Harus dengan Iman dan Ihtisab

Harus dengan Iman dan Ihtisab
Rangkaian ibadah shaum Ramadlan harus diamalkan dengan keseriusan, bukan asal-asalan. Nabi ﷺ di berbagai hadits menyebutkannya harus dengan iman dan ihtisab. Kadar keseriusan dalam ibadah tersebut menjadi petunjuk dari sejauh mana kadar iman dan ihtisab yang bersemayam dalam hati.
Setidaknya dalam tiga ibadah Ramadlan, Nabi saw menyebutkan persyaratan iman dan ihtisab agar ibadah Ramadlan yang dijalankan bisa menghapus dosa-dosa yang telah lalu:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa yang shaum Ramadlan karena iman dan mengharap ridla Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu. Siapa yang qiyam (bangun malam untuk ibadah) pada lailatul-qadar karena iman dan mengharap ridla Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu (Shahih al-Bukhari bab fadlli lailatil-qadri no. 2014; Shahih Muslim bab at-targhib fi qiyam Ramadlan no. 1817).
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa yang qiyam (berdiri untuk shalat malam) Ramadlan karena iman dan mengharap ridla Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu (Shahih al-Bukhari bab tathawwu’ qiyam Ramadlan minal-iman no. 37; Shahih Muslim bab at-targhib fi qiyam Ramadlan no. 1815).
Iman artinya tashdiq; meyakini, sementara ihtisab artinya i’tidad; memperhitungkan, menganggap. Imam an-Nawawi menjelaskan maksud iman dan ihtisab sebagai berikut:
مَعْنَى (إِيمَانًا) تَصْدِيقًا بِأَنَّهُ حَقّ مُقْتَصِد فَضِيلَته، وَمَعْنَى (اِحْتِسَابًا) أَنْ يُرِيد اللَّه تَعَالَى وَحْده لَا يَقْصِد رُؤْيَة النَّاس وَلَا غَيْر ذَلِكَ مِمَّا يُخَالِف الْإِخْلَاص
Makna (iman) adalah meyakini bahwasanya itu benar dan meniatkan keutamaannya, sementara makna (ihtisab) adalah meniatkan Allah ta’ala saja, tidak meniatkan penilaian/pandangan orang lain atau selain itu yang akan menyalahi ikhlash (Syarah Shahih Muslim bab at-targhib fi qiyam Ramadlan wa huwat-Tarawih).
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan sama:
قَوْله: (إِيمَانًا) أَيْ تَصْدِيقًا بِوَعْدِ اللَّه بِالثَّوَابِ عَلَيْهِ (وَاحْتِسَابًا) أَيْ طَلَبًا لِلْأَجْرِ لَا لِقَصْدٍ آخَر مِنْ رِيَاء أَوْ نَحْوه
Sabdanya (iman) yaitu meyakini janji Allah terkait pahala atasnya. Sementara (ihtisab) yaitu mencari pahala bukan niat lain seperti riya (formalitas) atau semacamnya (Fathul-Bari bab fadlli man qama Ramadlan).
Intinya ada keyakinan bahwa ibadah shaum Ramadlan ini benar-benar akan mendatangkan ampunan Allah swt, kemudian mengamalkannya dengan niatan ingin meraih ampunan Allah swt dari pahala besar yang ada di baliknya. Dengan niatan ini maka seseorang akan mampu mengamalkan ibadah shaum Ramadlan dengan serius dan bertanggung jawab. Jika tidak ada keyakinan penuh akan janji pahala Allah swt dan niatannya pun masih sebatas formalitas maka ibadah shaum Ramadlan pun akan diamalkan asal-asalan saja, tidak akan serius dan bertanggung jawab.
Ibadah shaum sebagaimana ditegaskan Imam al-Ghazali intinya adalah mengurangi makan, yang ini adalah inti dari ibadah secara umum. Salah satu wujudnya adalah menghindari makan sampai kenyang. Hal ini sesuai dengan arahan Nabi saw sendiri:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ اِبْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Bangsa Adam (manusia) tidak memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Bila tidak bisa, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya (Sunan at-Tirmidzi bab karahiyah katsratil-akl no. 2380).
Makan dengan puas dan senang-senang disebutkan al-Qur`an merupakan akhlaq orang kafir dan durhaka dalam tiga ayat al-Qur`an (QS. al-Hijr [15] : 3; Muhammad [47] : 12; al-Mursalat [77] : 46).
Shaum yang diamalkan dengan iman dan ihtisab pasti akan mampu sesuai dengan arahan syari’at di atas. Jika faktanya masih tetap bernafsu makan sampai puas dan dengan senang-senang berarti shaumnya masih tidak serius serta tidak menjamin akan datangnya ampunan Allah swt.
