Sudah Saatnya Kulit Hewan Qurban Tidak Dijual

Fiqih menjual kulit hewan qurban syarat kontroversi atau syubhat. Pihak yang membolehkan biasanya beralasan karena lebih maslahat. Tetapi pertimbangan lebih maslahat tersebut hari ini sering dipertanyakan mengingat harga kulit hewan qurban yang terlalu murah, sehingga dinilai lebih maslahat dikonsumsi langsung. Ini adalah momentum yang tepat untuk meninggalkan syubhat dan mengembalikannya pada fiqih awal yakni tidak ada satu bagian hewan qurban pun yang dijual; kulitnya, jeroannya, kepalanya, atau apapun itu.
Tuntunan meninggalkan syubhat diajarkan Nabi saw dalam hadits ushul (pokok) riwayat al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man ibn Basyir ra:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَ إِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ وَ مَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, sedang di antara keduanya adalah yang syubhat (meragukan). Tidak mengetahuinya kebanyakan orang-orang. Maka siapa yang berlindung dari perkara yang syubhat, sesungguhnya ia telah menjaga kesucian agamanya dan kehormatannya, dan siapa yang kena pada perkara yang syubhat, maka ia telah kena pada perkara yang haram. Seperti halnya seorang penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang (seorang raja) dan hampir memasukinya. Ingatlah, sesungguhnya setiap raja itu mempunyai daerah terlarang. Ingatlah, sesungguhnya daerah terlarang Allah adalah hal-hal yang diharamkannya. Ingatlah, sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal darah. Apabila dia baik maka akan baik pula seluruh jasad itu, dan apabila dia rusak maka akan rusak pula seluruh jasad itu. Ingatlah, dia itu adalah hati (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab fadli man istabra`a li dinihi no. 52 dan kitab al-buyu’ bab al-halal bayyinun wa al-haram bayyinun wa bainahuma musytabihatun no. 2051; Shahih Muslim kitab al-musaqah bab akhdzi al-halal wa tarki asy-syubuhat no. 4789-4781).
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menegaskan bahwa berdasarkan hadits di atas definisi syubhat adalah sesuatu yang masih diperselisihkan halal dan haramnya. Menurut sebagian ulama halal, tetapi menurut sebagiannya lagi haram. Berdasarkan hadits di atas, syubhat harus ditinggalkan, karena bagaimanapun rentan pada yang haram. Caranya tentu dengan memilih yang tidak syubhat atau tidak diperselisihkan. Sabda Nabi saw dalam hadits lain:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةٌ
Tinggalkan yang meragukanmu menuju yang tidak meragukanmu, karena sesungguhnya kebenaran itu menenangkan dan sesungguhnya kebohongan itu meragukan (Sunan an-Nasa`i kitab adab al-qudlat bab al-hukm bi ittifaq ahlil-‘ilm no. 5414-5415, kitab al-asyribah bab al-hatsts ‘ala tarkis-syubuhat no. 5729; Musnad Ahmad musnad Anas ibn Malik no. 12427, 12886).
Dalam hal pengelolaan hewan qurban, menjual kulit hewan qurban termasuk yang diperselisihkan halal dan haramnya. Pihak yang membolehkan biasanya mengajukan beberapa syarat, di antaranya: (a) Dipastikan lebih maslahat daripada kulit terbuang percuma. (b) Dijual oleh mustahiq bukan oleh pequrban atau boleh oleh panitia qurban tetapi sesudah diberikan kepada mustahiq bukan untuk dinikmati pequrban atau panitia qurban. Bagian panitia qurban sama dengan bagian mustahiq lainnya. Kalau ada uang upah untuk panitia maka tidak boleh mengambil dari hewan qurban tetapi dari uang para pequrban sendiri di luar hewan qurban. Tidak boleh ada pengistimewaan khusus untuk panitia qurban dari hewan qurban. ‘Ali ra menjelaskan:
عَنْ عَلِىٍّ قَالَ أَمَرَنِى رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
Dari ‘Ali, ia berkata: Rasul saw memerintahkanku untuk mengurus hewan qurban, menshadaqahkan dagingnya, kulitnya, jeroannya dan untuk tidak memberi upah kepada yang menyembelihnya dari hewan qurban itu. Sabda Nabi saw: “Kami yang akan memberinya upah.” (Shahih Muslim kitab al-adlahi bab as-shadaqah bi luhumil-hadyi wa juludiha no. 3241).
