Qurban dan Haji Harus Jadi Prioritas – Prioritas belanja setiap orang yang mempunyai kelebihan harta hari ini adalah untuk membeli smartphone, barang-barang elektronik, sepeda motor, mobil dan rumah. Sementara yang sudah jelas-jelas ibadah seperti zakat, infaq, shadaqah, qurban, dan haji, selalu tidak masuk pada prioritas utama. Padahal ibadah-ibadah yang disebutkan terakhir hukumnya wajib dan sunat, sementara belanja barang-barang kebutuhan manusia modern hanya sekedar mubah. Kalaupun tidak memilikinya, hidup masih bisa dijalani dengan pilihan alternatif lainnya.
Nilai “baik” dan “bagus”-nya seseorang hari ini di masyarakat umum adalah jika ia mempunyai smartphone yang canggih, barang-barang elektronik yang mahal, sepeda motor yang bagus, mobil yang keren dan rumah yang antik. Itu semua pertanda bahwa seseorang sudah sukses dalam hidupnya. Kebanyakan orangtua bahkan baru merasa tenteram jiwanya jika anak-anaknya sudah memiliki semua yang dinilai “baik” seperti disebutkan di atas. Jika sebaliknya, seringkali orangtua merasa gelisah karena menilai anaknya belum sukses. Dampaknya, setiap orang pun berlomba-lomba untuk mengejar kebaikan duniawi tersebut. Konsekuensinya, kebaikan dalam standar agama otomatis terabaikan sebab memang tidak menjadi perhatian utama.
Padahal al-Qur`an sudah mengajarkan bahwa sesuatu yang “baik” (al-birr) dalam harta itu bukan terletak pada apa yang sudah dimiliki, melainkan pada apa yang sudah dibelanjakan di jalan Allah swt. Bahkan bukan hanya sekedar membelanjakan harta yang biasa-biasa di jalan Allah swt, melainkan membelanjakan harta yang luar biasa. Al-Qur`an mengingatkan:
۞لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ ١٧٧
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa (QS. al-Baqarah [2] : 177).
Maksud ayat di atas, menurut Ibn ‘Abbas, kebaikan (al-birr) itu bukan hanya shalat, tetapi juga amal-amal shalih lainnya. al-Hafizh Ibn Katsir menambahkan, ketika qiblat berpindah dari Masjidil-Aqsha di Palestina ke Masjidil-Haram di Makkah, sebagian kaum muslimin ada yang merasa berat karena menilai inkonsisten. Maka ayat ini mengingatkan kaum muslimin bahwa nilai kebaikan itu sebenarnya bukan pada menghadap ke arah mananya, melainkan pada taatnya kepada Allah. Sepanjang itu ketaatan kepada Allah swt, maka itulah kebaikan, meski harus berpindah-pindah sesuai dengan perintah Allah swt. Termasuk di antaranya ajaran-ajaran lainnya yang merupakan manifestasi taat kepada Allah swt (Tafsir Ibn Katsir).
Secara khusus dalam konteks harta, ayat di atas tidak menyebut bahwa yang baik itu adalah yang banyak hartanya, barang koleksinya, barang mewahnya, dan barang antiknya, melainkan justru atal-mal ‘ala hubbihi; berani menginfaqkan harta yang dicintainya. Dalam surat Ali ‘Imran, penekanan nilai kebaikan pada belanja harta yang dicintainya atau yang luar biasa di jalan Allah swt diulang kembali:
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ ٩٢
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Ali ‘Imran [3] : 92).
Memang tidak semua harta yang dicintai harus diinfaqkan. Tetapi ada harta yang dicintai dan diinginkannya yang berani ia infaqkan. Shahabat Abu Thalhah ketika mendengar ayat ini segera menemui Nabi saw hendak menginfaqkan kebun kurmanya di Bairaha yang merupakan terbesar di Madinah saat itu. Nabi saw langsung bersabda:
بَخٍ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الْأَقْرَبِينَ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ أَفْعَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَسَمَهَا أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ
“Wah, ini harta yang banyak, ini harta yang sangat banyak. Aku sudah dengar apa yang kamu katakan. Menurutku sebaiknya kamu memberikannya kepada kerabatmu.” Abu Thalhah menjawab: “Baik, akan saya laksanakan wahai Rasulullah.” (kata Anas:) Maka Abu Thalhah pun membagikannya kepada kerabatnya dan saudara sepupunya (Shahih al-Bukhari bab az-zakat ‘alal-aqarib no. 1461).
Shahabat lainnya yang datang menemui Nabi saw hendak menginfaqkan harta yang dicintainya adalah ‘Umar ibn al-Khaththab. Setelah mendengar ayat 92 dari surat Ali ‘Imran, ia menimbang-nimbang harta mana yang menurutnya harta terbaik. Setelah dipikir matang bahwa itu adalah kebunnya di Khaibar, ‘Umar pun datang menemui Nabi saw dan meminta saran dari beliau. Nabi saw menjawab:
إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا
Jika kamu tidak keberatan, kamu tahan (waqafkan) tanahnya dan shadaqahkan hasilnya (Shahih al-Bukhari bab as-syuruth fil-waqf no. 2737).
Maka dari itu, orang-orang yang mempunyai gelar al-abrar (orang-orang baik yang sebenarnya) adalah mereka yang berani membelanjakan harta yang luar biasa di jalan Allah swt:
وَيُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسۡكِينٗا وَيَتِيمٗا وَأَسِيرًا ٨ إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآءٗ وَلَا شُكُورًا ٩ إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوۡمًا عَبُوسٗا قَمۡطَرِيرٗا ١٠
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Tuhan Kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan (QS. al-Insan [76] : 8-10).
Jadi yang baik dan harus diprioritaskan itu adalah harta untk diinfaqkan, bukan harta untuk dijadikan investasi masa depan dengan melupakan masa depan sesungguhnya (akhirat), dijadikan koleksi, barang antik, bawang mewah, ajang untuk pamer dan sebagainya. Fasilitasnya sudah disediakan oleh syari’at berupa zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah, qurban dan haji.
Khusus untuk qurban dan haji, masih saja banyak orang yang lebih memprioritaskan merokok, mengganti dengan atau menambah motor yang baru, membeli mobil, menambah rumah, dengan menomorduakan ibadah qurban dan haji. Dari segi kemampuan mereka sebenarnya sudah mampu, hanya tidak memprioritaskan saja. Itu disebabkan benak mereka menilai bahwa yang baik itu adalah menyamankan nafsu dunianya terlebih dahulu. Jika ini yang banyak terjadi di masyarakat, maka jelas ini sebuah kekeliruan besar. Apalagi di saat-saat antrian daftar tunggu ibadah haji yang semakin panjang setiap tahunnya. Jika ditunda-tunda, apakah itu tidak berarti sama dengan menunggu mati? Tidakkah akan menyesal jika mati menjemput ternyata harta yang dimiliki tidak sempat digunakan untuk qurban, haji, zakat, dan shadaqah-shadaqah lainnya? Wal-‘iyadzu bil-‘Llah.