Ada banyak riwayat yang menceritakan kesaksian bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah benar Nabi yang diutus Allah SAW dan yang sudah dijanjikan ratusan tahun sebelumnya. Al-Hafizh Ibn Hajar menghimpun sebagiannya dalam kitabnya, Fathul-Bari, ketika mensyarah bab ‘alamatin-nubuwwah dari kitab Shahih al-Bukhari.
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa penelitian tentang bukti-bukti kenabian Muhammad saw sudah lama dilakukan oleh para ulama sebelum masanya. Imam an-Nawawi dalam Muqaddimah Syarah Shahih Muslim menyebutkan bahwa mukjizat Nabi saw ada sekitar 1200. Al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dan az-Zahidi dari Hanafiyyah sama menyebutkan sekitar 1000. Para ulama yang menulis kitab khusus dalam tema ini di antaranya al-Hakim dalam al-Iklil; Abu Sa’id an-Naisaburi dalam Syaraful-Mushthafa; dan Abu Nu’aim dan al-Baihaqi dalam Dala`ilun-Nubuwwah.
Di antaranya yang sudah dibahas pada tulisan sebelumnya tentang Zaid ibn ‘Amr ibn Nufail dan Umayyah ibn Abis-Shalt, dimana mereka berdua sama-sama sudah mengajarkan kepada bangsa Arab akan datangnya Nabi terakhir yang diutus dari bangsa Arab khususnya dari suku Quraisy.
Demikian halnya Waraqah ibn Naufal; ia bersama Zaid ibn ‘Amr ibn Nufail pernah sengaja pergi ke Syam hendak meneliti agama yang tidak menyembah berhala. Keduanya kemudian bertemu seorang rahib (pendeta) Nashrani yang tidak menyembah berhala dan mengajarkan kepada mereka berdua akan datangnya seorang Nabi terakhir sebagaimana sudah diajarkan Nabi ‘Isa as lengkap dengan ciri-cirinya. Waraqah pun kemudian memilih menjadi pemeluk Nashrani sementara Zaid ibn ‘Amr memilih beragama Hanif, agama Nabi Ibrahim as, sebagaimana diajarkan para pendeta Yahudi dan Nashrani. Maka dari itu ketika Nabi saw pulang dari Gua Hira dalam keadaan ketakutan, istrinya Khadijah, segera membawanya kepada Waraqah ibn Naufal, sebab Khadijah sebelumnya sudah tahu kabar mengenai akan diutusnya Nabi terakhir sebagaimana sudah diajarkan Waraqah ibn Naufal dan Zaid ibn ‘Amr. ‘Aisyah ra menceritakan:
فَانْطَلَقَتْ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى ابْنَ عَمِّ خَدِيجَةَ وَكَانَ امْرَأً قَدْ تَنَصَّرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ يَكْتُبُ الْكِتَابَ الْعِبْرَانِيَّ فَيَكْتُبُ مِنْ الْإِنْجِيلِ بِالْعِبْرَانِيَّةِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِيَ فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ يَا ابْنَ عَمِّ اسْمَعْ مِنْ ابْنِ أَخِيكَ فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ يَا ابْنَ أَخِي مَاذَا تَرَى فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ خَبَرَ مَا رَأَى فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ هَذَا النَّامُوسُ الَّذِي نَزَّلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى يَا لَيْتَنِي فِيهَا جَذَعًا لَيْتَنِي أَكُونُ حَيًّا إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَوَمُخْرِجِيَّ هُمْ قَالَ نَعَمْ لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ وَإِنْ يُدْرِكْنِي يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّيَ
