Gara-gara Ingin Diketahui Orang Lain

Aktivitas update status susah untuk dilepaskan dari keinginan diketahui oleh masyarakat media sosial. Jika itu terkait amal ibadah, maka pasti menjadi salah satu pengganggu ikhlas. Semua amal ibadah yang dilatari keinginan diketahui oleh masyarakat, mendapatkan pengakuan dari manusia, atau ingin mendapatkan pujian (likes), pasti akan hancur tidak tersisa. Maka jika update status sangat mendesak untuk dilakukan, niatan ingin diketahui oleh masyarakat seperti ini harus benar-benar dihilangkan dari hati.


Nabi saw menyebut keinginan untuk diketahui orang lain itu riya dan sum’ah. Riya asal katanya ‘melihat’, maksudnya ingin orang lain melihat dirinya; sementara sum’ah arti asal katanya ‘mendengar’, maksudnya ingin agar orang lain mendengar tentang keberadaan dirinya. Ini adalah dua keinginan yang paling susah dihilangkan dari niatan seseorang, meski keduanya sudah sama-sama diketahui sebagai penghancur amal sampai tidak bersisa. Sampai-sampai para ulama salaf pun menyatakan susahnya bukan main mewujudkan amal yang betul-betul bersih dari keinginan diketahui orang lain.

قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا جَاهَدْتُ نَفْسِي عَلَى شَيْءٍ مُجَاهَدَتَهَا عَلَى الْإِخْلاَصِ

Sebagian ulama salaf berkata: “Tidak ada amal yang aku betul-betul payah mengamalkannya selain ikhlash.” (Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, al-Qaul al-Mufid Syarh Kitab at-Tauhid, Kairo: Dar Ibn al-Haitsam, 2003, hlm. 704).
Nabi saw sudah mengingatkan:

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ

Siapa yang ingin didengar, maka Allah akan menjadikannya didengar. Siapa yang ingin terlihat, maka Allah akan menjadikannya terlihat (Shahih al-Bukhari bab ar-riya was-sum’ah no. 6499).
Maksud hadits di atas, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, orang yang berniat dalam amalnya sum’ah dan riya hanya akan mendapatkan pengakuan dari orang-orang semata, tidak akan mendapatkan pahala dari Allah swt. Atau Allah akan memperlihatkan dan memperdengarkannya di hadapan manusia nanti para hari kiamat dengan cara menjelek-jelekkannya dan merendahkannya. Atau bisa juga, Allah swt akan memperlihatkan dan memperdengarkan kejelekannya di hadapan manusia sejak di dunia ini (Syarah Shahih Muslim an-Nawawi). Faktanya memang demikian, siapapun yang masih memiliki nurani, bukannya senang dan bangga terhadap orang yang suka memperlihatkan semua amalnya, melainkan jijik dan merendahkannya.
Dalam hadits lain, Nabi saw mengancam lagi dengan keras orang-orang yang ingin diketahui oleh orang lain bahwa dirinya seorang syahid, ‘alim, atau dermawan sebagai orang-orang yang bukannya masuk surga dengan jihad, ilmu, dan kedermawanannya, melainkan justru masuk neraka.

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتَشْهَدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ فَقَدْ قِيْلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ

“Sesungguhnya orang pertama yang dihisab pada hari kiamat adalah orang yang syahid. Ia didatangkan, lalu dijelaskan nikmatnya dan ia pun mengenalinya. Dia (Allah Swt) berfirman: “Apa yang kamu kerjakan dengan nikmat itu?” Ia menjawab: “Aku berperang di jalan-Mu sehingga aku syahid.” Dia berfirman: “Kamu dusta, kamu berperang agar disebut pahlawan, dan sungguh kamu telah mendapatkannya.” Lalu diperintahkan agar ia diseret pada wajahnya dan dilemparkan ke dalam neraka.

وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيْلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ

Kemudian orang yang belajar ilmu dan mengajarkannya, juga membaca al-Qur`an. Ia didatangkan, lalu dijelaskan nikmat-nikmatnya dan ia pun mengenalinya. Dia (Allah swt) berfirman: “Apa yang kamu kerjakan dengan nikmat itu?” Ia menjawab: “Aku belajar ilmu dan mengajarkannya, juga membaca al-Qur`an demi Engkau.” Dia berfirman: “Kamu dusta, kamu belajar ilmu agar disebut orang ‘alim dan kamu membaca al-Qur`an agar disebut qari, dan sungguh kamu telah mendapatkannya.” Lalu diperintahkan agar ia diseret pada wajahnya dan dilemparkan ke dalam neraka.

وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَّادٌ فَقَدْ قِيْلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ

Kemudian orang yang diberi keluasan oleh Allah dan diberi semua jenis harta. Ia didatangkan, lalu dijelaskan nikmat-nikmatnya dan ia pun mengenalinya. Dia (Allah swt) berfirman: “Apa yang kamu kerjakan dengan nikmat itu?” Ia menjawab: “Aku tidak meninggalkan satu jalan pun yang Engkau sukai untuk diberikan infaq padanya kecuali aku berinfaq padanya demi Engkau.” Dia berfirman: “Dusta kamu, kamu berbuat seperti itu agar disebut dermawan dan sungguh kamu telah mendapatkannya.” Lalu diperintahkan agar ia diseret pada wajahnya dan dilemparkan ke dalam neraka. (Shahih Muslim kitab al-imarah bab man qatala lir-riya was-sum’ah istahaqqa an-nar no. 1905).
Ketiga orang di atas beramal dengan amal-amal mulia. Tetapi karena ada keinginan agar orang lain mengetahui bahwa dirinya seorang ‘alim, dermawan, dan seseorang yang selalu siap berkorban di jalan Allah, maka semua amalnya itu membawanya masuk neraka.
Imam Ibn Rajab al-Hanbali menyebutkan dalam kitabnya Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam pada syarah hadits tentang niat, bahwa ketika Mu’awiyah mendengar hadits ini ia langsung menangis sampai pingsan. Ketika terbangun, ia berkata: “Sungguh benar Allah dan Rasul-Nya.” Sambil membaca ayat:

مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيۡهِمۡ أَعۡمَٰلَهُمۡ فِيهَا وَهُمۡ فِيهَا لَا يُبۡخَسُونَ  ١٥ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيۡسَ لَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَٰطِلٞ مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ  ١٦

Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan (QS. Hud [11] : 15-16).
Dalam konteks ingin diketahui orang lain sebagaimana hadits di atas, berarti orang yang memiliki niat seperti itu sangat mungkin akan mendapatkan pengakuan dan dikenal oleh masyarakat, banyak followers-nya, banyak viewers-nya, banyak likes-nya, dan banyak pengikut setianya, tetapi semua itu justru akan menjadi petaka baginya di akhirat kelak. Balasan yang akan diterimanya neraka dan semua amal baiknya akan hancur sampai tidak tersisa.
Menyadari hal tersebut, Imam as-Syafi’i pernah berkata:

وَدِدْتُ أَنَّ الْخَلْقَ تَعَلَّمُوْا هَذَا الْعِلْمَ عَلَى أَنْ لاَ يُنْسَبَ إِلَيَّ حَرْفٌ مِنْهُ

Sungguh sebenarnya saya ingin orang-orang mempelajari ilmu ini tanpa mengaitkannya kepadaku satu huruf pun (al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 1 : 12).
Sebuah keinginan yang terbalik dari Imam as-Syafi’i dengan apa yang marak ditemukan hari ini. Meski tentunya keinginan Imam as-Syafi’i ini tidak mungkin terjadi, sebab ilmu itu harus selalu jelas rujukan sanadnya; dari siapa dan mengatakan apa. Setiap orang yang mengambil ilmu dari para ulama pasti harus menyebutkan jelas dari ulama siapa dan mengatakan apa. Namun setidaknya ini jadi teladan bahwa ketika memang tidak mungkin orang lain tidak melihat atau tidak mendengar apa yang diamalkan seseorang, tetap saja orang tersebut harus bersih dari perasaan ingin dilihat dan diketahui orang lain.
Keinginan untuk diketahui orang lain inilah yang saat ini menjadi tujuan utama setiap orang berinteraksi dengan media sosial. Meski tidak dipungkiri ada juga sisi baik dan manfaatnya, tetap harus diwaspadai oleh setiap muslim agar keinginan diketahui orang lain ini benar-benar hilang dari dirinya. Wal-‘Llahul-Musta’an