Dalam hadits Abu Hurairah ra, Nabi saw dengan tegas menyatakan:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ
Siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka tidak ada pahala qurban baginya (al-Mustadrak al-Hakim bab tafsir surat al-Hajj no. 3426. Syaikh al-Albani menilai hadits ini hasan dalam Shahih at-Targhib wat-Tarhib dan Shahih al-Jami’us-Shaghir).
Hadits terakhir ini tertuju kepada para pequrban karena pahala qurban ditujukannya untuk pequrban. Sebuah hadits yang tegas agar pequrban tidak menjual kulit hewan qurban. Berdasarkan hadits ‘Ali ra di atas harus dishadaqahkan semuanya, tentunya di samping kebolehan untuk turut mengonsumsinya sebagaimana diajarkan al-Qur`an, tetapi tidak sampai menjualnya.
Kasusnya berbeda jika penerima shadaqah kulit qurban (mustahiq) kemudian menjualnya kepada pihak lain. Sebuah hadits menginformasikan:
لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ: لِعَامِلٍ عَلَيْهَا, أَوْ رَجُلٍ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ, أَوْ غَارِمٍ, أَوْ غَازٍ فِي سَبِيلِ اللهِ, أَوْ مِسْكِينٍ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ مِنْهَا, فَأَهْدَى مِنْهَا لِغَنِيٍّ.
Tidak hahal shadaqah bagi orang kaya, kecuali bagi lima orang: (1) ‘amil zakat, (2) orang kaya yang membeli shadaqah itu dengan hartanya sendiri, (3) orang kaya tetapi terlilit utang, (4) yang berperang di jalan Allah, dan (5) orang kaya yang menerimanya sebagai hadiah dari orang miskin (al-Hafizh Ibn Hajar: Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah. Dinilai shahih oleh al-Hakim dan banyak ulama lainnya [Bulughul-Maram kitab az-zakat bab qasmis-shadaqat no. 662 dan at-Talkhishul-Habir 4 : 163 no. 1502).
Dari hadits di atas, tepatnya pada poin (2) dan (5), terlihat bahwa shadaqah itu boleh dijual oleh mustahiqnya kepada orang kaya yang membelinya dan boleh juga diberikan kepada orang kaya sebagai hadiah. Jadi kulit qurban ketika sudah sampai pada mustahiqnya, boleh dijual olehnya kepada pihak lain atau dihadiahkan kepada orang kaya sekalipun. Maka seandainya panitia qurban mau menjualkan kulit hewan qurban, tentunya sesudah dishadaqahkan kepada mustahiq, bukan panitia menjual kulit lalu dibagikan uangnya. Itu sama saja dengan membagikan uangnya, bukan membagikan sembelihan hewan qurbannya, padahal syari’atnya harusnya membagikan sembelihan hewan qurbannya bukan membagikan uangnya.
Kasus yang sering ditemukan adalah panitia qurban atau pequrban menjual langsung kulit hewan qurbannya. Kadang dengan sedikit hailah (berkelit) bahwa itu yang menjual adalah mustahiqnya, tetapi nyatanya seringkali mustahiq tidak tahu apa-apa tentang bagiannya, tiba-tiba mendapatkan bagian uang dari penjualan kulit hewan qurban. Atau hasil penjualannya dimanfaatkan oleh pequrban, panitia qurban, atau DKM yang bersangkutan. Padahal pequrban hanya diizinkan ikut memakan hewan qurban, bukan menjualnya. Padahal tidak ada bagian dari hewan qurban untuk amilin (panitia qurban) selain sebagai mustahiq pada umumnya atau upah dari yang berqurban tetapi tidak diambil dari hewan qurban. Padahal juga tidak ada mustahiq fi sabilillah dalam hewan qurban, sehingga tidak ada jatah untuk kas DKM.
Terkait pertimbangan “lebih maslahat” justru hari ini terlalu murah jika kulit hewan qurban dijual. Akan lebih bermanfaat jika diolah untuk makanan. Cara mengolahnya juga mudah. Tutorialnya banyak ditemukan di berbagai akun media sosial. Atau beberapa masjid di Bandung juga sudah banyak yang mempraktikkannya dan terbukti lebih bermanfaat untuk mustahiq dibagikan kulitnya, bukan dijual ke bandar kulit hewan.
Sudah saatnya yang syubhat ditinggalkan dan beralih pada yang tidak syubhat. Menjual kulit hewan qurban statusnya syubhat. Sedangkan membagikannya langsung ke mustahiqnya itu tidak syubhat sama sekali.
Wal-‘Llahu a’lam.