Di Balik Do’a Nabi ﷺ untuk Pemimpin Zhalim

Nabi ﷺ mendo’akan agar pemimpin zhalim disulitkan hidupnya oleh Allah SWT. Tetapi beliau juga mendo’akan agar jika pemimpin zhalim itu kemudian mengubah kebijakannya menjadi memudahkan rakyatnya, agar hidupnya dimudahkan juga. ‘Aisyah ra mendo’akan hal yang sama bahkan kepada pemimpin yang pernah membunuh adik kandungnya sendiri. Sebuah peringatan sekaligus celah ampunan bagi siapa pun pemimpin yang zhalim untuk mengubah kebijakannya menjadi memudahkan rakyat.
Imam Muslim meriwayatkan dialog antara ‘Aisyah ra dengan ‘Abdurrahman ibn Syumasah, seorang tabi’in orang Mesir (w. 101 H), di balik periwayatan hadits tentang do’a Nabi saw untuk pemimpin zhalim dan adil sekaligus.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شُمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ أَسْأَلُهَا عَنْ شَىْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ مِصْرَ. فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ لَكُمْ فِى غَزَاتِكُمْ هَذِهِ فَقَالَ مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لاَ يَمْنَعُنِى الَّذِى فَعَلَ فِى مُحَمَّدِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ أَخِى أَنْ أُخْبِرَكَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ فِى بَيْتِى هَذَا: اللَّهُمَّ مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
Dari ‘Abdurrahman ibn Syumasah, ia berkata: Aku datang kepada ‘Aisyah untuk bertanya sesuatu kepadanya. Ia balik bertanya: “Kamu berasal dari mana?” Aku menjawab: “Seseorang dari penduduk Mesir.” Ia bertanya: “Bagaimana keadaan pemimpin kalian dalam peperangan kalian ini?” ‘Abdurrahman menjawab: “Kami tidak membencinya sedikit pun. Sungguh jika ada seekor unta yang mati milik salah seorang dari kami, maka ia akan memberi gantinya seekor unta juga. Jika seseorang kehilangan hamba sahaya, maka ia akan memberinya hamba sahaya. Jika ada yang memerlukan nafkah, maka ia akan memberinya nafkah.” ‘Aisyah ra berkata: “Sungguh tidak akan menghalangiku apa yang ia lakukan pada Muhammad ibn Abi Bakar, saudaraku, untuk menyampaikan kepadamu apa yang aku dengar dari Rasulullah saw ketika beliau bersabda di rumahku ini: “Ya Allah, siapa saja yang mengurus urusan umatku sekecil apapun, lalu ia memberatkan mereka maka beratkanlah ia. Dan siapa yang mengurus urusan umatku sekecil apapun, lalu ia lembut kepada mereka, maka sayangilah ia.” (Shahih Muslim bab fadlilatil-imamil-‘adil wa ‘uqubatil-ja`ir no. 4826).
Pemimpin Mesir yang dimaksud ‘Aisyah ra disebutkan namanya dalam riwayat al-Baihaqi; Ibn Hudaij. Maksudnya Mu’awiyah ibn Hudaij (w. 52 H).
قَالَتْ: كَيْفَ وَجَدْتُمُ ابْنَ حُدَيْجٍ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ؟ قُلْتُ: خَيْرَ أَمِيرٍ، مَا يَنْفُقُ لِرَجُلٍ مِنَّا فَرَسٌ وَلَا بَعِيرٌ إِلَّا أَبْدَلَ لَهُ مَكَانَهُ بَعِيرًا، وَلَا غُلَامٌ إِلَّا أَبْدَلَ لَهُ مَكَانَهُ غُلَامًا.
‘Aisyah bertanya: “Bagaimana kalian menilai Ibn Hudaij dalam peperangan kalian ini?” Aku menjawab: “Pemimpin yang baik. Tidak hilang seekor kuda atau unta seseorang dari kami melainkan ia akan memberi gantinya dengan unta lagi. Tidak juga hilang hamba sahaya, melainkan ia akan memberi gantinya dengan hamba sahaya juga.” (as-Sunanul-Kubra al-Baihaqi bab ma ‘alal-wali min amril-jaisy no. 17913).
