Ibadah

Perempuan Haidl Boleh Masuk Masjid?

Syaikh al-Albani adalah di antara ulama kontemporer yang berani memfatwakan bahwa perempuan haidl boleh masuk masjid dengan hujjah yang cukup terperinci. Disebut berani karena fatwa tersebut menyalahi jumhur ulama dari empat madzhab yang mengarah pada ijma’ (kesepakatan bulat) perempuan haidl haram masuk masjid. Bahkan menyalahi pula pendapat kolega-koleganya seperti Syaikh Ibn Baz, Syaikh al-‘Utsaimin, dan Majelis Ulama Saudi Arabia.

Sebelum Syaikh al-Albani, ulama sebelumnya yang berpendapat sama adalah Ibn Hazm (w. 456 H). Pendapat Syaikh al-Albani pun banyak dirujukkan pada pendapat Ibn Hazm dari madzhab Zhahiriyyah (kelompok tekstualis). Inti argumen Syaikh al-Albani, sebagaimana diuraikannya dalam kitab fiqihnya, ats-Tsamarul-Mustathab fi Fiqhis-Sunnah wal-Kitab, adalah tidak ada dalil yang tegas melarang perempuan haidl masuk masjid, sehingga hukumnya kembali ke asal yakni tidak ada larangan (al-bara`atul-ashliyyah). Hadits pokok yang tegas melarang perempuan haidl masuk masjid dinilai dla’if oleh Syaikh al-Albani. Sementara dalil-dalil lainnya yang mengarah pada larangan tersebut dipahami berbeda oleh beliau. Syaikh al-Albani menyatakan:

وَبِالْجُمْلَةِ فَلاَ دَلِيْلَ عَلَى تَحْرِيْمِ دُخُوْلِ الْحَائِضِ وَكَذَا الْجُنُبِ الْمَسْجِدَ وَالْأَصْلُ الْجَوَازُ وَقَدِ اقْتُرِنَ بِهِ مَا يُؤَيِّدُهُ كَمَا سَبَقَ. والله تعالى ولي التوفيق

Kesimpulannya, tidak ada dalil yang mengharamkan perempuan haidl, demikian juga orang junub, untuk masuk masjid. Maka hukum pokoknya boleh. Sungguh telah disertakan dalil-dalil yang menguatkannya sebagaimana telah diulas. Dan Allah ta’ala Pemberi taufiq (ats-Tsamarul-Mustathab 2 : 755 bab ahkamul-masajid subbab al-mubahat).
Secara umum dalil-dalil yang menjelaskan larangan perempuan haidl masuk masjid ada tiga, yaitu:
Pertama, QS. an-Nisa` [4] : 43.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi (QS. an-Nisa` [4] : 43).
Syaikh al-Albani berpegang pada pendapat marjuh (tidak kuat/dijadikan pegangan para ulama) dari ‘Ali ibn Abi Thalib yang memahami shalat dalam ayat di atas bermakna shalat sebenarnya dan ‘abiri sabil sebagai musafir. Sehingga maknanya: Jangan mendekati shalat, kecuali orang yang sedang safar lalu junub dan tidak menemukan air. Ia boleh shalat dengan tayammum sampai ia mendapatkan air (Irwa`ul-Ghalil no. 193).
Padahal pendapat para ulama yang rajih (kuat) sebagaimana dijelaskan oleh dua ulama rujukan dalam tafsir; Imam at-Thabari dan Ibn Katsir, maksud ayat di atas adalah “jangan mendekati tempat shalat kecuali hanya lewat”. Shalat dalam ayat di atas dimaknai “tempat shalat”, dan ‘abir sabil dalam ayat di atas dimaknai “lewat”. Pendapat ini dirujukkan pada Ibn ‘Abbas, Ibn Mas’ud, dan Anas. Mereka menjelaskan bahwa makna ‘abir sabil adalah ‘sebatas melewati’. Pengecualian untuk orang safar itu sendiri dijelaskan di potongan ayat berikutnya dalam firman-Nya: wa in kuntum mardla au ‘ala safar…dan seterusnya (QS. an-Nisa` [4] : 43 atau al-Ma`idah [5] : 6). Jika yang dimaksud illa ‘abiri sabil adalah orang yang safar, tentu tidak perlu ada pengulangan lagi pada firman Allah swt: wa in kuntum mardla au ‘ala safar. Pendapat seperti ini bukan didasarkan pada ra`yu, melainkan riwayat dari berbagai shahabat yang dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah (Tafsir Ibn Katsir).
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dilarang dalam hadits di atas adalah orang yang junub, bukan perempuan yang haidl. Status hukum junub dan haidl berbeda. Orang yang junub tetap wajib shaum dan tidak batal dengan sebab junub ihtilam atau masih junub ketika masuk waktu shubuh, sementara perempuan haidl haram shaum dan batal shaumnya karena haidl. Akan tetapi meski ada perbedaan, dalam hal menjauhi masjidnya, perempuan haidl dan orang yang junub, hukumnya sama, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi saw dalam hadits ‘Aisyah berikut.
Kedua, hadits ‘Aisyah yang diperintah Nabi saw mengambil kain di masjid meski ketika itu ia sedang haidl.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ لِى رَسُولُ اللهِ ﷺ نَاوِلِينِى الْخُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. قَالَتْ فَقُلْتُ إِنِّى حَائِضٌ. فَقَالَ إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِى يَدِكِ

Dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda kepadaku: “Ambilkan untukku kain (sajadah) dari masjid.” Aku menjawab: “Saya sedang haidl.” Nabi saw menimpali: “Haidlmu bukan ada pada tanganmu.” (Shahih Muslim kitab al-haidl bab jawazi ghaslil-ha`idl ra`sa zaujiha no. 715)
Penolakan ‘Aisyah di atas menunjukkan bahwa memang sudah diketahui perempuan haidl itu tidak boleh masuk masjid. Nabi saw tidak menyanggahnya dalam hal itu, tetapi menunjukkan kepadanya bahwa tidak apa-apa kalau sekedar lewat untuk mengambil/menyerahkan sesuatu. Hadits ini menguatkan makna ayat 43 surat an-Nisa` di atas sebagaimana dijadikan pegangan oleh jumhur ulama. Terlepas dari apakah Nabi saw saat itu sedang di dalam masjid atau di luar masjid, yang jelas ‘Aisyah disuruh masuk masjid hanya untuk mengambil kain dari/ke masjid.
Akan tetapi Syaikh al-Albani beristinbath bahwa hadits di atas justru menunjukkan bahwa seorang perempuan haidl boleh masuk dan diam di masjid, terlebih lagi jika ada keperluan (ats-Tsamarul-Mustathab).
Imam at-Tirmidzi yang juga meriwayatkan hadits di atas menjelaskan:

وَهُوَ قَوْلُ عَامَّةِ أَهْلِ العِلْمِ، لَا نَعْلَمُ بَيْنَهُمْ اخْتِلَافًا فِي ذَلِكَ: بِأَنْ لَا بَأْسَ أَنْ تَتَنَاوَلَ الحَائِضُ شَيْئًا مِنَ المَسْجِدِ

Itu adalah pendapat mayoritas ahli ilmu. Kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam hal itu, yakni bahwa tidak berdosa perempuan haidl mengambil sesuatu dari masjid (Sunan at-Tirmidzi bab fil-ha`idl tatanawalu syai`an minal-masjid no. 134).
Ketika mensyarah hadits Ummu ‘Athiyyah yang memerintahkan perempuan haidl hadir dalam shalat ‘id tetapi tidak masuk area mushalla, Imam an-Nawawi menjelaskan:

قَالَ الْجُمْهُور: هُوَ مَنْع تَنْزِيه لَا تَحْرِيم، وَسَبَبه الصِّيَانَة وَالِاحْتِرَاز مِنْ مُقَارَنَة النِّسَاء لِلرِّجَالِ مِنْ غَيْر حَاجَة وَلَا صَلَاة، وَإِنَّمَا لَمْ يَحْرُم لِأَنَّهُ لَيْسَ مَسْجِدًا

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat larangan itu larangan kebersihan (makruh) bukan larangan haram. Sebabnya untuk menjaga dari berdekatannya perempuan dengan lelaki tanpa ada keperluan atau shalat. Tidak sampai haram karena memang mushalla bukan masjid (Syarah Shahih Muslim bab dzikr ibahah khurujin-nisa fil-‘idain no. 1475).
Sementara al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan:

وَحَمَلَ الْجُمْهُورُ الْأَمْرَ الْمَذْكُورَ عَلَى النَّدْبِ لِأَنَّ الْمُصَلَّى لَيْسَ بِمَسْجِدٍ فَيَمْتَنِعُ الْحُيَّضُ مِنْ دُخُولِهِ

