Meraih Cinta Ilahi

Kedahsyatan Cinta Nabi ﷺ

Umumnya cinta menuntut pengorbanan. Pengorbanan yang tidak biasa-biasa saja, melainkan harus sempurna. Ketika pengorbanan yang diberikan tidak sempurna, seringkali cinta kemudian disangsikan; benarkah cinta atau hanya tipuan semata? Tetapi yang demikian itu berlaku dalam cinta manusia di alam dunia. Sementara cinta kepada Nabi Muhammad saw tidak harus menuntut pengorbanan yang sempurna. Asalkan ketulusan cinta itu ada, meski pengorbanannya hanya sekemampuan saja, balasannya sungguh dahsyat; membersamai Rasulullah saw di surga.

Seorang Arab dari pelosok pegunungan ada yang pernah datang kepada Nabi saw bertanya tentang kapan waktu pasti kiamat. Ia mengakui bahwa amalnya belum sempurna seperti yang lain, hanya ia punya modal cinta yang tulus kepada Nabi saw.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُولِ اللهِ ﷺ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ مَا أَعْدَدْتَ لَهَا؟ قَالَ حُبَّ اللهِ وَرَسُولِهِ. قَالَ: أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

Dari Anas ibn Malik ra: Ada seorang Arab dari pegunungan bertanya kepada Rasulullah saw: “Kapan kiamat itu?” Rasulullah saw balik bertanya: “Apa yang sudah kamu siapkan untuknya?” Ia menjawab: “Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau menjawab: “Maka sungguh kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (Shahih Muslim bab al-mar` ma’a man ahabba no. 6878 dari jalan Ishaq ibn ‘Abdillah ibn Abi Thalhah)
Dalam riwayat Salim ibn Abil-Ja’d, Anas ibn Malik ra menceritakan:

بَيْنَمَا أَنَا وَرَسُولُ اللهِ ﷺ خَارِجَيْنِ مِنَ الْمَسْجِدِ فَلَقِينَا رَجُلاً عِنْدَ سُدَّةِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ مَا أَعْدَدْتَ لَهَا؟ قَالَ فَكَأَنَّ الرَّجُلَ اسْتَكَانَ ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَعْدَدْتُ لَهَا كَبِيرَ صَلاَةٍ وَلاَ صِيَامٍ وَلاَ صَدَقَةٍ وَلَكِنِّى أُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ. قَالَ: فَأَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

Ketika aku dan Rasulullah saw keluar dari masjid, kami bertemu seseorang dekat pintu masjid. Ia bertanya: “Wahai Rasulullah, kapan kiamat itu?” Rasulullah saw menjawab: “Apa yang sudah kamu persiapkan untuknya?” Anas berkata: Seakan-akan lelaki itu merunduk, kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mempersiapkan untuknya dengan banyak shalat, shaum, atau shadaqah, tetapi aku cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau menjawab: “Maka kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (Shahih Muslim bab al-mar` ma’a man ahabba no. 6883 dari jalan Salim ibn Abil-Ja’d).
Dalam riwayat Tsabit al-Bunani, dari Hammad ibn Zaid, diriwayatkan bahwa setelah Anas ibn Malik ra mendengar sabda Nabi saw di atas, ia langsung berkata:

فَمَا فَرِحْنَا بَعْدَ الإِسْلاَمِ فَرَحًا أَشَدَّ مِنْ قَوْلِ النَّبِىِّ ﷺ فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ. قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِأَعْمَالِهِمْ

Tidak pernah kami merasa bahagia sesudah kami masuk Islam, seperti bahagianya kami saat itu setelah mendengar sabda Nabi saw: “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” Anas berkata: Aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap besar bisa bersama dengan mereka meski aku tidak beramal seperti amal mereka (Shahih Muslim bab al-mar` ma’a man ahabba no. 6881).
Sementara itu dalam riwayat Tsabit al-Bunani, dari Yunus ibn ‘Ubaid, dijelaskan oleh Anas ra, ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw:

يَا رَسُولَ اللهِ الرَّجُلُ يُحِبُّ الرَّجُلَ عَلَى الْعَمَلِ مِنَ الْخَيْرِ يَعْمَلُ بِهِ وَلاَ يَعْمَلُ بِمِثْلِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mencintai orang lain karena amal baiknya, ia pun beramal baik yang sama dengannya tetapi belum bisa persis menyamainya.” Rasulullah saw menjawab: “Seseorang itu akan bersama dengan orang yang dicintainya.”
Anas ra pun saat itu menyatakan:

رَأَيْتُ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَرِحُوا بِشَىْءٍ لَمْ أَرَهُمْ فَرِحُوا بِشَىْءٍ أَشَدَّ مِنْهُ

Aku melihat para shahabat Rasulullah saw sangat bahagia ketika mendengar hal tersebut. Aku tidak pernah melihat mereka bahagia lebih dari itu dengan sesuatu yang baru mereka ketahui (Sunan Abi Dawud bab ikhbarir-rajulir-rajul bi mahabbatihi iyyahu no. 5129).
Terkait hadits di atas, Imam an-Nawawi menjelaskan:

