Memilih Keluarga atau Berkorban
Nabi Ibrahim mendapatkan banyak ujian untuk memilih mendahulukan keluarga atau berkorban memenuhi perintah Allah swt. Ujian-ujian tersebut berhasil dilalui oleh Nabi Ibrahim u dengan lulus. Beliau pun mendapatkan status imam (pemimpin/teladan) dari Allah swt (QS. al-Baqarah [2] : 124). Umat setelahnya sudah seyogianya meneladani imam pilihan Allah swt tersebut.
Kisah ujian Nabi Ibrahim as mengajarkan bahwa keluarga akan menjadi penghalang utama dari berkorban di jalan Allah swt. Ini menjadi semacam ujian utama bagi setiap orang sampai akhir masa. Nabi Ibrahim as berhasil lulus darinya, sehingga beliau dijadikan imam. Umat Islam sebagai pelanjutnya sudah seharusnya meneladaninya.
Dalam berbagai ayat Allah swt menyebutkan identitas Nabi Ibrahim as sebagai muslim. Nama ini pun resmi dilekatkan oleh Allah swt untuk umat Nabi Ibrahim as dan umat Nabi Muhammad saw sampai akhir masa. Kesamaan ini sepatutnya melahirkan kesamaan juga dalam amal, yakni bahwa keislaman itu harus diwujudkan dalam kepasrahan total kepada Allah swt tanpa harus terkendala oleh rintangan keluarga. Allah swt berfirman:
مِّلَّةَ أَبِيكُمۡ إِبۡرَٰهِيمَۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ مِن قَبۡلُ وَفِي هَٰذَا
…(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini (QS. al-Hajj [22] : 78).
Maka dari itu millah (teladan beragama) Ibrahim dijadikan standar kebenaran keberagamaan umat Nabi Muhammad saw. Siapa saja yang berhasil mengikuti millah Ibrahim berarti agamanya lurus, dan yang tidak mengikutinya berarti agamanya masih bengkok:
قُلۡ إِنَّنِي هَدَىٰنِي رَبِّيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ دِينٗا قِيَمٗا مِّلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۚ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ١٦١
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. al-An’am [6] : 161).
Ujian Nabi Ibrahim as untuk berkorban demi Allah swt atau memilih keluarga dimulai ketika beliau harus memilih berbeda dengan ayahnya yang bekerja sebagai pembuat berhala (QS. al-An’am [6] : 74). Beliau tentunya harus memilih antara menasihati ayahnya yang konsekuensinya dimusuhi atau tidak menasihatinya sama sekali dan terus menjalin hubungan baik dengan ayahnya. Nabi Ibrahim as memilih untuk menasihati ayahnya dan rela diusir olehnya, meski tetap mendo’akan yang terbaik untuk ayahnya tersebut (QS. Maryam [19] : 46-47).
Ujian keduanya adalah ketika beliau harus mendakwahi kaumnya dengan konsekuensi beliau dan keluarganya, bahkan juga pengikutnya, akan diusir oleh kaumnya (QS. as-Shaffat [37] : 99-100). Ini tentu bukan pilihan yang sederhana karena jika hanya diri sendiri yang belum berkeluarga diusir, pertimbangannya mungkin tidak terlalu berat. Tetapi jika yang harus terusir itu juga dengan keluarga dan para pengikut, tentu pertimbangannya sangat berat. Meski demikian justru dalam hal inilah Nabi Ibrahim as dan pengikutnya menjadi uswah hasanah (teladan yang baik) untuk umat Islam hari ini (QS. al-Mumtahanah [60] : 4)
Ujian ketiga ketika Nabi Ibrahim as diperintahkan Allah swt untuk mengasingkan anak istrinya di sebuah lembah yang tidak ada pepohonan dekat Baitullah, Ka’bah (QS. Ibrahim [14] : 37). Kelak ketika putranya beranjak dewasa pun Nabi Ibrahim as diperintahkan untuk menyembelih putranya tersebut (QS. As-Shaffat [37] : 102-107). Semua itu dijalani dengan ikhlash hingga kemudian Allah swt menggantinya dengan qurban hewan yang kemudian menjadi syari’at sampai hari ini beserta manasik hajinya.