Al-Hafizh Ibn Hajar menyebutkan Mu’awiyah ibn Hudaij sebagai shahabiy shaghir; shahabat kecil dalam Tahdzibut-Tahdzib. Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin-Nubala menyebutkannya lahu shuhbah; mengalami menjadi shahabat. Sedikit sekali meriwayatkan dari Nabi saw, dan kebanyakannya meriwayatkan dari shahabat ‘Umar, Abu Dzar, dan Mu’awiyah ra. Di antara sedikit hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah ibn Hudaij adalah hadits tentang pengobatan yang bermanfaat itu minum madu, berbekam, dan kay (pengobatan luka) dengan api, tetapi Nabi saw tidak suka dengan kay api itu, riwayat Ahmad ibn al-Furat dalam Juznya.
Adz-Dahabi menjelaskan lebih lanjut, Mu’awiyah ibn Hudaij mengikuti perang Yarmuk (15 H) pada zaman ‘Umar ra yang dipimpin Khalid ibn Walid melawan kekaisaran Bizantium untuk merebut wilayah Syam. Pada masa kekhalifahan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, Mu’awiyah ibn Hudaij diberikan jabatan memimpin Mesir dan ekspansi ke wilayah Maghrib (barat; Afrika Utara).
Mu’awiyah ibn Hudaij ini ikut kelompok Mu’awiyah ibn Abi Sufyan sebagai pencela/kritikus ‘Ali ibn Abi Thalib yang paling lantang. Ketika ibadah haji dan kebetulan bertemu dengan al-Hasan ibn ‘Ali ra, ia mengonfirmasi kepadanya apakah benar Ibn Hudaij sering mencela ‘Ali ra? Ibn Hudaij tidak membantahnya dan ia terlihat sangat malu. Sebagaimana dituturkan ‘Aisyah ra di atas, Mu’awiyah ibn Hudaij adalah orang yang membunuh saudara kecilnya, Muhammad ibn Abi Bakar.
Dalam hal ini Imam adz-Dzahabi menegaskan bahwa jika benar demikian, maka umat Islam cukup menahan diri untuk tidak terbawa arus mencela shahabat, melainkan tetap memohonkan ampunan untuk para shahabat secara umum. Umat Islam tetap harus menilai bahwa peperangan di zaman ‘Ali ra itu sesuatu yang tidak benar terjadi dan kebenaran ada di pihak ‘Ali ra (Siyar A’lamin-Nubala` 3 : 37-40).
Sementara itu Muhammad ibn Abi Bakar ra (w. 38 H) adalah putra bungsu Abu Bakar as-Shiddiq ra yang lahir dari Asma` binti ‘Umais ra (w. 40 H). Ia lahir di Dzul-Hulaifah, tempat miqat ihlal ihram rombongan Madinah yang akan melaksanakan haji wada’. Nabi saw saat itu mengarahkan Abu Bakar ra untuk menyuruh istrinya tersebut mandi, memakai pembalut, dan kemudian ihram.
Sebelumnya, Asma` binti ‘Umais ra menikah dengan Ja’far ibn Abi Thalib, kakaknya ‘Ali ibn Abi Thalib. Mereka berdua termasuk rombongan yang hijrah ke Habasyah pada tahun 5 kenabian dan pulang ke Madinah tahun 7 H. Dari Ja’far, Asma` memiliki tiga orang putra; ‘Abdullah, Muhammad, dan ‘Aun. Selepas Ja’far syahid pada perang Mu`tah (8 H), Asma` dipinang oleh Abu Bakar yang sejak tahun 6 H ditinggal wafat oleh istrinya, Ummu Ruman, ibunya ‘Aisyah ra. Setelah Abu Bakar wafat pada tahun 13 H, Asma` kemudian dipinang oleh ‘Ali ibn Abi Thalib ra yang sudah ditinggal wafat oleh Fathimah dari tahun 11 H, tidak lama setelah Nabi saw wafat. Maka semua putranya, baik dari Ja’far dan Abu Bakar, kemudian diasuh oleh ‘Ali ibn Abi Thalib.
Pada masa ‘Utsman ibn ‘Affan, Muhammad ibn Abi Bakar diangkat sebagai pejabat di Mesir. Akan tetapi pada waktu demonstrasi besar-besaran terhadap ‘Utsman ibn ‘Affan ra yang berujung pada terbunuhnya ‘Utsman, Muhammad ibn Abi Bakar termasuk yang ikut serta. Maka dari itu ia termasuk orang yang dibenci oleh kelompok Mu’awiyah sebagai para pendukung ‘Utsman ibn ‘Affan.
