Jalan Hidup Kekasih Nabi saw
Ketiga orang shahabat; Abu Hurairah, Abu Dzar dan Abud-Darda`, memang pantas menyebut Nabi Muhammad saw sebagai “kekasih” karena jalan hidup mereka sudah menyerupai jalan hidup beliau—semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepadanya. Siapapun yang mengaku sebagai kekasih Nabi saw atau mengakui Nabi saw sebagai kekasihnya sudah semestinya berkaca terlebih dahulu apakah jalan hidupnya sudah menyerupai jalan hidup Nabi saw.
وَفِي قَوْله “خَلِيلِي” إِشَارَةٌ إِلَى مُوَافَقَتِهِ لَهُ فِي إِيثَارِ الِاشْتِغَالِ بِالْعِبَادَةِ عَلَى الِاشْتِغَال بِالدُّنْيَا لِأَنَّ أَبَا هُرَيْرَة صَبَرَ عَلَى الْجُوع فِي مُلَازَمَتِهِ لِلنَّبِيِّ ﷺ … فَشَابَهُ حَالَ النَّبِيّ ﷺ فِي إِيثَارِهِ الْفَقْرَ عَلَى الْغِنَى وَالْعُبُودِيَّةَ عَلَى الْمِلْكِ
Pernyataan “kekasihku” merupakan isyarat kesamaannya dengan Nabi saw dalam hal memprioritaskan sibuk beribadah daripada sibuk urusan dunia, karena Abu Hurairah mampu bersabar menahan lapar ketika ia hidup bersama Nabi saw menemaninya setiap saat… sehingga menyerap kepadanya keadaan Nabi saw dalam mendahulukan faqir daripada kaya, mendahulukan ibadah daripada memiliki harta (Fathul-Bari bab shiyam ayyamil-bidl).
Manaqib (biografi) ketiga shahabat; Abu Hurairah, Abud-Darda`, dan Abu Dzar, menggambarkan dengan jelas tentang prioritas ibadah di atas dunia sebagaimana ditegaskan al-Hafizh Ibn Hajar di atas. Abu Hurairah rela tidak berdagang, bertani, dan bahkan selalu menahan lapar hanya untuk memanfaatkan waktu semaksimal mungkin belajar kepada Nabi saw, mengingat ia baru masuk Islam tiga tahun sebelum Nabi saw wafat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ أَكْثَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَلَوْلَا آيَتَانِ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا حَدَّثْتُ حَدِيثًا ثُمَّ يَتْلُو{إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنْ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى إِلَى قَوْلِهِ الرَّحِيمُ}إِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الصَّفْقُ بِالْأَسْوَاقِ وَإِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الْعَمَلُ فِي أَمْوَالِهِمْ وَإِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بِشِبَعِ بَطْنِهِ وَيَحْضُرُ مَا لَا يَحْضُرُونَ وَيَحْفَظُ مَا لَا يَحْفَظُونَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Orang-orang berkata bahwa Abu Hurairah banyak hafal hadits. Seandainya saja tidak ada dua ayat dalam kitab Allah aku tidak akan pernah mau mengajarkan hadits. Kemudian Abu Hurairah membaca: {Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan keterangan dan petunjuk yang Kami turunkan… [QS. al-Baqarah [2] : 159-160]}. Sungguh saudara-saudar kami dari Muhajirin sibuk berdagang di pasar, sementara Anshar sibuk mengurus harta (lahan garapan) mereka. Sementara (saya) Abu Hurairah senantiasa mengikuti Rasulullah saw agar senantiasa kenyang perutnya (dalam riwayat lain: karena mengaku orang miskin) sehingga ia hadir di saat orang lain tidak hadir dan ia hafal di saat orang lain tidak hafal.” (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab hifzhil-‘ilm no. 118).
Dalam Shahih al-Bukhari bab kaifa kana ‘aisyun-Nabi saw wa ashahabihi no. 6452 Abu Hurairah berterus terang pernah sampai tengkurap dan tidak bisa bangun saking tidak kuat menahan lapar. Demikian juga sering mengikat batu pada perutnya ketika merasa lapar. Bahkan dalam Shahih al-Bukhari kitab al-i’tisham bab ma dzakaran-Nabiy saw no. 7324, Abu Hurairah berterus terang pernah jatuh setengah pingsan karena lapar ketika hendak menemui Nabi saw di rumah ‘Aisyah. Sehingga seorang shahabat pernah bertanya apakah ia terkena penyakit ayan? Padahal ia pingsan hanya karena lapar, bukan ayan. Maka dari itu, Abu Hurairah semaksimal mungkin menjauhi kemewahan dan kepuasan dunia, mengikuti teladan kekasihnya, Nabi Muhammad saw:
عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ مَرَّ بِقَوْمٍ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ شَاةٌ مَصْلِيَّةٌ فَدَعَوْهُ فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَ وَقَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنْ الدُّنْيَا وَلَمْ يَشْبَعْ مِنْ خُبْزِ الشَّعِيرِ
Dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia pernah lewat ke sekumpulan orang-orang yang hendak makan kambing bakar. Mereka pun mengajak Abu Hurairah untuk ikut makan, tetapi ia tidak mau dan malah berkata: “Rasulullah saw meninggalkan dunia dalam keadaan tidak pernah kenyang meski dari makan roti gandum sekalipun.” (Shahih al-Bukhari kitab al-ath’imah bab ma kanan-Nabiy saw wa ashhabuhu ya`kulun no. 5414)
Tidak jauh beda dengan Abud-Darda` yang dikenal sebagai orang yang rajin shaum dan shalat malam, sampai ditegur oleh saudara muakhatnya, Salman, agar tidak melupakan kewajiban pada dirinya sendiri dan keluarganya (Shahih al-Bukhari bab man aqsama ‘ala akhihi li yufthira). Ia juga sering marah-marah kalau pulang dari masjid, karena di akhir masa hidupnya (w. 32 H) ia banyak melihat orang-orang tidak shalat berjama’ah ke masjid, padahal itu tanda orang munafiq:
قَالَتْ أُمُّ الدَّرْدَاءِ: دَخَلَ عَلَيَّ أَبُو الدَّرْدَاءِ وَهُوَ مُغْضَبٌ فَقُلْتُ مَا أَغْضَبَكَ فَقَالَ وَاللهِ مَا أَعْرِفُ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ شَيْئًا إِلَّا أَنَّهُمْ يُصَلُّونَ جَمِيعًا
Ummud-Darda` berkata: Abud-Darda` pernah pulang ke rumah dalam keadaan marah-marah. Aku bertanya: “Apa yang membuatmu marah?” Ia menjawab: “Demi Allah, aku tidak tahu dari umat Muhammad saw sesuatu pun selain mereka selalu shalat berjama’ah (Shahih al-Bukhari kitab al-adzan bab fadlli shalatil-fajri fi jama’ah no. 650).
