Sahabat Nabi

Nabi ﷺ Mengampuni Shahabat Yang Berkhianat 

Akhlaq mulia Nabi ﷺ  yang pemaaf dan mudah mengampuni diabadikan jelas dalam ayat-ayat al-Qur`an. Dengan akhlaq mulianya tersebut Nabi  bahkan dinyatakan melampaui akhlaq mulia yang standar. Terhadap seorang shahabat yang pernah berkhianat sekalipun, Nabi ﷺ  mudah saja untuk mengampuninya tanpa menyisakan dendam, ketika shahabat tersebut mengaku tulus bersalah dan menjelaskan keterpaksaannya berkhianat. 

Shahabat yang pernah berkhianat tersebut adalah Hathib ibn Abi Balta’ah (35 SH-30 H). Ia bukan penduduk asli Quraisy, tetapi pendatang yang diangkat menjadi saudara oleh Bani Asad, tepatnya oleh ‘Utsman ibn ‘Affan. Ia termasuk Muhajirin yang hijrah bersama Nabi saw ke Madinah serta mengikuti beberapa peperangan dengan Nabi saw dari sejak perang Badar. Ia dikenal sebagai pemanah dan penunggang kuda yang mahir. Profesi utamanya adalah seorang pedagang. 

Di saat Nabi saw memutuskan untuk menyerang Makkah ketika penduduknya melanggar perjanjian Hudaibiyyah dan beliau berdo’a: “Allahumma ‘ammi ‘alaihim khabarana; Ya Allah butakan bagi mereka berita tentang kami,” Hathib ternyata menulis surat dan disuruhnya seorang perempuan untuk mengantarkan surat tersebut kepada keluarganya di Makkah. Allah swt mengijabah do’a Nabinya dengan memberitahukan kepadanya surat rahasia dari Hathib tersebut. Nabi saw kemudian menginstruksikan ‘Ali, az-Zubair, dan al-Miqdad untuk mengejar perempuan tersebut dan mengambil surat itu darinya. Imam al-Bukhari meriwayatkan peristiwa pengkhianatan Hathib ini dalam salah satu bab Shahih al-Bukhari di antaranya: 

بَاب غَزْوَةِ الْفَتْحِ وَمَا بَعَثَ حَاطِبُ بْنُ أَبِي بَلْتَعَةَ إِلَى أَهْلِ مَكَّةَ يُخْبِرُهُمْ بِغَزْوِ النَّبِيِّ ﷺ 

Bab: Perang Fath (Penaklukan Makkah) dan Surat Hathib ibn Abi Balta’ah kepada Penduduk Makkah Memberitahukan kepada Mereka Penyerangan Nabi saw 

عن عَلِيٍّ  يَقُولُ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنَا وَالزُّبَيْرَ وَالْمِقْدَادَ فَقَالَ انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا ظَعِينَةً مَعَهَا كِتَابٌ فَخُذُوا مِنْهَا قَالَ فَانْطَلَقْنَا تَعَادَى بِنَا خَيْلُنَا حَتَّى أَتَيْنَا الرَّوْضَةَ فَإِذَا نَحْنُ بِالظَّعِينَةِ قُلْنَا لَهَا أَخْرِجِي الْكِتَابَ قَالَتْ مَا مَعِي كِتَابٌ فَقُلْنَا لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ لَنُلْقِيَنَّ الثِّيَابَ قَالَ فَأَخْرَجَتْهُ مِنْ عِقَاصِهَا فَأَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَإِذَا فِيهِ مِنْ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ إِلَى نَاسٍ بِمَكَّةَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ يُخْبِرُهُمْ بِبَعْضِ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ   

Dari ‘Ali ra, ia berkata: Rasulullah saw mengutusku, az-Zubair, dan al-Miqdad dengan berpesan: “Pergilah kalian hingga datang ke kebun Khakh, karena sungguh di sana ada seorang perempuan paruh baya yang membawa surat. Ambil oleh kalian surat tersebut.” ‘Ali berkata: Kami lalu pergi mengendarai kuda dengan sangat cepat hingga datang ke kebum yang dituju. Ternyata benar di sana ada seorang perempuan paruh baya. Kami berkata kepadanya: “Keluarkan suratnya.” Ia menjawab: “Aku tidak bawa surat apapun.” Kami menekan: “Keluarkan suratnya atau kami akan lepaskan pakaianmu.” Ia lalu mengeluarkan surat itu dari jalinan rambutnya. Kami lalu pulang membawanya kepada Rasulullah saw. Ternyata isi surat itu dari Hathib ibn Abi Balta’ah kepada beberapa orang musyrik di Makkah memberitahukan kepada mereka salah satu kebijakan Rasulullah saw (untuk menyerang Makkah).  

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَا حَاطِبُ مَا هَذَا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا تَعْجَلْ عَلَيَّ إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ يَقُولُ كُنْتُ حَلِيفًا وَلَمْ أَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهَا وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ مَنْ لَهُمْ قَرَابَاتٌ يَحْمُونَ أَهْلِيهِمْ وَأَمْوَالَهُمْ فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنْ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ عِنْدَهُمْ يَدًا يَحْمُونَ قَرَابَتِي وَلَمْ أَفْعَلْهُ ارْتِدَادًا عَنْ دِينِي وَلَا رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكُمْ  

Rasulullah saw bertanya: “Hai Hathib, apa-apaan ini!?” Ia menjawab: “Wahai Rasulullah, jangan tergesa-gesa menghukumiku. Aku adalah orang yang dilekatkan di Quraisy. Aku hanya seorang halif (pendatang yang kemudian mengikat sumpah dengan penduduk Quraisy) dan bukan penduduk asli. Kaum Muhajirin yang ada bersama anda mereka memiliki kerabat yang akan menjaga keluarga dan harta mereka. Karena aku tidak punya silsilah nasab, aku ingin agar ada penolong dari mereka yang akan menjaga keluargaku. Aku tidak melakukannya karena murtad dari agamaku atau karena ridla dengan kufur sesudah Islam.” Rasulullah saw bersabda: “Sungguh ia telah berkata jujur.” 

فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ عَلَى مَنْ شَهِدَ بَدْرًا فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ السُّورَةَ {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنْ الْحَقِّ إِلَى قَوْلِهِ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ} 

‘Umar berkata: “Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal leher orang munafiq ini.” Beliau menjawab: “Ia sungguh ikut perang Badar. Tidakkah kamu tahu Allah telah mendatangi orang-orang yang ikut serta perang Badar dan berfirman: ‘Amalkanlah apapun semau kalian. Sungguh Aku telah mengampuni kalian’. Allah kemudian menurunkan surat ini:  

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمۡ أَوۡلِيَآءَ تُلۡقُونَ إِلَيۡهِم بِٱلۡمَوَدَّةِ وَقَدۡ كَفَرُواْ بِمَا جَآءَكُم مِّنَ ٱلۡحَقِّ يُخۡرِجُونَ ٱلرَّسُولَ وَإِيَّاكُمۡ أَن تُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ رَبِّكُمۡ إِن كُنتُمۡ خَرَجۡتُمۡ جِهَٰدٗا فِي سَبِيلِي وَٱبۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِيۚ تُسِرُّونَ إِلَيۡهِم بِٱلۡمَوَدَّةِ وَأَنَا۠ أَعۡلَمُ بِمَآ أَخۡفَيۡتُمۡ وَمَآ أَعۡلَنتُمۡۚ وَمَن يَفۡعَلۡهُ مِنكُمۡ فَقَدۡ ضَلَّ سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ  ١ 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus—QS. al-Mumtahanah [60] : 1 (Shahih al-Bukhari bab ghazwatil-fath no. 4274). 

Hadits ini mengajarkan bahwa seorang shahabat yang mulia bahkan Ahli Badar sekalipun tidak luput dari dosa dan kesalahan. Sangat mungkin mereka melakukan dosa, bahkan dosa besar khianat yang dikategorikan amal munafiq. Akan tetapi tentu kesalahan mereka karena kekhilafan, bukan karena murtad ataupun berpihak kepada orang-orang kafir. Kesalahan dari orang-orang yang pernah berjasa besar pada Islam sudah sepatutnya diampuni tanpa syarat. Pembenaran Nabi saw atas firman Allah swt untuk Ahli Badar: “Amalkanlah apapun semau kalian. Sungguh Aku telah mengampuni kalian”, menurut Al-Hafizh Ibn Hajar merupakan jaminan dari Allah swt bahwa dosa-dosa Ahli Badar, meskipun masuk kategori besar, sudah pasti karena kekhilafan, dan faktanya mereka kemudian mudah bertaubat dan berkomitmen besar dalam amal shalih hingga akhir hayat mereka. Hathib sendiri kemudian ditugaskan oleh Nabi saw untuk mengirim surat kepada raja Muqaiqis, dan ia menyampaikan kepadanya tanpa berkhianat (Fathul-Bari bab la tattakhidzu ‘aduwwi wa ‘aduwwakum auliya dan Siyar A’lamin-Nubala`). 

Sikap lantang ‘Umar ra yang ingin memenggal leher orang munafiq tentunya didasarkan pada pengetahuan yang sudah diajarkan oleh Nabi saw bahwa orang yang berkhianat, berdusta, dan ingkar adalah orang-orang munafiq. Orang munafiq yang bersekongkol denngan musuh untuk melawan kaum muslimin hukumannya memang hukuman mati. Meski demikian, ia meminta izin terlebih dahulu kepada Nabi saw atas keinginannya itu. Tetapi ternyata Nabi saw tidak mengizinkannya meskipun tidak menyalahkan sepenuhnya ‘Umar ra. Nabi saw hanya menegurnya dengan halus bahwa Hathib, meski bagaimanapun, termasuk Ahli Badar, yang layak mendapatkan ampunan atas segala apa yang ia telah korbankan demi Islam (Fathul-Bari bab bab la tattakhidzu ‘aduwwi wa ‘aduwwakum auliya). 

Kasus yang sama juga pernah dialami oleh Malik ibnud-Dukhsyun, sebagai shahabat Ahli Badar, meski hanya sebatas fitnah atau berita jelek yang menyebar terkait kedekatannya dengan orang-orang munafiq. Akan tetapi hal itu tidak berlanjut, terbukti dengan kesigapannya untuk menghancurkan masjid Dlirar yang sengaja dibangun orang Munafiq sebagai tempat bermusyawarah merumuskan strategi menghancurkan Islam (https://attaubah-institute.com/jangan-vonis-munafiq-ibnud-dukhsyun/). Hal itu pun membuktikan kebenaran jaminan Allah swt bahwa Ahli Badar pasti akan diampuni dosanya. 

Selebihnya dari itu, kejadian ini memberikan gambaran kebenaran firman Allah swt tentang akhlaq mulia Nabi saw yang sudah sepatutnya diteladani oleh umatnya khususnya para pemimpin: 

فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ  ١٥٩ 

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS. Ali ‘Imran [3] : 159). 

لَقَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُولٞ مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ عَزِيزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِيصٌ عَلَيۡكُم بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ رَءُوفٞ رَّحِيمٞ  ١٢٨ 

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin (QS. At-Taubah [9] : 128). 

Wal-‘Llahu a’lam 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button