Perilaku selalu mementingkan senang-senang, hiburan, dan mencari kepuasan dengan memperbanyak harta dan materi alias hedonisme adalah perilaku fasiq atau dosa besar yang diancam dengan neraka. Kebahagiaan yang dirasakan kaum hedonis hanya kebahagiaan semu; dirasa-rasa bahagia padahal hanya sesaat dan sesudah itu hilang. Kebahagiaan bagi orang-orang yang berilmu justru ada dalam pengorbanan bahkan yang sulit sekalipun atau al-‘aqabah. Kebahagiaannya terasa memuaskan dan abadi sampai mati sekalipun.
Perilaku hedonisme disebut fasiq dan bahkan mendekati kafir banyak disinggung dalam al-Qur`an, di antaranya:
وَيَوۡمَ يُعۡرَضُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ عَلَى ٱلنَّارِ أَذۡهَبۡتُمۡ طَيِّبَٰتِكُمۡ فِي حَيَاتِكُمُ ٱلدُّنۡيَا وَٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهَا فَٱلۡيَوۡمَ تُجۡزَوۡنَ عَذَابَ ٱلۡهُونِ بِمَا كُنتُمۡ تَسۡتَكۡبِرُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَبِمَا كُنتُمۡ تَفۡسُقُونَ
Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasiq” (QS. al-Ahqaf [46] : 20).
Ayat di atas memang ditujukan kepada orang-orang kafir. Tetapi vonis sombong dan fasiqnya ditujukan pada amal “menghabiskan rezeki untuk duniawi dan bersenang-senang” yang dalam bahasa hari ini hedonisme. Jadi hedonisme itu sebuah kefasiqan dan menjadi identitas utama dari orang-orang kafir.
Al-Qur`an juga menyebutkan perilaku hedonisme itu seringkali berbanding lurus dengan kesenangan makan atau kuliner, dan itu semua adalah gaya hidup orang-orang kafir:
ذَرۡهُمۡ يَأۡكُلُواْ وَيَتَمَتَّعُواْ وَيُلۡهِهِمُ ٱلۡأَمَلُۖ فَسَوۡفَ يَعۡلَمُونَ
Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka) (QS. al-Hijr [15] : 3).
وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ يَتَمَتَّعُونَ وَيَأۡكُلُونَ كَمَا تَأۡكُلُ ٱلۡأَنۡعَٰمُ وَٱلنَّارُ مَثۡوٗى لَّهُمۡ
Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka (QS. Muhammad [47] : 12).
كُلُواْ وَتَمَتَّعُواْ قَلِيلًا إِنَّكُم مُّجۡرِمُونَ
(Dikatakan kepada orang-orang kafir): “Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek; sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa” (QS. al-Mursalat [77] : 46).
Al-Qur`an menyebutkan perilaku hedonisme juga dengang takatsur (selalu ingin memperbanyak kesenangan materi dan duniawi) yang berakibat fatal melupakan akhirat (QS. at-Takatsur [102]). Nabi saw sendiri menjelaskan dalam hadits:
لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِيَ وَادِيًا مَلْئًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا وَلَوْ أُعْطِيَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا وَلَا يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
Seandainya anak Adam diberi satu lembah yang penuh dengan emas, ia pasti ingin memiliki yang kedua. Seandainya ia diberi yang kedua, ia pasti ingin yang ketiga. Tidak ada yang dapat memenuhi rongga anak Adam kecuali tanah. Dan Allah akan menerima taubat orang yang bertaubat (Shahih al-Bukhari bab ma yuttaqa min fitnatil-mal no. 6438).
Maksud “tidak ada yang dapat memenuhi rongga anak Adam kecuali tanah” adalah mati. Sabda Nabi saw: “Allah akan menerima taubat orang yang bertaubat” menunjukkan bahwa nafsu harta itu adalah dosa. Orang yang meninggalkan nafsu pada harta disebut oleh Nabi saw sebagai orang yang bertaubat. Hadits ini juga bisa dikaitkan dengan sabda Nabi saw tentang ‘tanah’. Maksudnya sebagaimana halnya tanah yang tandus dan kering yang hanya bisa menjadi subur kembali dengan hujan yang diturunkan Allah swt, demikian halnya dengan nafsu manusia pada harta, hanya bisa disembuhkan dengan anugerah Allah swt berupa taubat atau ilham kepada seseorang untuk bertaubat (Fathul-Bari).
Al-Qur`an sendiri mengkritik para pelaku hedonisme dengan menantang mengapa tidak menempuh ‘aqabah; jalan yang berliku dan sulit tetapi sebenarnya justru mendatangkan kebahagiaan yang bersemayam abadi dalam hati jika memang memiliki harta yang berlimpah, malah habis digunakan untuk bersenang-senang saja (ahlaktu malan lubada).
فَلَا ٱقۡتَحَمَ ٱلۡعَقَبَةَ وَمَآ أَدۡرَىٰكَ مَا ٱلۡعَقَبَةُ فَكُّ رَقَبَةٍ أَوۡ إِطۡعَٰمٞ فِي يَوۡمٖ ذِي مَسۡغَبَةٖ يَتِيمٗا ذَا مَقۡرَبَةٍ أَوۡ مِسۡكِينٗا ذَا مَتۡرَبَةٖ ثُمَّ كَانَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡمَرۡحَمَةِ
Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang berkalang tanah. Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang (QS. al-Balad [90] : 11-17).
Disebut al-‘aqabah karena memang situasinya sedang sulit. Dalam ayat 14 dijelaskan dzi masghabah. Al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan maknanya: “banyak yang kelaparan, makanan langka, makanan sangat dinanti-nantikan.” Sampai-sampai orang miskin pada saat tersebut dza matrabah. Asal makna matrabah adalah tanah (turab). Maknanya: “Orang miskin yang sampai tersungkur dan beralaskan tanah, orang miskin yang tidak punya tempat tinggal dan terusir di jalanan, orang miskin yang banyak utang dan kebutuhannya, bisa jadi ia tidak punya keluarga seorang pun yang bisa menolongnya atau bahkan memiliki banyak keluarga yang harus ditanggungnya.” Al-Hafizh Ibn Katsir menegaskan: “Semua makna yang disebutkan itu saling berdekatan.” (Tafsir Ibn Katsir).
Inilah yang berulang kali disebutkan dalam ayat al-Qur`an orang-orang yang sebenar-benarnya bahagia. Mereka yang terbebas dari kekikiran hati karena nafsu bersenang-senang yang bersemayam di hati, sehingga harta yang dimiliki terlalu sayang untuk diberikan kepada sesama dan berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Harta yang dimiliki selalu ingin digunakan untuk kepuasan dan kesenangan pribadi dan keluarga dengan tidak peduli pada kerabat dan tetangga yang masih membutuhkan uluran tangannya.
وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung (QS. al-Hasyr [59] : 9).
وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
… dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. at-Taghabun [64] : 16).