Ujian keempat ketika Nabi Ibrahim as diperintahkan Allah swt membangun Masjidil-Haram dan membersihkannya untuk dimakmurkan dengan thawaf, ibadah, dan shalat [QS. Al-Baqarah [2] : 125-127]. Nabi Ibrahim as dalam hal ini dituntut untuk mengorbankan waktu, tenaga, sekaligus harta. Membangun masjid tentu memerlukan biaya dan tenaga. Demikian halnya menjaga kebersihannya memerlukan waktu yang tidak sebentar. Di samping itu memakmurkannya dengan thawaf, manasik haji, ibadah, dan shalat ini juga memerlukan tenaga dan biaya yang tidak sedikit.
Semua ujian di atas dijalani Nabi Ibrahim as dengan baik dan tidak pernah sekalipun ada yang terkendala karena mendahulukan keluarga. Salah satu kuncinya karena Nabi Ibrahim as sudah menshalihkan keluarganya terlebih dahulu, sehingga anak istrinya juga tidak memberatkan Nabi Ibrahim as dalam menjalankan ujiannya, melainkan mendukung sepenuhnya. Ini terlihat dari do’a malaikat kepada keluarga Ibrahim as ketika mereka berkunjung ke rumahnya (QS. Hud [11] : 73). Atau dari do’a Nabi Ibrahim as sendiri yang menggambarkan tekad kuatnya untuk menshalihkan keluarganya (QS. Ibrahim [14] : 37 dan 40).
Mari sekarang bandingkan dengan diri sendiri; ketika perintah berkorban menyembelih qurban kambing—bukan menyembelih anak kandung sendiri—yang sudah dari sejak jauh hari dimaklumatkannya dan bukan dadakan, apakah masih saja akan mengatakan tidak mampu padahal gaya hidup yang dijalani memperlihatkan diri bukan sebagai orang miskin?
Ketika ajakan untuk membangun masjid datang padahal uang di tabungan ada, masih sajakah akan terus disimpan demi kebutuhan keluarga yang belum datang? Padahal dasarnya hanya ketakutan dan ketakutan. Takut suatu hari nanti ada kebutuhan mendesak tetapi uang tidak ada. Padahal Nabi saw mengajarkan yang harus ditakutkan sekarang itu adalah siksa neraka yang bisa diselamatkan dengan shadaqah sekarang juga. Ketakutan yang sebetulnya belum ada jadi ada, karena hati yang bergantung pada harta, dan bukannya bergantung pada Allah swt. Aqidah Allahus-Shamad menjadi hilang ketika ketakutan akan kebutuhan keluarga terus dipelihara dan menganggap Allah swt tidak akan menolong hamba-hamba-Nya yang rajin bershadaqah.
Teladan membersihkan rumah Allah, memakmurkannya dengan ibadah, shalat, dan haji juga selalu tidak teragendakan karena kesibukan mengurus keluarga. Keluarga dijadikannya musuh yang merintangi jalan Allah swt, bukan malah dibawa untuk turut berkorban di jalan Allah swt.
Sungguh tepat Allah swt memerintahkan orang beriman jangan sampai terlalaikan oleh harta dan keluarga dalam surat al-Munafiqun karena memang model akhlaq buruk ini hanya pantas dimiliki orang-orang munafiq; mengaku iman tetapi sebenarnya tidak beriman. Keberagamaan orang-orang seperti ini masih jauh dari teladan Nabi Ibrahim as yang merupakan tipologi keberagamaan ideal.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُلۡهِكُمۡ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَلَآ أَوۡلَٰدُكُمۡ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ ٩
Hai orang-orang ng beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi (QS. al-Munafiqun [63] : 9).
Wal-‘Llahu a’lam