Pada masa kekhalifahan ‘Ali ibn Abi Thalib, Muhammad ibn Abi Bakar masih dipercaya untuk menjabat di Mesir. Pada masa perang konflik antara ‘Ali ibn Abi Thalib dan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, pasukan Mu’awiyah ibn Hudaij sebagai pendukung Mu’awiyah ibn Abi Sufyan menyerang Mesir. Setelah berhasil mengalahkan pasukan Muhammad ibn Abi Bakar, Mu’awiyah ibn Hudaij kemudian menangkap Muhammad ibn Abi Bakar dan membunuhnya (Siyar A’lamin-Nubala` 3 : 481-482).
Sebagaimana disinggung oleh Imam adz-Dzahabi di atas, peperangan di antara shahabat adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Meski demikian, terlepas dari apa yang telah terjadi, kebenaran ada di pihak ‘Ali ibn Abi Thalib ra. Akan tetapi kepada para pemberontaknya tidak boleh mencaci dan menghina, karena perbuatan menghina para shahabat dilaknat oleh Nabi saw.
Ketika menjelaskan hadits al-Ahnaf ibn Qais yang enggan bergabung dengan kelompok ‘Aisyah ra untuk melawan ‘Ali ibn Abi Thalib dan berdalil dengan hadits pembunuh dan yang dibunuh sama-sama masuk neraka, Imam an-Nawawi menjelaskan, semua yang terjadi pada zaman itu sangat syubhat, samar, tidak jelas, dan penuh dengan kemelut konflik. Posisi shahabat semuanya berijtihad. Tentunya ada yang benar dengan ijtihadnya dan ada yang keliru. Para ulama Ahlus-Sunnah bersepakat bahwa yang benar adalah ‘Ali, tetapi para pemberontaknya tidak bisa divonis berdosa karena keliru dalam ijtihad tidak akan dihitung dosa, malah akan dihitung pahala satu (Syarah Shahih Muslim bab idza tawajahal-musliman bi saifaihima).
Posisi ‘Aisyah ra di atas juga serba syubhat. Di satu sisi Muhammad ibn Abi Bakar adalah adik kandungnya sendiri meski berbeda ibu dan ia sangat terpukul dengan terbunuhnya Muhammad tersebut. Di sisi lain ia juga tidak dalam posisi mendukung adiknya tersebut yang bergabung dengan ‘Ali ibn Abi Thalib. Maka ‘Aisyah ra tetap berusaha objektif dalam menyampaikan hadits Nabi saw di atas.
Terkait sikap ‘Aisyah tersebut, Imam an-Nawawi memberikan catatan:
فِيهِ: أَنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ يَذْكُر فَضْل أَهْل الْفَضْل وَلَا يَمْتَنِع مِنْهُ لِسَبَبِ عَدَاوَة وَنَحْوهَا
Hadits ini menunjukkan sudah semestinya menyebutkan keutamaan orang-orang yang utama dan jangan terhalang oleh sebab permusuhan dan sebagainya.
Demikian halnya terkait do’a Nabi saw di atas, Imam an-Nawawi menegaskan:
هَذَا مِنْ أَبْلَغ الزَّوَاجِر عَنْ الْمَشَقَّة عَلَى النَّاس وَأَعْظَم الْحَثّ عَلَى الرِّفْق بِهِمْ وَقَدْ تَظَاهَرَتْ الْأَحَادِيث بِهَذَا الْمَعْنَى
Ini adalah peringatan paling keras terhadap kebijakan yang memberatkan rakyat dan anjuran yang paling terang untuk berbuat lembut kepada rakyat. Hadits-hadits lain yang semakna sudah banyak yang menegaskannya.
Terlepas dari dosa-dosa masa lalu yang pernah dilakukan, para pemimpin yang masih memimpin masih berkesempatan untuk mendapatkan keberkahan do’a Nabi saw akan disayangi oleh Allah swt jika berani mengubah kebijakannya yang semula memberatkan rakyat menjadi memudahkan rakyat. Semoga saja. Wal-‘Llahu a’lam