Jumhur memahami perintah di atas sebagai sunat, karena mushalla bukan masjid yang mana perempuan-perempuan haidl terlarang masuk ke dalamnya (Fathul-Bari bab syuhudil-ha`id al-‘idain).
Penegasan Imam an-Nawawi dan Ibn Hajar di atas bahwa mushalla beda dengan masjid, dimana masjid haram dimasuki perempuan haidl, dan menyandarkannya pada pendapat jumhur ulama, menguatkan apa yang disebutkan Imam at-Tirmidzi di atas. Dalam hal ini maka pendapat Syaikh al-Albani diketahui marjuh (lemah)-nya.
Ketiga, hadits ‘Aisyah yang mengharamkan orang junub dan perempuan haidl masuk dan diam di masjid. Sanadnya, ‘Aisyah mengajarkan hadits ini kepada Jasrah binti Dijajah, dan Jasrah mengajarkannya kepada Aflat ibn Khalifah. Syaikh al-Albani mendla’ifkan hadits ini disebabkan dua rawi di bawah ‘Aisyah tersebut, yakni Jasrah binti Dijajah dan Aflat ibn Khalifah, yang menurutnya berstatus dla’if.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram no. 132 menjelaskan:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ : إِنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ

Dari ‘Aisyah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Rasulullah—shalawat dan salam untuknya—bersabda: “Sungguh aku tidak menghalalkan masjid untuk wanita yang haidl dan tidak pula untuk orang yang junub.” Abu Dawud meriwayatkannya dan Ibn Khuzaimah menshahihkannya.
Al-Hafizh Ibn Hajar sebagaimana terlihat di atas menyetujui penilaian shahih dari Ibn Khuzaimah. Dalam at-Talkhishul-Habir, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa hadits ini dinilai dla’if oleh sebagian ulama karena Aflat ibn Khalifah dinilai majhul hal (tidak dikenal statusnya). Akan tetapi Ibn Hajar tidak sependapat. Menurutnya Imam Ahmad jelas menyatakan bahwa Aflat ini ma ara bihi ba`san; saya tidak melihat ada cacat padanya. Imam Ibn Khuzaimah menilainya shahih dan Ibnul-Qaththan menilainya hasan (at-Talkhishul-Habir bab al-ghusl no. 185). Maka dari itu dalam Taqribut-Tahdzib al-Hafizh menyimpulkan bahwa Aflat seorang rawi yang shaduq (jujur).
Rawi lain yang dikritik oleh Syaikh al-Albani adalah Jasrah binti Dajajah. Ia dinilai oleh Imam al-Bukhari: ‘indaha ‘aja`ib; memiliki beberapa keanehan. Syaikh al-Albani juga sependapat dengan Imam al-Baihaqi, Ibn Hazm, ‘Abdul-Haq al-Asybili, al-Khaththabi dan an-Nawawi yang menilai hadits ini dla’if.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Tahdzibut-Tahdzib menjelaskan Jasrah sebagai berikut:

قَالَ الْعِجْلِيُّ ثِقَةٌ تَابِعِيَّةٌ وَذَكَرَهَا ابْنُ حِبَّانَ فِي الثِّقَاتِ قُلْتُ وَذَكَرَهَا أَبُوْ نُعَيْمٍ فِي الصَّحَابَةِ وَقاَلَ الْبُخَارِيُّ عِنْدَ جَسْرَةَ عَجَائِبُ قَالَ أَبُوْ الْحَسَنِ بْنُ الْقَطَّانِ هَذَا الْقَوْلُ لاَ يَكْفِي لِمَنْ يَسْقُطُ مَا رَوَتْ كَأَنَّهُ يُعَرِّضُ بِابْنِ حَزْمٍ لِأَنَّهُ زَعَمَ أَنَّ حَدِيْثَهَا بَاطِلٌ

Al-‘Ijli berkata: Ia seorang tsiqah dari generasi tabi’in. Ibn Hibban megategorikannya tsiqat. Aku tambahkan: Abu Nu’aim menyebutkannya sebagai shahabat. Tetapi Imam al-Bukhari berkata: “Pada Jasrah ada beberapa keanehan.” Abul-Hasan ibn al-Qaththan berkata: “Penyataan al-Bukhari ini tidak cukup untuk menggugurkan semua yang ia riwayatkan.” Seakan-akan ia menyindir Ibn Hazm yang meyakini bahwa hadits Jasrah bathil.
Dari uraian ini diketahui bahwa al-Hafizh Ibn Hajar sependapat dengan Ibnul-Qaththan yang tidak menilai hadits ini bathil. Beliau tidak sependapat dengan Ibn Hazm yang berlebihan menilai hadits Jasrah bathil. Maka dari itu dalam Taqribut-Tahdzib beliau menyimpulkan bahwa Jasrah seorang rawi yang maqbulah (bisa diterima jika ada yang menguatkan) dan mengakomodir pendapat bahwasanya ia pernah bertemu dengan Nabi saw (wa yuqalu inna laha idrakan). Sementara Imam adz-Dzahabi menyatakan bahwa Jasrah wutstsiqat; bisa dinilai tsiqah. Maka dari itu penilaian yang tepat untuk hadits dengan rawi seperti ini bukan dla’if sebagaimana penilaian al-Albani, melainkan hasan. Hadits hasan bisa dijadikan hujjah. Ibnul-Qaththan (w. 628 H) dalam hal ini menyatakan:

