para muhajirin yang datang ke wilayah mereka.
Heraklius juga pada awalnya menyambut baik ajakan dialog dari Nabi Muhammad saw di atas. Ketika ia datang ke Iliya (al-Quds/Yerussalem), ia berdiskusi dengan Ibnun-Nazhur pejabat di Iliya tentang surat dari Nabi Muhammad saw di atas. Ia sendiri meyakini kebenaran surat itu dan oleh karenanya ia memutuskan untuk memanggil orang-orang Arab yang sedang berdagang di sekitar Iliya untuk dibawa menghadap kepadanya. Setelah diminta agar pedagang-pedagang Arab itu mengangkat seorang juru bicara dan ternyata yang ditunjuk adalah Abu Sufyan, Heraklius pun bertanya jawab dengan Abu Sufyan terkait asal usul nasab Nabi saw, kepribadian, ajaran, dan kualitas serta kuantitas para pengikutnya. Setelah dijawab dengan panjang lebar, Heraklius pun, sebagaimana diceritakan Abu Sufyan, kemudian mengatakan:
فَإِنْ كَانَ مَا تَقُولُ حَقًّا فَسَيَمْلِكُ مَوْضِعَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ وَقَدْ كُنْتُ أَعْلَمُ أَنَّهُ خَارِجٌ لَمْ أَكُنْ أَظُنُّ أَنَّهُ مِنْكُمْ فَلَوْ أَنِّي أَعْلَمُ أَنِّي أَخْلُصُ إِلَيْهِ لَتَجَشَّمْتُ لِقَاءَهُ وَلَوْ كُنْتُ عِنْدَهُ لَغَسَلْتُ عَنْ قَدَمِهِ
“Jika yang kamu katakan benar, ia (Muhammad saw) akan menguasai tempat kedua kakiku ini. Aku sudah tahu Nabi terakhir itu akan datang tetapi aku tidak mengira ia dari kalian (bangsa Arab). Seandainya aku tahu bisa sampai kepadanya pasti aku akan memaksakan diri untuk menemuinya. Seandainya aku ada di sisinya pasti aku akan cuci kakinya.” (Shahih al-Bukhari bab kaifa kana bad`ul-wahyi ila Rasulillah saw no. 7).
Akan tetapi setelah seluruh pejabat kerajaannya menolak mentah-mentah keyakinan Heraklius akan kebenaran Nabi Muhammad saw tersebut, Heraklius pun urung dari beriman kepada Nabi saw. Ia malah mengikuti saran para pejabatnya untuk berinisiatif menyerang Nabi saw dan umat Islam di Madinah. Maka terjadilah perang Mu’tah (8 H) dan disambung dengan Tabuk (9 H), di mana pada kedua perang itu Romawi Timur kalah. Kekalahan itu berlanjut dengan kekalahan-kekalahan berikutnya sehingga Syam (Suriah, Palestina, Libanon, Yordania) dan Mesir yang menjadi kota besar pusat perekonomian Romawi saat itu dikuasai oleh pasukan kaum Muslimin dari mulai era ‘Umar ibn al-Khaththab ra. Bahkan sejak saat itu kekaisaran Romawi tidak pernah lagi bertahan dalam kejayaannya hingga hanya menyisakan Konstantinopel (Istanbul, Turki) yang kemudian ditaklukkan oleh Sultan Muhammad al-Fatih pada tahun 1453 M. Sebuah isyarat yang jelas bahwa ketika jidal tidak disambut dengan baik dan malah mengajak jilad, maka umat Islam juga harus siap menyambut dan melawannya.
Wal-‘Llahu a’lam.