Khadijah kemudan pergi bersama beliau (Nabi saw) menemui Waraqah ibn Naufal ibn Asad ibn ‘Abdil-‘Uzza, putra paman Khadijah. Ia sudah memeluk Nashrani sejak zaman Jahiliyyah. Ia menulis kitab dengan bahasa Ibrani. Ia menulis Injil dengan bahasa Ibrani sesuai kemampuan maksimalnya untuk menulis. Saat itu ia sudah tua renta dan buta. Khadijah berkata kepadanya: “Wahai putra pamanku, dengarlah ini putra saudaramu.” Waraqah kemudian bertanya: “Wahai putra saudaraku, apa yang kamu lihat?” Rasulullah saw kemudian memberitahukan kepadanya kabar apa yang sudah beliau alami. Waraqah kemudian berkata: “Ini adalah Namus (Jibril. Arti asalnya: Pemilik rahasia kebaikan) yang dahulu Allah turunkan kepada Musa. Duh andaikan saja aku nanti masih muda dan andaikan saja aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu.” Rasulullah saw bertanya: “Apakah memang mereka akan mengusirku?” Ia menjawab: “Ya. Tidak ada seorang pun yang membawa seperti apa yang kamu bawa melainkan akan dimusuhi. Dan jika sampai kepadaku harimu, aku akan menolongmu dengan maksimal.” Tetapi tidak lama dari itu Waraqah kemudian wafat (Shahih al-Bukhari bab kaifa kana bad`ul-wahyi ila Rasulillah saw no. 3).
Kesaksian lainnya disampaikan oleh Salman al-Farisi (orang Persia, sekarang Irak-Iran). Pada masa itu, orang Persia umumnya beragama Majusi, penyembah api, demikian halnya Salman. Sewaktu muda, ia mendengar dan menyimak ritual agama Nashrani di kampungnya, Isfahan (saat ini menjadi salah satu provinsi di Iran). Ia pun memutuskan untuk berpindah agama ke Nashrani. Ia kemudian pindah ke Damaskus, Suriah, yang saat itu mayoritas penduduknya beragama Nashrani. Sampai pada suatu hari ketika pendeta yang menjadi gurunya akan meninggal dunia, Salman minta nasihat kepadanya. Gurunya itu pun memberitahunya bahwa seorang Nabi konon sudah diutus di tanah Arab, Salman pun dianjurkan untuk mencarinya ke tanah Arab. Ia kemudian menjual semua ternaknya kepada seorang pedagang Arab di Suriah agar ia dibawa olehnya ke Arab. Sesampainya di Arab ternyata Salman dijadikan budak. Ia tinggal di Quba, dekat Madinah. Ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah dan singgah di Quba, Salman pun kemudian menyatakan masuk Islam. Karena waktu itu ia masih menjadi budak, ia tidak ikut perang Badar dan Uhud. Sampai kemudian Rasulullah saw memerintahnya agar menawarkan mukatabah (membebaskan diri sendiri dengan membayar bayaran) kepada majikannya. Setelah disanggupi, dan kemudian dibantu oleh para shahabat, Salman pun akhirnya bebas dan setia menjadi shahabat Nabi saw dengan selalu mengikuti setiap peperangan yang dipimpin oleh Nabi saw (Siyar A’lamin-Nubala`).
