Hidup Kaya ala Rasulullah ﷺ

Nabi saw hidup kaya. Semua kebutuhan hidupnya tersedia dan terpenuhi. Di sisi lain Nabi saw juga hidup miskin, karena beliau tidak menyimpan harta berupa dinar dan dirham, melainkan selalu dibagikan kepada faqir miskin, bahkan sampai habis. Inilah hidup kaya ala Rasulullah saw.


‘Allamah Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah dalam pengantar kitabnya, Zadul-Ma’ad fi Hadyi Khairil-‘Ibad, menguraikan panjang lebar sisi kehidupan Rasulullah saw termasuk kepemilikan harta beliau. Menghimpun dari berbagai riwayat, diketahui bahwa Rasulullah saw memiliki rumah banyak tetapi al-hujurat; rumah-rumah kecil. Jika istri Rasulullah saw semuanya sembilan, dan hamba sahayanya empat orang, maka rumah Rasulullah saw setidaknya ada tiga belas. Nabi saw memiliki beberapa pembantu yang kesemuanya bersifat relawan; Anas ibn Malik, ‘Abdullah ibn Mas’ud, Bilal ibn Abi Rabah, ‘Uqbah ibn ‘Amir, Abu Dzar al-Ghifari, Aiman dan ibunya, Ummu Aiman.
Nabi saw memiliki sembilan pedang, tujuh baju besi anyaman besi, enam baju besi perisai tubuh, dan tiga buah tameng/perisai, yang kesemuanya biasa beliau pakai dalam perang. Nabi saw memiliki tujuh ekor kuda, lima ekor bighal (peranakan kuda keledai), tiga ekor keledai, empat ekor unta tunggang, 45 ekor unta ternak, 100 ekor kambing ternak yang setiap kali bertambah dengan kelahiran anak kambing yang baru maka akan disembelih kambing lainnya yang sudah cukup umur, dan tujuh ekor kambing betina yang dipinjamkan (manihah; hak milik induknya tetap milik Nabi saw) kepada Ummu Aiman. Maka dari itu, Nabi saw setiap tahun selalu qurban minimal dua ekor kambing yang besar dan pernah juga seekor sapi oleh beliau sendiri, tidak dibagi tujuh dengan orang lain.
Tetapi Nabi saw enggan menumpuk harta berupa uang atau kekayaan lainnya yang tidak terpakai dalam keseharian, melainkan selalu membagikannya kepada faqir miskin dan mereka yang membutuhkan. Jabir ra menceritakan:

مَا سُئِلَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ شَيْءٍ قَطُّ فَقَالَ لاَ

Nabi saw tidak pernah sekalipun ketika diminta sesuatu apapun lalu menjawab: Tidak (Shahih al-Bukhari kitab al-adab bab husnil-khuluq was-sakha` no. 6034)
Abu Sa’id al-Khudri ra meriwayatkan bahwa Nabi saw selalu memberi kepada mereka yang membutuhkan bahkan sampai habis:

إِنَّ نَاسًا مِنْ الْأَنْصَارِ سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَأَعْطَاهُمْ ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ حَتَّى نَفِدَ مَا عِنْدَهُ فَقَالَ مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ

Ada beberapa orang Anshar yang meminta kepada Rasulullah saw, lalu beliau pun memberinya. Kemudian mereka meminta lagi, lalu beliau memberinya lagi. Kemudian mereka meminta lagi, dan beliau pun memberinya lagi, sampai habis apa yang dimiliki beliau. Waktu itu beliau pun bersabda: “Harta yang ada padaku tidak mungkin aku sisakan dan sembunyikan dari kalian. Hanya siapa yang menahan diri, pasti Allah menjadikannya mampu bertahan. Siapa yang mencukupkan diri, pasti Allah memberinya kecukupan. Dan siapa yang bersabar, pasti Allah akan memberinya kesabaran. Dan tidak ada pemberian yang lebih baik dan lebih besar daripada kesabaran.” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab al-isti’faf ‘anil-mas`alah no. 1469; Shahih Muslim kitab az-zakat bab fadllit-ta’affuf was-shabr no. 2471).
Dalam hadits yang lain, Abu Dzar pernah mengatakan bahwa Nabi saw pernah bersabda:

مَا يَسُرُّنِي أَنَّ عِنْدِي مِثْلَ أُحُدٍ هَذَا ذَهَبًا تَمْضِي عَلَيَّ ثَالِثَةٌ وَعِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ إِلَّا شَيْئًا أَرْصُدُهُ لِدَيْنٍ إِلَّا أَنْ أَقُولَ بِهِ فِي عِبَادِ اللَّهِ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ وَمِنْ خَلْفِهِ ثُمَّ مَشَى فَقَالَ إِنَّ الْأَكْثَرِينَ هُمْ الْأَقَلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ قَالَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ وَمِنْ خَلْفِهِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ

“Sungguh aku tidak bahagia seandainya aku punya emas sebesar bukit Uhud ini dan ada tersisa padaku satu dinar (keping uang emas) sampai hari ke-3 terkecuali yang aku sengaja simpan untuk membayar utang, melainkan akan aku bagikan kepada hamba-hamba Allah seperti ini, ini dan ini—ke arah kanan, kiri dan belakangnya. Kemudian beliau berjalan lagi dan bersabda: “Sesungguhnya orang yang banyak hartanya mereka akan menjadi orang yang sedikit hartanya pada hari kiamat, kecuali orang yang membagikannya seperti ini, ini dan ini—ke arah kanan, kiri dan belakangnya—dan sedikit sekali mereka itu.” (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab qaulin-Nabi saw ma uhibbu anna li mitsla uhidn dzahaban no. 6444; Shahih Muslim kitab az-zakat bab at-targhib fis-shadaqah no. 2351)
Dalam hadits tentang “sunnah hasanah” disebutkan bahwa ketika ada beberapa pendatang yang dizhalimi oleh kaum Mudlar, Nabi saw langsung menyuruh istri-istrinya memberikan apa yang bisa diberikan. Tetapi karena tidak cukup, Nabi saw menyuruh shahabat lainnya untuk menyumbang. Demikian halnya dalam kasus seorang tamu yang datang malam-malam tetapi Nabi saw dan istri-istrinya sudah tidak punya apa yang bisa diberikan, sehingga beliau menawarkan kepada shahabat siapa yang bisa menjamunya. Dalam hadits lain diceritakan bahwa ada peminta-minta yang meminta kepada ‘Aisyah ra, tetapi di rumahnya hanya tersisa kurma satu biji dan ‘Aisyah pun memberikannya yang kemudian dibelah dua untuk kedua anak peminta-minta tersebut. Ini semua menunjukkan bahwa Nabi saw dan istri-istrinya selalu bisa memberi meski sampai habis sekalipun.
Dalam satu peperangan, Nabi saw pernah memperoleh hamba sahaya cukup banyak. Ketika Fathimah ra meminta satu untuk dijadikan pembantu, Nabi saw menjawab:

وَاَللَّه لَا أُعْطِيكُمَا وَأَدَع أَهْل الصُّفَّة تُطْوَى بُطُونهمْ لَا أَجِد مَا أُنْفِق عَلَيْهِمْ وَلَكِنِّي أَبِيعهُمْ وَأُنْفِق عَلَيْهِمْ أَثْمَانهمْ

“Demi Allah, aku tidak akan memberi kepada kalian berdua sementara aku membiarkan Ahlus-Shuffah (para pelajar di masjid yang tidak punya keluarga dan rumah—pen) dalam keadaan perut kosong dan aku tidak punya sesuatu yang bisa aku nafkahkan kepada mereka. Maaf, aku akan jual para tawanan perang itu dan aku akan infaqkan hasilnya kepada Ahlus-Shuffah.” (Musnad Ahmad bab musnad ‘Ali ibn Abi Thalib no. 838).
Perhatiannya kepada Ahlus-Shuffah (orang yang tinggal sementara di masjid, umumnya para pelancong yang sedang belajar Islam di masjid Nabi saw) yang berjumlah sekitar 70 orang diceritakan juga oleh Abu Hurairah ra yang merupakan salah seorang dari mereka:

وَأَهْلُ الصُّفَّةِ أَضْيَافُ الْإِسْلَامِ لَا يَأْوُونَ إِلَى أَهْلٍ وَلَا مَالٍ وَلَا عَلَى أَحَدٍ إِذَا أَتَتْهُ صَدَقَةٌ بَعَثَ بِهَا إِلَيْهِمْ وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْهَا شَيْئًا وَإِذَا أَتَتْهُ هَدِيَّةٌ أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ وَأَصَابَ مِنْهَا وَأَشْرَكَهُمْ فِيهَا

Ahlus-Shuffah adalah tamu-tamu Islam yang tidak memiliki rumah, harta, tidak pula seorang pun keluarga/teman. Apabila ada shadaqah datang, beliau selalu mengirimkannya kepada mereka dan tidak mengambilnya sedikit pun. Tetapi apabila yang datang kepada beliau hadiah, beliau pun selalu mengirimkannya untuk mereka, tetapi setelah mengambilnya sedikit, dan kemudian berbagi sama dengan mereka (Shahih al-Bukhari bab kaifa kana ‘aisyun-Nabi saw wa ashhabihi wa takhallihim minad-dunya no. 6452).
Kedermawanan Nabi saw yang luar biasa tersebut disebabkan Nabi saw sendiri dan keluarganya tetap menjaga standar hidup sederhana, tidak memilih hidup mewah. Harta yang berlebih dari keperluan, lebih baik diberikan kepada mereka yang membutuhkan demi hari esok akhirat, bukan malah disimpan untuk hari esok duniawi dan tidak akan terbawa mati. Itu semua mengamalkan apa yang Nabi saw ajarkan sendiri:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Kaya itu bukan banyak harta, tetapi kaya itu adalah kaya hati (Shahih Muslim kitab az-zakat bab laisal-ghina ‘an katsratil-‘aradl no. 2467)
Menjadi orang kaya seperti Nabi saw harus jadi tekad dan obsesi semua orang. Sebisa mungkin jangan menyerah menjadi orang miskin, harus bisa dan menjadi orang kaya, tetapi yang menghabiskan kekayaannya dalam jalan yang benar.

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ، رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ، وَآخَرُ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Tidak ada hasud kecuali pada dua orang; seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu ia mengerahkan tenaganya untuk menghabiskan hartanya dalam kebenaran dan seseorang yang diberi hikmah (ilmu) oleh Allah lalu ia memutuskan dengannya dan mengajarkannya (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab al-ightibath fil-‘ilm no. 73).