Ibadah

Sepeda Motor Besar, Hewan Qurban Kecil !?

Syari’at qurban menuntut setiap muslim untuk berlomba-lomba berqurban dengan hewan yang paling besar. Bahkan bukan hanya satu hewan qurban, melainkan dua. Akan tetapi ironinya syari’at ini banyak tidak dilirik. Padahal di saat yang bersamaan semakin banyak masyarakat yang berlomba-lomba memiliki sepeda motor besar. Jadinya terbalik, sepeda motor harus yang besar, tetapi hewan qurban cukup yang minimal. Bahkan ada yang sampai tidak berqurban sama sekali. Tidak punya malu!

Tidak ada yang salah memang dengan kepemilikan sepeda motor besar sepanjang itu didasarkan pada kebutuhan dan keseimbangan dengan kepentingan akhirat. Jika dasarnya bukan butuh, melainkan untuk meningkatkan status sosial saja, maka ini adalah penyakit “gila dunia” yang banyak diserang oleh al-Qur`an. Orang yang seperti ini juga pasti tidak bisa menyeimbangkannya dengan kepentingan akhirat, sebab akhirat selalu dinomorduakan dan dunia dinomorsatukan. Demi memiliki sepeda motor besar ia rela mengeluarkan uang yang banyak, tetapi untuk berqurban dengan mengeluarkan uang Rp. 5.000.000,- ia mengeluh kemahalan. Jadinya cukup mengeluarkan uang Rp. 3.500.000,- saja untuk hewan qurban yang standar, atau malah tidak berqurban sama sekali. Dikecualikan tentunya orang-orang yang memiliki sepeda motor besar, tetapi qurbannya pun dengan hewan yang besar. Kemampuannya membeli sepeda motor besar, diimbangi dengan berqurban hewan yang besar.
Perilaku menomorsatukan kepuasan materi dikenal dalam bahasa dewasa ini dengan hedonisme. Al-Qur`an menyebut perilaku ini sebagai perilaku orang-orang kafir yang tidak pantas ditiru oleh orang-orang Islam. Seorang muslim malah dituntut untuk senantiasa hidup zuhud (tidak mempunyai keinginan terhadap dunia), selain menjalaninya bak air mengalir saja; beribadah, bekerja, memenuhi kebutuhan hidup, bershadaqah, dan demikian setiap harinya. Tidak ada nafsu dan keinginan untuk memiliki ini dan itu. Hatinya menyadari, apa yang dibutuhkan pasti akan ada ketika Allah swt menghendaki. Kalaupun Allah swt belum menghendaki, kebutuhan itu tidak mendesakkan keinginan dalam hatinya, sehingga hatinya selalu mampu bersabar. Ada rizki lebih, disyukuri dan didermakan. Kalaupun tidak ada rizki lebih, hidup tetap disyukuri juga seadanya.
Berbeda jauh dengan orang yang hedonis. Nafsunya selalu menekan hatinya agar selalu “ingin” memiliki ini dan itu. Hatinya selalu terdorong oleh target-target duniawi yang dibuatnya sendiri bahwa tahun depan harus punya ini dan itu. Ia sudah memaksakan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa bahagia jika memiliki ini dan itu. Hidupnya tidak akan pernah senang jika belum memiliki ini dan itu. Maka ketika harta lebih ia miliki, disalurkannya pada kesenangan; sepeda motor besar, sepada kayuh mahal, makanan-makanan mahal, rokok mahal, kopi mahal, gadget mahal, pakaian mahal, mobil mahal, wisata mahal, dan semacamnya. Sementara shadaqah, waqaf, berqurban sebagaimana dituntunkan syari’at, menghidupi faqir miskin dan anak yatim, tidak pernah masuk agendanya.

  1. al-Ahqaf menyitir perilaku hedonisme orang-orang kafir ketika mereka dihadapkan dengan neraka:

وَيَوۡمَ يُعۡرَضُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ عَلَى ٱلنَّارِ أَذۡهَبۡتُمۡ طَيِّبَٰتِكُمۡ فِي حَيَاتِكُمُ ٱلدُّنۡيَا وَٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهَا فَٱلۡيَوۡمَ تُجۡزَوۡنَ عَذَابَ ٱلۡهُونِ بِمَا كُنتُمۡ تَسۡتَكۡبِرُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَبِمَا كُنتُمۡ تَفۡسُقُونَ  ٢٠

Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan adzab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik” (QS. al-Ahqaf [46] : 20).
Al-Hafizh Ibn Katsir mengutip atsar dari ‘Umar ibn al-Khaththab bahwa ia sangat berhati-hati dan sangat membatasi dirinya dari makanan dan minuman yang enak karena takut dengan ayat di atas:

وَقَدْ تَوَرَّعَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ  عَنْ كَثِيرٍ مِنْ طَيِّبَاتِ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ، وَتَنَزَّهَ عَنْهَا، وَيَقُولُ: إِنِّي أَخَافُ أَنْ أَكُونَ كَالَّذِينِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُمْ وقَرَّعهم: {أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا

