Hukum Dzikir/Istighatsah Berjama’ah
Bismillah, bagaimana hukum mengikuti dzikir/istighatsah berjama’ah seperti yang dilakukan umat Islam dalam Aksi Super Damai 2 Desember 2016? 08993635xxx
Istighatsah artinya “minta pertolongan” (lihat QS. al-Anfal [8] : 9). Istighatsah termasuk pada do’a/dzikir. Terkait dzikir berjama’ah ini ada dalil yang melarangnya, ada juga yang mengisyaratkan keutamaannya. Dalil yang melarang adalah atsar dari ‘Abdullah ibn Mas’ud, ketika di masjid Nabawi—sepeninggal Nabi saw—ada halaqah-halaqah (kelompok) dzikir yang dipandu oleh seseorang untuk mengucapkan tasbih 100 kali, takbir 100 kali, dan tahlil 100 kali, dengan menggunakan batu kerikil. Ibn Mas’ud menegur mereka:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُوْا بَابَ ضَلاَلَةٍ؟ قَالُوا وَاللهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ قاَلَ وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ.
Demi Allah, apakah kalian mengira ada dalam millah yang lebih bagus daripada millah Muhammad, ataukah justru kalian membuka pintu kesesatan?” Mereka menjawab: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, maksud kami baik.” Jawab ‘Abdullah: “Bukankah banyak dari orang yang bermaksud baik tapi ia tidak mencapai kebaikan!? (Sunan ad-Darami kitab al-muqaddimah bab fi karahiyah akhdzir-ra`yi no. 204. Al-Albani: Hadits shahih [as-Silisilah as-Shahihah 5 : 4 no. 2005]).
Sementara dalil yang mengisyaratkan keutamaannya adalah:
قَالَ مُعَاوِيَةُ: خَرَجَ رسولُ اللهِ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ. قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإِسْلاَمِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلاَّ ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلاَّ ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّى لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِى جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِى أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِى بِكُمُ الْمَلاَئِكَةَ
Mu’awiyah berkata: Rasulullah saw pernah keluar menemui sebuah kumpulan para shahabat, lalu beliau bertanya: “Apa yang membuat kalian duduk di sini?” Mereka menjawab: “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah dan memujinya atas anugerah hidayah Islam yang telah diberikan kepada kami.” Nabi saw bertanya: “Demi Allah, betulkah kalian tidak duduk kecuali untuk itu?” Mereka menjawab: “Demi Allah, kami tidak duduk kecuali untuk itu.” Sabda Nabi saw: “Aku tidak meminta kalian bersumpah disebabkan meragukan kalian, tetapi Jibril tadi datang dan memberitahukan bahwa Allah ‘azza wa jalla merasa bangga dengan kalian di hadapan malaikat.” (Shahih Muslim kitab adz-dzikr wad-du’a wat-taubah bab fadllil-ijtima’ ‘ala tilawatil-qur`an wa ‘aladz-dzikr no. 7032).
Syaikh al-‘Utsaimin menegaskan, jangan langsung dipahami bahwa majelis dzikir para shahabat ini adalah dengan suara keras dan bacaan yang diseragamkan, sebab tidak ada satu pun keterangan bahwa generasi salaf (terdahulu) mempraktikkan dzikir berjama’ah seperti kaum sufi/tasawuf saat ini. Dzikir di sini hanya sebatas mengingat-ingat nikmat Allah swt sambil melantunkan lafazh-lafazh dzikir (Syarah Riyadlus-Shalihin 4 : 25-26).
Syaikh al-Albani menambahkan, yang diprotes oleh Ibn Mas’ud pada hadits pertama bukan dzikir berjama’ahnya, tetapi dalam hal ada bacaan-bacaan khususnya yang kemudian diyakini berasal dari Nabi saw dan penggunaan batu kerikilnya. Demikian halnya dalam hal halaqah-halaqah yang dirutinkannya (as-Silisilah as-Shahihah 5 : 4 no. 2005).
Jadi dzikir berjama’ah pada asalnya tidak bid’ah, melainkan sunnah, sepanjang tidak dijadikan sebuah “ritual” yang ditentukan aturan mainnya dan dirutinkan. Wal-‘Llahu a’lam.