Mengapa Nabi saw Selalu I’tikaf?
Mengapa sepanjang hidupnya Nabi saw selalu i’tikaf? Apakah itu disebabkan Nabi saw pengangguran? Apakah itu dikarenakan Nabi saw tidak banyak kesibukan? Ataukah karena ada hal yang lebih penting daripada bergelut diri dengan kesibukan?
I’tikaf arti asalnya ‘menetapi, tetap tinggal’. Artinya kemudian berkembang menjadi ‘ibadah, menyembah’ (QS. al-Anbiya` [21] : 52: Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu i’tikaf/tekun beribadah kepadanya?”). Itu artinya i’tikaf adalah beribadah sambil menetapi satu tempat. Dalam al-Qur`an Allah swt berfirman:
ۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ
Janganlah kalian campuri mereka (istri) sedang kalian beri’tikaf di dalam masjid (QS. al-Baqarah [2] : 187).
Dari ayat di atas bisa dipahami dua ketentuan seputar i’tikaf: Pertama, i’tikaf itu dilakukan hanya di dalam masjid, artinya tidak boleh keluar masjid. Jika i’tikaf itu disyari’atkannya selama 10 hari terakhir Ramadlan, maka berarti selama 10 hari itu pula tidak boleh keluar masjid, sepanjang siang dan malamnya. Tentunya dikecualikan untuk hal-hal tertentu yang tidak mungkin dilakukan di masjid seperti kencing, buang air besar, dan makan jika tidak ada makanan di masjid. Tapi untuk sekedar menengok orang yang sakit, menghadiri jenazah, dan menengok keluarga, tidak dibolehkan (Sunan Abi Dawud bab al-mu’takif ya’udul-maridl no. 2475). Kedua, meski makan, minum dan jima’ dibolehkan sepanjang malam Ramadlan, maka selama i’tikaf yang dihalalkan pada malam Ramadlan hanya makan dan minum saja, jima’ hukumnya haram.
Nabi saw selalu i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadlan sepanjang hidupnya, itu dinyatakan sendiri oleh istrinya, ‘Aisyah:
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi saw beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadlan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian setelah itu istri-istri Nabi beri’tikaf. (Shahih al-Bukhari kitab al-i’tikaf bab al–i’tikaf fil-‘asyril-awakhir no. 1922).
Saking tidak mau terlewat satu tahun pun tanpa i’tikaf, Nabi saw sampai pernah mengqadlanya ketika beliau membatalkan i’tikaf karena ada sesuatu hal yang mengganggunya. ‘Aisyah ra menceritakannya sebagai berikut:
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خَبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خَبَاءً فَأُذِنَتْ لَهَا فَضَرَبَتْ خَبَاءً فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ بِنْتُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خَبَاءً آخَرَ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِيُّ ﷺ رَأَى الْأَخْبِيَةَ فَقَالَ مَا هَذَا فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ آلْبِرَّ تَرَوْنَ بِهِنَّ فَتَرَكَ الْاِعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ
Nabi saw beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadlan. Aku membuatkan baginya tenda. Beliau shalat Shubuh lalu masuk ke tenda itu. Kemudian Hafshah meminta izin kepada ‘Aisyah untuk membuat tenda. Ia mengizinkan, dan lantas Hafshah membuat tenda. Tatkala Zainab binti Jahsy melihatnya, ia pun membuat tenda juga. Keesokan harinya, Nabi saw melihat tenda-tenda itu. Lantas beliau bersabda: “Ada apa ini?” Lalu beliau pun diberitahu, dan kemudian bersabda: “Apakah kalian menilai semua ini baik?” Maka beliau meninggalkan i’tikaf pada bulan itu dan beliau beri’tikaf 10 hari di bulan Syawwal. (Shahih al-Bukhari bab i’tikafin-nisa no. 2033).