Shalat malam yang diamalkan dengan iman dan ihtisab akan diupayakan semaksimal mungkin sesuai dengan tuntunan syari’at yakni panjang dan al-Qur`an dibaca dalam shalat dengan tartil; perlahan dan jelas (QS. al-Insan [76] : 26 dan al-Muzzammil [73] : 2-4). ‘Aisyah ra sendiri ketika ditanya bagaimana shalat malam Rasulullah saw pada bulan Ramadlan, jawabannya: “Tidak perlu ditanyakan lagi bagus dan panjangnya.” (Shahih al-Bukhari bab qiyamin-Nabiy saw bil-lail fi Ramadlan wa ghairihi no. 1147).
Shahabat Ibn Mas’ud ra menjelaskan bahwa rata-rata shalat malam Rasulullah saw itu membaca 20 surat dalam 10 raka’at, atau setiap satu raka’at dua surat, yaitu: (1) ar-Rahman dan an-Najm; (2) Iqtarabat (al-Qamar) dan al-Haqqah; (3) at-Thur dan adz-Dzariyat; (4) Idza waqa’at (al-Waqi’ah) dan Nun (al-Qalam); (5) Sa`ala sa`ilun (al-Ma’arij) dan an-Nazi’at; (6) Wailul-lil-muthaffifin dan ‘Abasa; (7) al-Muddatstsir dan al-Muzzammil; (8) Hal ata (al-Insan) dan La uqsimu bi yaumil-qiyamah (al-Qiyamah); (9) ‘Amma yatasa`alun (an-Naba`) dan al-Mursalat; (10) ad-Dukhan dan Idzas-syamsu kuwwwirat (at-Takwir). (Sunan Abi Dawud kitab syahri Ramadlan bab tahzibil-qur`an no. 1398). Kalau dirata-ratakan ke dalam juz, berarti setiap malam Rasulullah saw kurang lebih membaca dua juz al-Qur`an. Akan tetapi dalam hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr ra, Nabi saw sendiri menganjurkan cukup satu juz setiap malam.
اقْرَإِ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ
Bacalah al-Qur`an (dalam shalat malam) untuk satu bulan (1 malam 1 juz) (Shahih al-Bukhari bab shaum yaum wa ifthar yaum no. 1978).
Jika faktanya shalat Tarawih yang diamalkan selalu enggan lama dan tidak mau dengan menikmati bacaan al-Qur`an dalam shalat, itu pertanda shalat Tarawih yang diamalkan belum dengan iman dan ihtisab.
Sebagai penghormatan terhadap bulan Ramadlan bulan al-Qur`an, Nabi saw juga merutinkan tadarus berdua bersama Jibril dengan mengorbankan kegiatan-kegiatan lainnya. Kegiatan tadarus itu dilakukan rutin setiap malam selama bulan Ramadlan. Hanya dengan iman dan ihtisab kegiatan tadarus ini dapat rutin diamalkan. Jika selalu abai maka itu pertanda ibadah Ramadlannya belum dijalani dengan iman dan ihtisab.
Di masa 10 hari terakhir Ramadlan, Nabi saw menyunnahkan umatnya untuk meraih kemuliaan lailatul-qadar. Cara mengamalkannya bisa dengan: (1) i’tikaf 10 hari 10 malam terakhir; (2) terjaga semalaman, sebaiknya dengan i’tikaf tetapi dibolehkan malamnya saja tidak dengan i’tikaf siang-malam; (3) bangun dari tidur di tengah malam untuk terjaga sampai terbit fajar sebagaimana istri-istri Nabi saw yang selalu Nabi saw bangunkan dari tengah malam sesudah mereka tertidur dahulu sebelumnya. ‘Aisyah ra menjelaskan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ ( إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Nabi saw apabila telah masuk 10 (hari terakhir Ramadlan), mempererat sarungnya (i’tikaf), menghidupkan malamnya (terjaga semalaman), dan membangunkan keluarganya (di waktu malam).” (Shahih al-Bukhari bab al-‘amal fi al-‘asyr al-awakhir min ramadlan no. 2024).
Bagi yang tidak mampu 10 malam terakhir, mengamalkan salah satu dari tiga amal di atas, boleh pada tujuh malam terakhir, lima malam pada malam ganjil dari 10 hari terakhir, atau minimal tiga malam pada malam ganjil dari 10 hari terakhir (21, 23, 25; 23, 25, 27; atau 25, 27, 29). Rujuk: https://attaubah-institute.com/minimal-tiga-malam/.
Jika di masa akhir Ramadlan malah semakin sibuk mencari dunia dan semakin tinggi nafsu untuk memperoleh bagian duniawi maka itu pertanda belum ada iman dan ihtisab. Apabila di 10 malam terakhir selalu tertidur hingga waktu sahur, maka itu pertanda iman dan ihtisab tidak bersemayam dalam hati.
Maka harus ada keseriusan dari setiap orang untuk menanamkan iman dan ihtisab agar ibadah Ramadlan diamalkan dengan benar dan mendatangkan ampunan Allah swt.
Wal-‘Llahu a’lam bis-shawab