فِيهِ فَضْل حُبّ اللَّه وَرَسُوله ﷺ وَالصَّالِحِينَ، وَأَهْل الْخَيْر، الْأَحْيَاء وَالْأَمْوَات. وَمِنْ فَضْل مَحَبَّة الله وَرَسُوله اِمْتِثَال أَمْرهمَا وَاجْتِنَاب نَهْيهمَا وَالتَّأَدُّب بِالْآدَابِ الشَّرْعِيَّة. وَلَا يُشْتَرَط فِي الِانْتِفَاع بِمَحَبَّةِ الصَّالِحِينَ أَنْ يَعْمَل عَمَلهمْ؛ إِذْ لَوْ عَمِلَهُ لَكَانَ مِنْهُمْ وَمِثْلهمْ، وَقَدْ صُرِّحَ فِي الْحَدِيث الَّذِي بَعْد هَذَا بِذَلِكَ، فَقَالَ : أَحَبَّ قَوْمًا وَلَمَّا يَلْحَق بِهِمْ. قَالَ أَهْل الْعَرَبِيَّة : (لَمَّا) نَفْي لِلْمَاضِي الْمُسْتَمِرّ فَيَدُلّ عَلَى نَفْيه فِي الْمَاضِي وَفِي الْحَال. بِخِلَافِ (لَمْ) فَإِنَّهَا تَدُلّ عَلَى الْمَاضِي فَقَطْ، ثُمَّ إِنَّهُ لَا يَلْزَم مِنْ كَوْنه مَعَهُمْ أَنْ تَكُون مَنْزِلَته وَجَزَاؤُهُ مِثْلهمْ مِنْ كُلّ وَجْه

Di sini dijelaskan fadlilah cinta Allah, Rasul-Nyasemoga shalawat dan salam selalu tercurah kepadanyaorang-orang shalih, dan orang-orang ahli kebaikan, baik itu ketika hidup atau sesudah meninggal. Di antara keutamaan cinta Allah dan Rasul-Nya itu adalah akan memenuhi perintah mereka, menjauhi larangan mereka, dan beradab dengan adab-adab syari’at. Tidak disyaratkan dalam memperoleh manfaat cinta kepada orang-orang shalih itu untuk beramal seperti amal mereka, sebab jika ia beramal seperti mereka tentulah ia bagian dari mereka atau seperti mereka. Sementara ditegaskan dalam hadits berikutnya sesudah ini, seseorang berkata: “Seseorang mencintai satu kaum tetapi tidak bisa menyamai mereka.” Ahli bahasa Arab menjelaskan: Kata “lamma” bermakna meniadakan di masa lalu dan selamanya. Maka hadits itu menunjukkan ketidakmampuan menyamai baik di masa lalu ataupun saat ini. Berbeda dengan kata “lam”, karena sesungguhnya itu menunjukkan masa lalu saja. Kemudian tentunya tidak otomatis keadaan bersama mereka itu artinya kedudukan dan pahalanya sama persis seperti mereka dari segala aspeknya.” (Syarah Shahih Muslim an-Nawawi kitab al-birr was-shilah bab al-mar`u ma’a man ahabba no. 4775).
Hal yang sama ditegaskan juga oleh al-Hafizh Ibn Hajar:

وَدَلَّ الْخَبَر عَلَى أَنَّ اِتِّبَاع الرَّسُول وَإِنْ كَانَ الْأَصْل أَنَّهُ لَا يَحْصُل إِلَّا بِامْتِثَالِ جَمِيع مَا أُمِرَ بِهِ أَنَّهُ قَدْ يَحْصُل مِنْ طَرِيق التَّفَضُّل بِاعْتِقَادِ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَحْصُل اِسْتِيفَاء الْعَمَل بِمُقْتَضَاهُ ، بَلْ مَحَبَّة مَنْ يَعْمَل ذَلِكَ كَافِيَة فِي حُصُول أَصْل النَّجَاة ، وَالْكَوْن مَعَ الْعَامِلَيْنِ بِذَلِكَ لِأَنَّ مَحَبَّتهمْ إِنَّمَا هِيَ لِأَجْلِ طَاعَتهمْ

Hadits di atas menunjukkan bahwa mengikuti Rasul itu meskipun yang pokok harus dengan mengikuti semua yang diperintahkannya, maka sungguh hal tersebut bisa cukup dengan meyakini keutamaannya meskipun tidak sampai beramal sempurna sebagaimana yang dituntut. Bahkan mencintai orang yang mengamalkannya saja pun sudah cukup untuk memperoleh keselamatan. Demikian juga untuk senang berada bersama orang-orang yang mengamalkannya, karena kecintaan terhadap mereka adalah pasti karena ketaatan mereka (Fathul-Bari bab ‘alamah hubbil-‘Llah ‘azza wa jalla).
Jadi pada pokoknya, cinta Rasul saw ini tetap harus ada amal baik yang sama dengan yang diamalkan Rasul saw, sebagaimana ditegaskan dalam riwayat Abu Dawud di atas; meski kemudian tidak bisa menyamai persis amal Rasul saw. Jadi kalau hanya mengaku cinta, tetapi tidak ada upaya sama sekali untuk mengikuti sunnah Rasul saw, yang seperti ini adalah cinta palsu dan hanya akan bertepuk sebelah tangan.
Cinta Rasul saw terlihat juga dalam kecenderungan seseorang untuk menyukai orang-orang shalih, bergaul dengan mereka, dan beradab seperti orang-orang shalih, sebagaimana dijelaskan dua Imam pensyarah hadits di atas. Jadi kalau hanya mengaku cinta, tetapi pergaulannya lebih cenderung bersama orang-orang ahli maksiat atau yang tidak setia pada sunnah Nabi saw, dan adab sehari-harinya pun lebih menyerupai adab orang-orang yang membenci sunnah, ini pun berarti cintanya hanya klaim semata karena tidak ada bukti nyata. Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Back to top button