Sungguh Amirul-Mu`minin ‘Umar ibn al-Khaththab ra sangat berhati-hati dari sering makan dan minum yang enak dan menjauhinya. Ia berkata: “Sungguh aku takut termasuk orang-orang yang dicela oleh Allah ta’ala: {Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya}.”
Sementara itu, terkait ayat di atas, Abu Mijlaz (ulama tabi’in, w. 106 H di Kufah) berkata:

ليتفقَّدَنّ أقوامٌ حَسَناتٍ كَانَتْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، فَيُقَالُ لَهُمْ: {أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا

Beberapa orang (di akhirat) pasti ada yang mencari-cari kesenangan yang dahulu mereka miliki di dunia, tetapi dikatakan kepada mereka: “Kalian telah menghabiskan kesenangannya dalam kehidupan duniamu.” (Tafsir Ibn Katsir).
Maka demi menjadi orang yang tidak dikategorikan “menghabiskan kesenangan di dunia” setiap orang yang memiliki rizki lebih harus menyeimbangkannya dengan bekal untuk kehidupan akhirat. Jika membeli sepeda motor besar mampu, maka dalam momentum qurban pun harus mampu juga berqurban dengan hewan yang besar. Bahkan bukan hanya satu, tetapi minimal dua hewan qurban.
Al-Qur`an sudah memberikan tuntunan agar setiap muslim berqurban dengan “luar biasa”, bukan dengan yang biasa-biasa saja. Kemampuan mempersembahkan qurban yang “luar biasa” ini merupakan bukti adanya ketaqwaan dalam hati. Allah swt mengingatkan:

وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ  ٣٢

Dan siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah (hewan qurban), maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati (QS. Al-Hajj [22] : 32)
Syi’ar Allah yang dimaksud ayat di atas adalah hewan qurban, sebagaimana disinggung dalam ayat ke-36 berikutnya. Maksud dari “mengagungkan”-nya itu adalah istisman (memilih/membeli hewan yang gemuk) dan isti’zham (memilih/membeli hewan yang besar). Demikian shahabat Ibn ‘Abbas menjelaskannya dalam Tafsir Ibn Katsir. Bahkan sebagaimana dicontohkan oleh Nabi saw dan kemudian diikuti secara rutin oleh Anas ibn Malik ra, Nabi saw bukan hanya berqurban dengan hewan yang besar, tetapi juga mengurbankan dua hewan besar sekaligus dalam satu kali momentum ‘Idul-Adlha.

قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ  كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ وَأَنَا أُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ

Anas ibn Malik ra berkata: “Nabi saw berqurban dengan dua kambing besar, dan saya pun berqurban dengan dua kambing besar.” (Shahih al-Bukhari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw no. 5553).

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ انْكَفَأَ إِلَى كَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ

Dari Anas: “Sesungguhnya Rasulullah saw memilih dua kambing besar yang bertanduk dan hitam putih bulunya, lalu beliau sembelih dengan tangannya sendiri.” (Shahih al-Bukhari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw no. 5554)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَة أَنَّ النَّبِيّ ﷺ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُضَحِّي اِشْتَرَى كَبْشَيْنِ عَظِيمَيْنِ سَمِينَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مَوْجُوءَيْنِ

Dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Nabi saw apabila akan berqurban beliau membeli dua ekor kambing yang besar, gemuk, hitam putih bulunya, dan yang dikebiri” (Fathul-Bari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw mengutip riwayat ‘Abdur-Razzaq).
Teladan Nabi saw tersebut kemudian diikuti oleh para shahabat:

قَالَ أَبُوْ أُمَامَةَ بْنُ سَهْلٍ كُنَّا نُسَمِّنُ الْأُضْحِيَّةَ بِالْمَدِينَةِ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ يُسَمِّنُونَ

Abu Umamah ibn Sahl berkata: “Kami biasa menggemukkan hewan qurban di Madinah. Demikian juga kaum muslimin lainnya.” (Atsar di atas dituliskan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya kitab al-adlahi bab udlhiyyatin-Nabi saw secara mu’allaq/tanpa menulis sanad lengkapnya).
Bahkan pernah Nabi saw berqurban dengan satu ekor sapi untuk keluarganya:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ

Dari ‘Aisyah ra: “Rasulullah saw pernah berqurban dengan 1 ekor sapi untuk istri-istrinya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-adlahi bab al-udlhiyyah lil-musafir wan-nisa` no. 5548)
Ini adalah tuntunan qurban dari Allah swt untuk diperhatikan orang-orang yang mampu membeli kesenangan dunia yang mahal. Jangan sampai yang mahal itu barang-barang duniawi saja, sementara qurban memilih yang murah. Wal-‘Llahul-Musta’an.

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button