Iman Bertambah dan Berkurang
Bismillah, Ustadz maaf tanya, keadaan iman seseorang itu ada naik dan turun, apakah ketika keimanan itu turun bisa dikategorikan ada sifat munafiq dalam diri orang tersebut? Hatur nuhun.
Iman bertambah dan berkurang (yazid wa yanqush) adalah prinsip aqidah yang disepakati oleh para ulama Ahlus-Sunnah. Maksudnya adalah bertambah karena amal baik dan berkurang karena amal jelek. Prinsip ini untuk membedakan dengan Ahlul-Bid’ah yang meyakini iman bisa hilang sama sekali karena amal-amal jelek seperti dosa besar. Yang benar, iman tidak hilang karena dosa besar, melainkan sekedar berkurang. Orang yang mengamalkan dosa besar selama ia terbukti masih meyakini la ilaha illal-‘Llah maka imannya tetap ada, tetapi berkurang.
Al-Hafizh Ibn Hajar menyebutkan nama-nama ulama salaf yang menjelaskan prinsip iman seperti di atas dalam muqaddimah kitab al-iman Fathul-Bari, di antaranya Sufyan ats-Tsauri, Malik ibn Anas, al-Auza’i, Ibn Juraij, Ma’mar, as-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahawaih, Abu ‘Ubaid, dan lainnya. Imam al-Bukhari sendiri ada sanadnya pernah berkata:
لَقِيتُ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفِ رَجُلٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ بِالْأَمْصَارِ فَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْهُمْ يَخْتَلِفُ فِي أَنَّ الْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَيَزِيدُ وَيَنْقُصُ
“Aku bertemu dengan lebih dari 1000 ulama di pusat-pusat negeri dan aku tidak menemukan seorang pun di antara mereka yang berbeda pendapat bahwa iman itu perkataan dan perbuatan, juga bertambah dan berkurang.” (Fathul-Bari pengantar kitab al-iman).
Penyebab iman berkurang bisa amal munafiq, fasiq, zhalim, syirik, ataupun kufur. Hanya amal-amal tersebut sebatas amal saja, tidak menyebabkan pelakunya munafiq, musyrik, atau kafir keluar dari Islam. Hanya sebatas mengurangi iman saja.
Berkaitan dengan hal ini para ulama salaf pun sangat tinggi kewaspadaan dan ketakutannya akan kemunafiqan yang masih bercampur dengan imannya. Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya menulis satu judul bab tentang keharusan seorang mukmin mewaspadai amal-amalnya hancur akibat kemunafiqan yang tidak terasa dan ditaubati. Beliau menulis beberapa atsar sebagai berikut:
وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ التَّيْمِيُّ مَا عَرَضْتُ قَوْلِي عَلَى عَمَلِي إِلَّا خَشِيتُ أَنْ أَكُونَ مُكَذِّبًا
Ibrahim at-Taimi berkata: “Tidaklah aku hadapkan perkataanku atas amalku melainkan karena aku takut menjadi seorang pendusta.”
وَقَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ أَدْرَكْتُ ثَلَاثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ يَقُولُ إِنَّهُ عَلَى إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ
Ibn Abi Mulaikah berkata: “Aku bertemu 30 shahabat Nabi saw, semuanya takut sifat munafiq ada dalam dirinya. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengatakan bahwa ia ada dalam keimanan Jibril dan Mikail.”
وَيُذْكَرُ عَنْ الْحَسَنِ مَا خَافَهُ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا أَمِنَهُ إِلَّا مُنَافِقٌ
Diriwayatkan dari al-Hasan: “Tidak ada yang merasa takut darinya melainkan mu`min dan tidak merasa aman darinya melainkan munafiq.” (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab khaufil-mu`min min an yahbatha ‘amaluhu wa huwa la yusy’ir).
Jadi seyogianya ketakutan itu menjadi modal berharga untuk semakin berhati-hati dalam beramal sehingga tidak ada lagi kemunafiqan yang bersemayam dalam hati. Terlebih ciri pokok orang beriman itu sendiri adalah selalu bertambah imannya di setiap waktunya (QS. Ali ‘Imran [3] : 173, al-Anfal [8] : 2, at-Taubah [9] : 124, al-Ahzab [33] : 22, Muhammad [47] : 17, al-Fath [48] : 4). Dan itu salah satunya disebabkan kewaspadaan yang tinggi akan sifat munafiq dalam dirinya. Wal-‘Llahu a’lam