Demikian halnya Abu Dzar yang mencontoh Nabi saw tidak punya tabungan dan mengharamkan mempunyai tabungan, kecuali untuk tiga hari saja atau untuk membayar utang, selebih dari itu harus dibagikan kepada faqir miskin. Meski shahabat selainnya, termasuk ‘Utsman ibn ‘Affan, mengingatkannya bahwa itu bukan satu kewajiban (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab ma uddiya zakatuhu fa laisa bi kanzin no. 1406), Abu Dzar bersikukuh dengan jalan hidupnya. Ia betul-betul mengingat sabda Nabi saw:
مَا يَسُرُّنِي أَنَّ عِنْدِي مِثْلَ أُحُدٍ هَذَا ذَهَبًا تَمْضِي عَلَيَّ ثَالِثَةٌ وَعِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ إِلَّا شَيْئًا أَرْصُدُهُ لِدَيْنٍ إِلَّا أَنْ أَقُولَ بِهِ فِي عِبَادِ اللَّهِ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ وَمِنْ خَلْفِهِ ثُمَّ مَشَى فَقَالَ إِنَّ الْأَكْثَرِينَ هُمْ الْأَقَلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ قَالَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ وَمِنْ خَلْفِهِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ
“Aku tidak bahagia seandainya aku punya emas banyak sebesar gunung Uhud ini lalu masih tersimpan di rumahku sampai tiga hari meski itu tinggal hanya satu keping dinar, kecuali yang aku sisakan untuk membayar utang, melainkan aku akan bagikan kepada hamba-hamba Allah seperti ini, ini, dan ini—sambil berisyarat ke arah kanan, kiri dan belakang.” Kemudian beliau berjalan lagi dan bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling banyak hartanya (di dunia) adalah orang yang palling sedikit hartanya pada hari kiamat, kecuali mereka yang membagikannya seperti ini, ini, dan ini— sambil berisyarat ke arah kanan, kiri dan belakang. Tetapi sungguh sedikit mereka yang seperti itu.” (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab qaulin-Nabiy saw la uhibbu anna li mitsla Uhud dzahaban no. 6444)
Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menulis riwayat dari Ibn Jarir at-Thabari sebagai berikut:
وَقَدِ اخْتَبَرَهُ مُعَاوِيَةُ وَهُوَ عِنْدهُ، هَلْ يُوَافِقُ عَمَلُهُ قَوْلَهُ؟ فَبَعَثَ إِلَيْهِ بِأَلْفِ دِينَارٍ، فَفَرَّقَهَا مِنْ يَوْمِهِ، ثُمَّ بَعَثَ إِلَيْهِ الَّذِي أَتَاهُ بِهَا فَقَالَ: إِنَّ مُعَاوِيَةَ إِنَّمَا بَعَثَنِي إِلَى غَيْرِكَ فَأَخْطَأْتُ، فَهَاتِ الذَّهَبَ! فَقَالَ: وَيْحَكَ! إِنَّهَا خَرَجَتْ، وَلَكِنْ إِذَا جَاءَ مَالِي حَاسَبْنَاكَ بِهِ.
Mu’awiyah pernah mengujinya ketika masih di Syam, apakah apa yang dikatakan Abu Dzar sesuai dengan yang diamalkannya? Ia mengutus seseorang untuk memberinya 1.000 dinar (uang keping emas). Ternyata Abu Dzar membagikannya hari itu juga. Kemudian Mu’awiyah mengutus utusannya yang kemarin memberikan 1.000 dinar kepada Abu Dzar. Ia pun berkata: “Ternyata Mu’awiyah mengutusku bukan untuk memberikannya kepadamu, aku keliru, berikan lagi emas yang kemarin.” Abu Dzar menjawab: “Sayang sekali, sudah habis. Tetapi jika aku punya harta aku akan perhitungkan untuk membayarnya.”