Bukti kenabian Muhammad saw lainnya terlihat pada masa-masa sebelum kelahiran beliau. Saat itu sudah menjadi perbincangan bangsa Arab akan diutusnya Nabi dari bangsa mereka dengan nama Muhammad. Maka dari itu banyak orangtua yang menamai putra mereka Muhammad. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar jumlahnya ada 15 anak, dan yang diketahui menjadi shahabat Nabi saw hanya Muhammad ibn ‘Adi ibn Rabi’ah. Muhammad ibn ‘Adi ini pernah ditanya mengapa dinamai Muhammad oleh ayahnya. Ia menjawab bahwa ayahnya bersama Sufyan ibn Mujasyi’, Yazid ibn ‘Amr ibn Rabi’ah, dan Usamah ibn Malik dahulu berangkat ke Syam hendak menemui Ibn Jafnah al-Ghassani. Ketika singgah di sebuah mata air di Dair, ada seorang penduduk di sana yang mendengar percakapan mereka dalam bahasa Arab dan mengkonfirmasi mereka berasal dari mana? Setelah dijawab dari Arab, orang Dair itu berkata kepada mereka bahwa sebentar lagi akan ada seorang Nabi diutus di tanah Arab, maka bergegaslah kembali. Mereka bertanya: “Siapa namanya?” Ia menjawab: “Muhammad.” Setelah pulang, istri masing-masing dari mereka melahirkan anak laki-laki. Maka mereka menamai putra mereka dengan Muhammad. Al-Hafizh Ibn Hajar merinci kelima belas nama Muhammad tersebut dalam kitab Fathul-Bari bab ma ja`a fi asma`i Rasulillah saw.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari bab ‘alamatin-nubuwwah juga menyinggung kisah masyhur Buhaira, pendeta Nashrani, sebagaimana diriwayatkan Ibn Ishaq dalam kitab Sirahnya. Ibn Ishaq sendiri menuliskan riwayat Buhaira ini dalam satu bab khusus hadits Buhaira ar-Rahib jilid 1 halaman 73-75. Disebutkan bahwa Buhaira ini pendeta Nashrani di Syam yang paling alim. Ia selalu berada di biaranya, di Bushra, Syam, dan hampir tidak pernah keluar darinya. Pada suatu hari ia melihat keluar dan menyaksikan satu hal yang aneh. Ada satu rombongan—rombongan dagang Quraisy dengan Abu Thalib yang membawa Nabi saw kecil masih berusia 6 tahun bersama rombongan tersebut—yang kelihatan dari jauh selalu dinaungi awan. Lalu rombongan itu beristirahat di sekitar pepohonan yang ada dekat biara Buhaira. Buhaira melihat satu pohon merunduk dahan-dahannya di atas seorang anak kecil—yakni Muhammad saw kecil.
Maka Buhaira menyuruh pelayannya untuk menyiapkan hidangan dan menjamu rombongan Quraisy tersebut. Dalam jamuan tersebut Buhaira memperhatikan Muhammad saw kecil dengan detail, lalu mendekat dan melihat-lihatnya dengan pandangan teliti, serta berdialog dengannya mempertanyakan segala kebiasaannya; tidurnya, kesehariannya, dan sebagainya. Ia lalu bertanya kepada Abu Thalib: “Siapa anak ini darimu?” Abu Thalib menjawab: “Anakku.” Buhaira membantah: “Tidak mungkin, mustahil ayah anak ini masih hidup.” Abu Thalib baru kemudian menerangkan bahwa Muhammad saw adalah anak saudaranya. Ayahnya meninggal ketika Muhammad saw kecil masih dikandung ibunya. Buhaira kemudian berkata: “Benar pasti demikian, pulanglah bersama keponakanmu ini ke negerinya, dan berhati-hatilah jangan sampai Yahudi tahu dengannya. Demi Allah, jika mereka melihatnya dan kemudian mengenalinya seperti aku mengenalinya pasti mereka akan mencelakakannya. Keponakanmu ini akan menjadi seseorang yang memiliki hal yang besar.” Abu Thalib pun kemudian bergegas pulang ke Makkah.
Salamah ibn Salamah dari Anshar menceritakan bahwa sejak ia kecil ada tetangganya Yahudi yang selalu bercerita akan terjadi kiamat. Tandanya adalah lahirnya seorang Nabi terakhir. Ia berkata bahwa anak kecil ini—sambil menunjuk Salamah yang masih kecil—kemungkinan akan sezaman dengannya. Tetapi ketika Nabi saw diutus dan penduduk Madinah pun beriman kepadanya, tetangganya yang Yahudi itu malah kafir kepada Nabi Muhammad saw (Fathul-Bari bab ‘alamatin-nubuwwah).
Bersambung…