وَلم أقل: إِن هَذَا الحَدِيث الْمَذْكُور صَحِيح، وَإِنَّمَا أَقُول: إِنَّه حسن

Aku tidak mengatakan sungguh hadits yang disebutkan ini shahih, yang aku katakan hanya sungguh hadits ini hasan (Bayanul-Wahm wal-Iham fi Kitabil-Ahkam no. 2509).
Dalil lain yang dijadikan hujjah oleh Syaikh al-Albani adalah dalil-dalil umum seperti mukmin tidak najis, seorang hamba sahaya perempuan ada yang tinggal di masjid, dan para ahlus-shuffah yang tinggal di masjid. Dalil-dalil umum itu tidak menunjukkan secara pasti bahwa yang haidl boleh diam di masjid, sebab sudah ada pengecualian dengan hadits ‘Aisyah di atas. Tidak mustahil, baik hamba sahaya yang dimaksud ataupun ahlus-shuffah, ketika mereka haidl berpindah dahulu ke luar masjid. Jadi dalil umum tidak tepat dijadikan hujjah karena sifatnya terlalu umum.
Uraian rinci data takhrij hadits dari Ibnul-Qaththan, Ibn Hajar, as-Syaukani, Syaikh al-Albani, dan para ulama hadits lainnya sebenarnya tidak jauh berbeda. Yang berbeda hanya kecenderungan pilihan subjektifnya, apakah lebih cenderung menguatkan yang mendla’ifkan ataukah menguatkan yang menshahihkan. Model perbedaan ijtihad semacam ini sangat lumrah ditemukan dalam khazanah fiqih Islam. Umat Islam seyogianya selalu mengingat sabda Nabi saw tentang ijtihad dimana dua pihak yang berbeda dalam satu masalah ijtihad tidak ada satu pun yang divonis berdosa oleh Nabi saw. Yang satu pahalanya dua, dan yang satunya lagi pahalanya satu. Meski tidak bisa dipastikan mutlak mana yang pahalanya satu dan mana yang pahalanya dua. Maka dari itu menghadapi fakta perbedaan ijtihad ini sudah seyogianya umat menahan diri dari saling memvonis salah dan bid’ah, melainkan tetap mengedepankan toleransi dan diskusi dengan cara yang terbaik.
Hal lain yang harus dipertimbangkan dalam pertimbangan fiqih adalah jaminan Nabi saw bahwa ketika pada ulama sepakat maka itu mustahil sesat, dan yadul-‘Llah ma’al-jama’ah; kekuatan dari Allah itu ada pada mayoritas ulama (Sunan at-Tirmidzi kitab al-fitan bab ma ja`a fi luzum al-jama’ah no. 2320). Al-Jama’ah yang dimaksud, menurut para ulama sebagaimana dikemukakan Imam at-Tirmidzi, adalah ulama, ahli fiqh, dan ahli hadits. Maka dari itu akan lebih selamat jika pendapat mayoritas ulama yang dijadikan pegangan.
Hal terakhir yang harus juga dijadikan pegangan dalam fiqih adalah unsur syubhat yang selalu ada. Sebagaimana Nabi saw jelaskan dalam haditsnya yang populer, tidak selamanya yang halal jelas dan yang haram jelas. Ada kalanya halal dan haram tidak jelas atau syubhat. Maka yang harus dijadikan pegangan; syubhat itu diperlakukan seperti haram, karena memang dekat dengan unsur haram, dan harus dijauhi. Amal seperti ini dikenal dengan wara’ dan sangat dianjurkan. Dalam konteks perempuan haidl diam di masjid, mayoritas ulama menyatakan haram, beberapa ulama menyatakan halal. Artinya perempuan haidl diam di masjid itu statusnya syubhat, maka akan lebih selamat jika itu tidak diamalkan.
Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button