Ibadah ini tentunya tidak berarti hanya khusus berlaku bagi Nabi saw, sebab Nabi saw sendiri menyatakan:
فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ. فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
“Maka siapa di antara kalian yang ingin beri’tikaf, maka i’tikaflah.” Abu Sa’id berkata: Orang-orang pun beri’tikaf bersama beliau (Shahih Muslim kitab as-shaum bab fadlli lailatil-qadri no. 2828).
Artinya, i’tikaf dilakukan oleh banyak orang di zaman Nabi saw berdasarkan anjuran dari Nabi saw di atas. Meski tentunya tidak wajib karena Nabi saw mengatakannya ahabba (yang ingin, tanpa memaksa/mewajibkan).
Jawaban dari semua itu dinyatakan oleh Nabi saw sendiri melalui sabdanya:
إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ
Sungguh aku i’tikaf dari 10 hari pertama untuk mencari malam itu (Lailatul-Qadar), lalu aku beri’tikaf lagi di 10 hari pertengahan. Kemudian aku diberitahu bahwasanya dia ada di 10 hari terakhir (Shahih Muslim kitab as-shaum bab fadlli lailatil-qadri no. 2828).
Secara jelas Nabi saw menyebutkan bahwa karena “lailatul-qadar”-lah beliau i’tikaf. Bahkan di masa-masa awal di Madinah ketika beliau belum diberitahu oleh Allah swt kapan lailatul-qadar, beliau sampai beri’tikaf dari awal Ramadlan sampai akhir Ramadlan, sebulan penuh.
Lailatul-qadar itu sendiri sebagaimana dinyatakan Allah swt dalam al-Qur`an, adalah malam yang sangat mulia karena lebih baik dari seribu bulan. Jika seribu bulan itu sekira 83 tahun, berarti lailatul-qadar lebih baik dari 83 tahun. Nilai pahala ibadah di malam lailatul-qadar lebih baik daripada shalat terus menerus sepanjang 83 tahun; lebih baik daripada dzikir terus menerus, shadaqah terus menerus, dan shaum terus menerus selama 83 tahun. Jika untuk ibadah haji dan umrah yang hanya beberapa hari saja, tidak sampai 83 tahun, banyak yang bersemangat dan meluangkan waktu untuk menjalaninya, maka seyogianya untuk lailatul-qadar yang lebih baik daripada haji dan umrah selama 83 tahun non-stop, juga harus siap meluangkan waktu untuknya. Itulah pesan yang hendak disampaikan Nabi saw melalui sunnahnya ini. Meskipun kemudian Nabi saw yang tidak mungkin berkehendak memberatkan umatnya tidak sampai mewajibkannya.
Lailatul-qadar itu malam dimana semua malaikat turun ke bumi sepanjang malam sampai shubuh untuk menetapkan dan mengurus semua urusan manusia. Maka Nabi saw pun sangat berkepentingan untuk memberikan contoh kepada umatnya bagaimana seharusnya menyambut para malaikat yang turun sepanjang malam itu; bangun terjaga di sepanjang malam untuk shalat tarawih, tadarus al-Qur`an, berdo’a, berdzikir dan istighfar.
Karena lailatul-qadar itu kemungkinan besarnya ada di sepuluh malam terakhir Ramadlan, maka agar bisa dipastikan lailatul-qadar tidak terlewatkan, di sepanjang sepuluh malam itu pula Nabi saw terjaga untuk beribadah. Tidak dengan memilih malam-malam tertentu saja, karena dikhawatirkan ada satu malam lailatul-qadar yang ternyata terjadinya di malam yang tidak dipilih. Meski di hadits lain Nabi saw membolehkan untuk memilih malam-malam yang ganjil saja bagi mereka yang tidak mampu terjaga di sepuluh malamnya.
Karena i’tikaf harus dengan konsentrasi dan tenaga ekstra agar bisa terus bertahan sampai sepuluh malam, maka di siang harinya Nabi saw pun mencontohkan untuk meninggalkan semua aktivitas duniawi. Itu semua dilakukan Nabi saw agar kemuliaan lailatul-qadar berhasil diraih dengan bertahan ibadah di sepanjang 10 hari dan malam terakhir Ramadlan. Wal-‘Llahu a’lam.